Newsletter

Awas! Dolar AS Diprediksi Masih Bisa Lebih Kuat Lagi

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
12 November 2019 06:36
Awas! Dolar AS Diprediksi Masih Bisa Lebih Kuat Lagi
Foto: Freepik
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar finansial dalam negeri merah pada perdagangan Senin (11/11/19) kemarin. Rupiah, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), dan obligasi kompak melemah.

Sentimen pelaku pasar sedang memburuk di awal pekan, kesepakatan dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China yang masih belum jelas, ditambah lagi dengan situasi di Hong Kong yang kembali memanas, membuat aset-aset berisiko berguguran.


Bursa saham utama Asia mengalami pelemahan akibat memburuknya sentimen tersebut. IHSG melemah 0,47% ke level 6.148,74, mengikuti indeks-indeks utama seperti Nikkei Jepang yang terkoreksi 0,26%, Kospi Korea Selatan turun 0,61%. Sementara indeks Hang Seng Hong Kong dan Shanghai Chine masing-masing anjlok 2,62% dan 1,83%.



Seiring dengan IHSG, rupiah juga terpukul, bahkan hingga menyentuh level terlemah dalam dua pekan terakhir. Mata Uang Garuda melemah 0,34% ke level Rp 14.058/US$.

Rupiah tidak sendiri, mayoritas mata uang utama Asia juga melemah melawan the greenback. Tidak heran, sepanjang pekan lalu indeks dolar AS sebenarnya sedang perkasa, menguat 1,15%, tetapi mayoritas mata uang Asia, termasuk rupiah, masih mampu menguat.

Keperkasaan dolar tersebut baru terasa di Asia pada Senin kemarin.


Dari pasar obligasi, surat utang negara (SUN) juga mengalami pelemahan. Yield SUN tenor 10 tahun naik 4,2 basis poin ke level 7,014%, sekaligus menjadi yang tertinggi dalam satu pekan terakhir.

Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.



Terkait perundingan kesepakatan dagang, sejak pekan Sejak pekan lalu, baik AS dan China memberikan keterangan yang kontradiktif, yang membuat pelaku pasar menjadi bingung.

Mengutip CNBC International pada Kamis (7/11/19), Juru Bicara Kementerian Perdagangan China Gao Feng mengatakan baik AS maupun China setuju untuk membatalkan rencana pengenaan berbagai bea masuk. Perundingan yang konstruktif dalam dua pekan terakhir membuat kedua negara sudah dekat dengan kesepakatan damai dagang fase I.

Namun, Peter Navarro, Penasihat Perdagangan Gedung Putih, menegaskan bahwa belum ada kesepakatan soal penghapusan bea masuk. Dia menilai China melakukan klaim sepihak.

"Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai pencabutan bea masuk sebagai syarat ditandatanganinya perjanjian damai dagang fase I. Mereka (China) mencoba bernegosiasi di ruang publik," tegas Navarro dalam wawancara bersama Fox Business Network, seperti dikutip dari Reuters.

Presiden Trump juga mengkonfirmasi hal tersebut, ia mengatakan tidak setuju untuk membatalkan bea masuk, sebagaimana dilaporkan CNBC International pada Jumat waktu setempat.

Akan tetapi, China sepertinya masih ngotot memperjuangkan penghapusan bea masuk menjadi salah satu poin perjanjian damai dagang. Hu Xijin, Editor di harian Global Times yang berafiliasi dengan pemerintah, menyatakan bahwa tidak ada kesepakatan tanpa penghapusan bea masuk.

"Satu hal yang pasti adalah jika tidak ada pencabutan bea masuk, maka tidak ada perjanjian fase I," cuit Hu di Twitter.

Sementara itu, Gelombang demonstrasi di Hong Kong yang sudah terjadi selama 24 pekan, kembali memanas, bahkan semakin serius karena sudah melibatkan peluru tajam.



Senin pagi, polisi menembakkan peluru tajam yang dikabarkan melukai setidaknya satu orang pengunjuk rasa, seperti diberitakan Reuters.

"Unjuk rasa di Hong Kong sudah menjadi sentimen pemberat dalam beberapa waktu terakhir. Namun dari sisi pasar keuangan, sepertinya kejadian hari ini yang benar-benar memberi pukulan. Apabila situasi terus memburuk, maka tentu akan menjadi sentimen negatif," tegas James McGlew, Analis di Argonaut, seperti dikutip dari Reuters.

Hasilnya, sentimen pelaku pasar menjadi semakin memburuk.

[Gambas:Video CNBC]





Bursa saham AS (Wall Street) mengakhiri perdagangan Senin dengan bervariasi, indeks S&P 500 dan Nasdaq melemah, tetapi indeks Dow Jones kembali mencetak rekor tertinggi sepanjang masa. 

Perkembangan perundingan kesepakatan dagang AS-China masih mempengaruhi pergerakan Wall Street. Meski pernyataan yang dilontarkan kedua belah pihak kontradiktif, tetapi pada dasarnya kedua negara ingin mengakhiri perang dagang. 

Menurut Presiden Trump, sebagaimana dikutip CNBC International, perundingan dengan China berlangsung "sangat baik", meski lebih lambat dari yang diperkirakan. Trump juga mengatakan AS akan menandatangani kesepakatan dengan China jika hal tersebut menjadi yang terbaik bagi Negeri Paman Sam.



Ketiga indeks utama Wall Street yang mencetak rekor tertinggi sepanjang masa pada Jumat (8/11/19) lalu mengalami koreksi di awal perdagangan, tetapi di akhir indeks Dow Jones mampu menguat tipis 0,04% ke 27.691,49. Kenaikan tipis tersebut sudah cukup membawa Dow Jones kembali mencetak rekor tertinggi sepanjang masa. 




Sementara dua indeks lainnya, S&P 500 dan Nasdaq masing-masing melemah 0,2% dan 0,13%, tetapi pelemahan tersebut dikatakan koreksi sehat setelah mengakali rally panjang belakangan ini.

"Setelah rally panjang sejak bulan Agustus, banyak bursa saham global mengalami kondisi jenuh beli (overbought) jika dilihat dalam jangka pendek" kata Matt Maley kepala ahli strategi pasar di Miller Tabak dalam sebuah catatan, sebagaimana dilansir CNBC International.

"Akan menyehatkan bagi bursa saham jika mengalami koreksi melihat kondisi overbought dalam jangka pendek.... sebelum kembali berusaha menembus level tertinggi dalam jangka panjang" tambah Maley.



Wall Street memang sedang on fire belakangan ini, dalam satu bulan terakhir saja indeks Dow Jones sudah menguat sekitar 3%. Indeks S&P 500 dan Nasdaq lebih tinggi lagi, masing-masing sekitar 4% dan 5%. 

Dow Jones yang berhasil mencetak rekor tertinggi lagi pada perdagangan Senin terbantu oleh penguatan tajam saham Boeing. 

Saham perusahaan raksasa dirgantara tersebut melesat 4,55% setelah melaporkan akan kembali melakukan pengiriman 737 Max pada awal bulan depan. 
Pengiriman pesawat Boeing 737 Max sebelumnya mengalami penundaan, beberapa maskapai penerbangan bahkan tidak lagi menggunakan pesawat tersebut setelah terjadi kecelakaan beruntun.

Maskapai penerbangan juga diperkirakan akan menggunakan lagi Boeing 737 Max secara komersil pada bulan Januari. 


Sejak pekan lalu sentimen pelaku pasar sebenarnya campur aduk akibat perkembangan perundingan kesepakatan dagang AS-China. 

Jika dikatakan sentimen pelaku pasar sedang memburuk sebenarnya tidak juga, buktinya Wall Street bisa mencetak rekor tertinggi. Jika sentimen disebut sedang membaik, juga tidak sepenuhnya benar, bursa saham Asia dan Eropa cenderung bergerak bervariasi. Sehingga ada peluang bursa saham Asia bangkit pada hari ini, dengan catatan kondisi di Hong Kong lebih kondusif. 

Kabar bagus datang dari Eropa Senin kemarin, Inggris berhasil lepas dari resesi setelah perekonomiannya tumbuh 0,3% secara kuartalan (quarter-on-quarter/QoQ) pada periode Juli-September. 

Selain itu kabar bagus lainnya datang dari ketua umum Partai Brexit, Nigel Farage, yang memberikan jalan bagi Partai Konservatif untuk bisa memperbanyak kursi mayoritas di parlemen Inggris pada Pemilihan Umum (Pemilu) sela yang akan diadakan 12 Desember nanti. 

Jika kurs mayoritas Partai Konservatif bertambah, maka lolosnya proposal Brexit di parlemen akan menjadi lebih mudah. Partai Konservatif merupakan partai pemerintah saat ini di bawah pimpinan Boris Johnson yang juga merupakan perdana menteri Inggris.



Sementara itu, perkembangan kesepakatan dagang antara AS dengan China tentunya masih menjadi perhatian utama pelaku pasar. 

Setelah pernyataan Hu Xijin yang tetap menginginkan adanya pembatalan tarif menjadi yang teranyar, para pejabat AS belum ada memberikan pernyataan lebih lanjut. Patut dicermati jika ada komentar-komentar dari China yang tentunya dapat mempengaruhi sentimen pelaku pasar. 

Selain perkembangan kesepakatan dagang AS-China, pelaku pasar juga menanti pernyataan dari Presiden Trump hari ini. Melansir CNBC International, Presiden Trump dijadwalkan akan berbicara dalam acara Economic Club of New York Selasa siang waktu setempat. 

Pernyataan-pernyataan dari Trump tentunya belum akan berdampak pada pergerakan pasar Asia, mengingat pasar saham Benua Kuning sudah ditutup saat acara tersebut dimulai. Namun sepertinya akan ada aksi wait and see dari investor di sesi Asia hari ini.

Tarik-ulur kesepakatan dagang AS-China juga diprediksi masih akan mempengaruhi perdagangan mata uang di pekan ini. Indeks dolar meski terkoreksi turun pada Senin kemarin, tetapi di pekan ini dolar AS diperkirakan masih akan kuat. Sepanjang pekan lalu, indeks yang mengukur kekuatan dolar ini mencatat kenaikan 1,15%, sementara Senin kemarin terkoreksi 0.14%. 



"Tensi perundingan dagang AS-China masih akan mempengaruhi pergerakan mata uang pekan ini" kata strategist Commonwealth Bank of Australia dalam sebuah catatan, sebagaimana dikutip CNBC Intenational

Strategist tersebut mengatakan dolar AS bisa menguat di pekan ini, di dorong oleh perkembangan perundingan kesepakatan dagang, dan hal tersebut berpotensi menurunkan ekspektasi pemangkasan suku bunga lagi oleh bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed). 

Ketua The Fed, Jerome Powell, dijadwalkan akan memberikan testimoni di hadapan Kongres AS pada Rabu dan Kamis yang juga akan menjadi perhatian pelaku pasar. Seperti diketahui sebelumnya, The Fed dua pekan lalu memangkas suku bunga 25 basis poin menjadi 1,5-1,75%. Namun Powell kala itu mengindikasikan suku bunga tidak akan dipangkas lagi, kecuali jika perekonomian AS memburuk. 

Powell kemungkinan akan menegaskan proyeksinya tersebut di hadapan Kongres AS, sehingga dolar dapat kembali menguat di pekan ini. 
Berikut adalah beberapa data ekonomi dari berbagai negara yang akan dirilis hari ini 
  • Data Tingkat Keyakinan Bisnis Australia (pukul 7:30 WIB)
  • Data Penjualan Sepeda Motor Indonesia (pukul 12:00 WIB)
  • Data Penjualan Eceran Singapura (pukul 12:00 WIB)
  • Data Tenaga Kerja Inggris (pukul 16:30 WIB)
  • Data Tingkat Keyakinan Ekonomi Jerman dan Zona Euro (pukul 17:00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (3Q-2019 YoY)

5,02%

Inflasi (Oktober 2019 YoY)

3,13%

BI 7-Day Reverse Repo Rate (Oktober 2019)

5%

Defisit anggaran (APBN 2019)

-1,84% PDB

Transaksi berjalan (2Q-2019)

-3,04% PDB

Neraca pembayaran (2Q-2019)

-US$ 1,98 miliar

Cadangan devisa (Oktober 2019)

US$ 126,7 miliar



TIM RISET CNBC INDONESIA 
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular