13 Bank BUKU 1 Terancam Turun Kelas, Seperti Apa Kinerjanya?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
17 January 2020 17:14
13 Bank BUKU 1 Terancam Turun Kelas, Seperti Apa Kinerjanya?
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank-bank kecil kini dipaksa memutar otak oleh regulator untuk mencari suntikan modal baru atau melakukan merger. Pasalnya, pada tahun 2022 modal inti minimum akan dikerek naik menjadi Rp 3 triliun.

Rencananya, aturan ini akan diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada akhir Januari 2020 atau awal Februari 2020. Aturan ini akan diaplikasikan secara bertahap dalam periode tiga tahun. Pada tahun 2020, modal inti minimal harus mencapai Rp 1 triliun, pada 2021 menjadi Rp 2 triliun, dan pada 2022 menjadi Rp 3 triliun.


Kepala Eksekutif Pengawasan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Heru Kristiyana mengungkapkan, pihaknya akan mencari alternatif bagi bank yang tidak mampu memenuhi aturan tersebut.

Hingga kini, opsi yang mengemuka adalah membatasi kegiatan usaha bank tersebut, atau turun kelas menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR).

Untuk diketahui, saat ini bank umum konvensional diklasifikasikan menjadi empat kelas berdasarkan modal inti yang dimiliki, yakni BUKU I, BUKU II, BUKU IIII, dan BUKU IV.

Bank BUKU I sendiri merupakan bank dengan modal inti kurang dari Rp 1 triliun. Bank BUKU II memiliki modal inti paling sedikit Rp 1 triliun hingga kurang dari Rp 5 triliun. Bank BUKU III memiliki modal inti paling sedikit Rp 5 triliun hingga kurang dari Rp 30 triliun. Sementara itu, bank BUKU IV memiliki modal inti setidaknya Rp 30 triliun.

Berdasarkan data OJK, hingga Oktober 2019 ada sebanyak 96 bank umum konvensional yang beroperasi di Indonesia. Komposisinya, ada enam bank BUKU IV, 25 bank BUKU III, 52 bank BUKU II, dan 13 bank BUKU I.

Ini artinya, ketika aturan permodalan yang baru secara total diimplementasikan pada tahun 2022, minimal ada 13 bank umum konvensional yang terancam turun kelas menjadi BPR.

BPR sendiri merupakan bank dengan layanan yang terbatas. BPR hanya bisa memberikan layanan simpanan tabungan dan deposito. Wilayah operasinya dari BPR lebih terbatas dari bank umum. Besaran minimum modal inti dari BPR itu sendiri berada di bawah Rp 100 miliar.

Lantas, bagaimana sebenarnya kinerja dari bank-bank BUKU I yang terancam turun kelas menjadi BPR pada tahun 2022?

[Gambas:Video CNBC]



Hingga Oktober 2019, total aset dari bank umum di Indonesia (bank umum konvensional dan bank umum Syariah) adalah senilai Rp 8.344,89 triliun. Dari total aset bank umum yang senilai Rp 8.344,89 triliun tersebut, bank BUKU I (konvensional) hanya menyumbang senilai Rp 62,99 triliun atau setara dengan 0,75%.

Sementara itu, total aset dari bank BUKU II, BUKU III, dan BUKU IV masing-masing adalah senilai Rp 915,61 triliun, Rp 2.600,6 triliun, dan Rp 4.431,9 triliun. Jika dihitung secara persentase, bank BUKU II menguasai sebesar 10,97% dari total aset bank umum, bank BUKU III menguasai 31,16%, dan bank BUKU IV menguasai 53,11%.

Dari sisi penyaluran kredit, ternyata bank umum konvensional yang masuk kategori BUKU I menjadi yang paling tertekan. Jika dihitung secara tahunan hingga posisi akhir Oktober 2019, penyaluran kredit kepada pihak ketiga bukan bank dari bank BUKU I turun hingga 17,78%. Selain bank BUKU I, hanya bank BUKU III yang penyaluran kreditnya terkoreksi secara tahunan, itu pun hanya sebesar 3,67%.

Sementara itu, penyaluran kredit kepada pihak ketiga bukan bank per Oktober 2019 dari bank BUKU II dan IV tercatat tumbuh masing-masing sebesar 9,83% dan 13,04% secara tahunan.


Bisa dimaklumi jika penyaluran kredit dari bank BUKU I tertekan dengan signifikan pada tahun lalu. Pasalnya, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) mereka juga berada di bawah tekanan yang signifikan.

Per akhir Oktober 2019, total DPK dari bank BUKU I tercatat jatuh hingga 11,62% secara tahunan, menjadikannya koreksi terparah setelah koreksi yang dibukukan bank-bank BUKU III yakni 2,3%. Untuk bank BUKU II dan IV, total DPK per akhir Oktober 2019 tercatat tumbuh masing-masing sebesar 11,47% dan 10,42% secara tahunan.



Sejatinya, dari sisi likuiditas bisa dikatakan bahwa likuiditas dari bank BUKU I terbilang longgar. Per akhir Oktober 2019, Loan to Deposits Ratio (LDR) dari bank BUKU I tercatat di level 77,24%, jauh lebih rendah dibandingkan posisi per Oktober 2018 yang sebesar 83,03%. Penurunan LDR dari bank BUKU I mencapai 579 basis poin (bps).

Untuk bank BUKU II dan III, LDR sejatinya juga mengendur, tapi masing-masing hanya sebesar 130 bps dan 144 bps. Untuk bank BUKU IV, likuiditasnya mengetat, ditunjukkan oleh kenaikan LDR sebesar 213 bps.



Sebagai informasi, LDR dihitung dengan membagi jumlah penyaluran kredit kepada pihak ketiga bukan bank dengan total dana pihak ketiga. Semakin rendah LDR, maka kondisi likuiditas sebuah bank bisa dikatakan semakin longgar. Sebaliknya, semakin tinggi LDR maka kondisi likuiditas sebuah bank bisa dikatakan semakin ketat.

Lantas, bisa diinterpretasikan bahwa kontraksi penyaluran kredit dari bank BUKU I tak hanya disebabkan oleh lemahnya penghimpunan DPK, melainkan juga pesimisme mereka dalam menatap kondisi perekonomian.

Untuk diketahui, pada tahun 2018 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,17%. Namun di tahun 2019, laju perekonomian begitu lesu.

Sepanjang kuartal III-2019, BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,02% secara tahunan. Angka pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 5,02% tersebut lantas berada di bawah capaian periode kuartal I-2019 dan kuartal II-2019. Capaian tersebut juga jauh lebih rendah dari capaian pada kuartal III-2018 kala perekonomian Indonesia mampu tumbuh 5,17% secara tahunan.

Pada kuartal I-2019, perekonomian Indonesia tercatat tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan, sementara pada kuartal II-2019 perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan.

Sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2019, perekonomian Indonesia hanya mampu tumbuh sebesar 5,04% secara tahunan.

Lantas, laju perekonomian untuk keseluruhan tahun 2019 hampir mustahil untuk tumbuh menyamai atau melebihi capaian tahun 2018 yang sebesar 5,17%.



Secara profitabilitas, bank BUKU I juga menghadapi tekanan yang signifikan. Sejatinya, dari klasifikasi bank BUKU I hingga IV semuanya mengalami tekanan profitabilitas. Namun, tekanan yang dihadapi oleh bank BUKU I merupakan yang terbesar. Hal ini bisa dilihat dari penurunan marjin bunga bersih atau net interest margin (NIM).

Per Oktober 2019, NIM dari bank BUKU I berada di level 4,85%, jauh lebih rendah dibandingkan posisi per Oktober 2018 yang mencapai 5,64%. Dalam periode Oktober 2018-Oktober 2019, NIM dari bank BUKU I turun hingga 79 bps.

Sementara itu, penurunan NIM dari bank BUKU II, BUKU III, dan BUKU IV masing-masing hanya sebesar 27 bps, 24 bps, dan 31 bps.



Sebagai informasi, NIM merupakan selisih dari bunga yang didapatkan perbankan dengan bunga yang dibayarkan kepada nasabah, dibagi dengan total aset yang menghasilkan bunga. Semakin besar NIM, maka tingkat profitabilitas sebuah bank akan semakin besar.

Tak berlebihan jika NIM dikatakan sebagai 'nyawa' dari operasional sebuah bank. Dengan NIM yang lebih besar, sebuah bank bisa mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi kala menyalurkan kredit dalam besaran yang sama.

Pada akhirnya, kombinasi dari lesunya penyaluran kredit dan menipisnya profitabilitas membuat pendapatan bunga bersih atau net interest income (NII) tertekan. Per Oktober 2019, NII dari bank BUKU I ambruk hingga 30,12% secara tahunan menjadi Rp 2,19 triliun, dari yang sebelumnya Rp 3,13 triliun.

Selain di bank BUKU I, koreksi NII juga bisa didapati pada bank BUKU III, namun besarannya hanya 7,87%. Untuk bank BUKU II dan IV, NII tercatat meningkat masing-masing sebesar 3,9% dan 8,66% secara tahunan.



Seiring dengan kontraksi NII, laba bersih dari bank BUKU I pun ikut terkontraksi. Per Oktober 2019, laba bersih (setelah taksiran pajak penghasilan) dari bank BUKU I tercatat ambruk 43,61% secara tahunan menjadi Rp 428 miliar, dari yang sebelumnya Rp 759 miliar. Untuk bank BUKU III, laba bersihnya terkoreksi 7,37% secara tahunan.

Sementara itu, laba bersih dari bank BUKU II dan IV tercatat masih bisa tumbuh secara tahunan, masing-masing sebesar 3,07% dan 11%.



Dengan melihat kinerja dari bank BUKU I yang mengecewakan, rasanya tak salah jika regulator, dalam hal ini OJK, mewajibkan mereka untuk meningkatkan permodalannya. Hal ini bisa menjadi kunci dalam meminimalisir risiko default yang dihadapi oleh bank-bank dengan ukuran mini tersebut.

TIM RISET CNBC INDONESIA



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular