
2 Mantan Bos Ditahan, Apa Respons Manajemen AISA?

Kisruh di tubuh TPS Food bermula ketika kinerja perusahaan memburuk. TPS Food merupakan perusahaan yang bergerak di bidang produksi barang-barang consumer good. Perusahaan menjalankan bisnisnya melalui dua entitas anak usaha yang kemudian dibagi dalam tujuh perusahaan di entitas food dan enam anak usaha di entitas beras.
Nama produsen makanan ringan merk Taro ini terangkat ke permukaan setelah adanya penggerebekan pemerintah ke PT Indo Beras Unggul (IBU) dengan tuduhan mengepul beras petani yang menikmati subsidi pemerintah untuk diproses dan dikemas ulang menjadi beras premium.
Sejak itu, bisnis beras yang sebelumnya menyumbang 50% pendapatan TPS Food tidak lagi beroperasi sehingga perseroan kehilangan potensi pendapatan Rp 2 triliun per tahun. Akhirnya perusahaan memutuskan untuk memecat 1.700 karyawannya dan menyatakan akan menjual IBU.
Kondisi ini menjadi awal dari permasalahan keuangan TPS Food, yang berlanjut pada gagal bayar atas sukuk ijarah I tahun 2013 dengan pokok senilai Rp 300 miliar dan jatuh tempo pada 5 April 2018 dan obligasi I tahun yang sama dengan nilai emisi Rp 600 miliar, jatuh temponya pada 5 April 2018.
Sementara itu, laporan keuangan 2017 malah ditolak oleh investor dan pemegang sahamnya karena ada dugaan penyelewengan dana. Hingga dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) 2018 yang dihelat pada 30 Juli 2018 direktur utama TPS Food kala itu, Stefanus Joko Mogoginta, merasa bahwa salah satu pemegang sahamnya KKR melakukan hostile take over atau pengambilalihan paksa.
Kisruh tak pernah selesai sejak saat itu. Komisaris perusahaan yang diwakili oleh Jaka Prasetya dan Hengki Koestanto (kini Dirut TPS Food) memberhentikan direksi yang ada saat itu, sebaliknya direksi melakukan somasi atas komisarisnya.
Hingga pada Oktober 2018 komisaris mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) dengan agenda penggantian direksi. Pihak direksi yang dipimpin Joko Mogoginta menolak untuk hadir dengan alasan RUPSLB itu tidak sah.
Nasib tak berpihak padanya, pemegang saham justru menyetujui penggantian manajemen perusahaan, mengangkat Hengky Koestanto sebagai nahkoda perusahaan yang baru.
Dalam RUPSLB yang sama pemegang saham mengajukan investigasi terhadap laporan keuangan 2017 yang sebelumnya ditolak oleh para pemegang saham.
Dalam laporan Hasil Investigasi Berbasis Fakta PT Ernst & Young Indonesia (EY) kepada manajemen baru AISA tertanggal 12 Maret 2019, dugaan penggelembungan ditengarai terjadi pada akun piutang usaha, persediaan, dan aset tetap Grup AISA.
Ditemukan fakta bahwa direksi lama melakukan penggelembungan dana senilai Rp 4 triliun lalu ada juga temuan dugaan penggelembungan pendapatan senilai Rp 662 miliar dan penggelembungan lain senilai Rp 329 miliar pada pos EBITDA (laba sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi) entitas bisnis makanan dari emiten tersebut.
Temuan lain dari laporan EY tersebut adalah aliran dana Rp 1,78 triliun melalui berbagai skema dari Grup AISA kepada pihak-pihak yang diduga terafiliasi dengan manajemen lama.
"Antara lain menggunakan pencairan pinjaman Grup AISA dari beberapa bank, pencairan deposito berjangka, transfer dana di rekening bank, dan pembiayaan beban pihak terafiliasi oleh Grup AISA," tulis laporan tersebut.
Persoalan ini mulai sengit ketika Stefanus Joko Mogoginta, melaporkan manajemen baru perseroan ke Kepolisian. Laporan Kepolisian ini diajukan karena Joko Mogoginta menilai manajemen baru Tiga Pilar bertanggung jawab dalam mengendalikan dan menyebarkan laporan hasil audit investigasi yang diterbitkan EY sebagai auditor yang juga ikut dilaporkan.
Sebelumnya Joko juga menyerang EY bahwa laporan investigasi tersebut tak sesuai dengan penerapan good corporate governance (GCG) perusahaan.
"Ya [ada hubungannya dengan hasil investigasi laporan keuangan]. Ini baru selesai dari Polda [Metro Jaya]," kata Joko kepada CNBC Indonesia, Senin (1/4/2019).
Bursa Efek Indonesia (BEI) juga turun tangan dan memanggil direksi AISA pada Jumat (29/3/2019), guna meminta penjelasan terkait dengan keluarnya hasil investigasi laporan keuangan 2017 oleh EY.
Dalam pertemuan saat itu direksi TPS Food menjelaskan bahwa manajemen perseroan masih fokus pada penyelesaian proses PKPU (Penundaan Kembali Pembayaran Utang).
Pada Senin ini (17/2/2020), BEI kembali memperpanjang penghentian sementara (suspensi) perdagangan saham AISA di seluruh pasar sejak sesi I perdagangan Senin 17 Februari 2020 hingga pengumuman lebih lanjut. Hal ini karena laporan keuangan AISA 2017 restated, laporan keuangan 2018 audited, dan laporan keuangan tengah tahun 2019 review AISA itu mendapatkan Opini Tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer).
Opini Disclaimer tersebut diperoleh selama 2 tahun berturut-turut, yaitu periode 31 Desember 2018 dan 31 Desember 2017.
"Mengacu pada Surat Edaran Nomor SE-008/BEJ/08-2014 tanggal 27 Agustus 2004, perihal Penghentian Sementara Perdagangan Efek (suspensi) Perusahaan Tercatat, maka Bursa dapat mensuspensi perdagangan efek emiten jika laporan keuangan audit perusahaan memperoleh opini disclaimer sebanyak 2 kali berurut-turut atau sebanyak 1 kali Opini Tidak Wajar (Adverse)," tulis pengumuman BEI, Senin (17/2/2020).
Dengan demikian, suspensi ini terus berlanjut setidaknya hampir 2 tahun lamanya.
