
Internasional
Persaingan China-AS Bakal Jadi 'Perang Finansial'
Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
11 November 2019 17:03

Jakarta, CNBC Indonesia - Meningkatnya persaingan antara China dan Amerika Serikat (AS) berisiko menjadi "perang finansial".
Mantan menteri keuangan China mengatakan meskipun ada kompromi, di mana kedua negara berusaha untuk mencapai kesepakatan perdagangan, namun perselisihan itu kemungkinan akan menyebar ke area lain.
"Langkah selanjutnya dalam friksi antara China dan Amerika Serikat (AS) adalah perang finansial," kata Ketua Komite Urusan Luar Negeri dari Konferensi Nasional Konsultatif Politik Rakyat China (CPPCC), Lou Jiwei dikutip dari South China Morning Post.
"Ini ditandai dengan penggunaan yurisdiksi lengan panjang, dengan berbagai alasan untuk memblokir perusahaan tertentu, seperti larangan terhadap ZTE dan Huawei."
Lou merujuk pada kejadian penangkapan kepala keuangan Huawei Meng Wanzhou bulan Desember lalu. Penangkapan yang terjadi di bandara Vancouver, Kanada, itu atas permintaan AS.
Alasannya adalah karena AS menduga perusahaan China itu melanggar sanksi AS dan Uni Eropa. Pasalnya perusahaan itu bertransaksi dengan Iran.
"AS telah dibajak oleh nasionalisme dan populisme, jadi akan melakukan segalanya dengan kekuatannya untuk menggunakan tindakan-tindakan intimidasi ... Penahanan dan anti-penahanan tidak dapat dihindari dan akan menjadi masalah jangka panjang," kata Lou lagi.
"AS telah dekat dengan era McCarthyism," tambahnya. McCarthyism sendiri adalah praktik membuat tuduhan subversi atau pengkhianatan tanpa memperhatikan bukti.
Namun, Lou mengatakan bahwa upaya AS untuk menahan China tidak akan berhasil. Apalagi jika China mengoperasikan ekonomi pasar yang terintegrasi dengan rantai nilai global tetapi tidak bergantung pada AS.
"China bukan Uni Soviet atau Jepang," tegasnya.
Dia juga mengatakan bahwa taktik AS tidak mungkin mengganggu pasar keuangan China atau menciptakan volatilitas nilai tukar yuan. Karena negara itu belum sepenuhnya membuka rekening keuangannya dan mempertahankan kontrol ketat pada aliran modal lintas batas.
"Seseorang menyarankan untuk meningkatkan internasionalisasi yuan dan (bergerak menuju) konvertibilitas penuh di bawah akun modal, (tetapi) ini bukan opsi yang aman," katanya.
Komentar Lou itu dikeluarkan setelah Presiden AS Donald Trump pada hari Jumat membantah pernyataan China yang mengatakan bahwa Trump telah setuju untuk menurunkan tarif barang-barang China.
Seperti diketahui pada hari Kamis, China telah mengatakan negaranya dengan AS telah menyetujui penghapusan bertahap tarif tambahan begitu Trump dan Presiden China Xi Jinping menandatangani kesepakatan perdagangan sementara "fase satu'.
"Di dua minggu ini, para negosiator telah melakukan pembicaraan serius, diskusi konstruktif dan setuju untuk menghilangkan tarif-tarif tambahan di tiap fase (kesepakatan) sebagai progres dari perjanjian yang tengah berjalan," kata Juru Bicara Kementerian Perdagangan China Gao Feng, sebagaimana ditulis Bloomberg mengutip televisi pemerintah China.
"Jika China, AS, mencapai kesepakatan dagang fase pertama, kedua negara harus meninjau kembali semua tarif tambahan dengan proporsi yang sama secara keseluruhan berdasarkan isi perjanjian, yang mana menjadi situasi penting untuk tercapainya kesepakatan," tambahnya.
(sef/sef) Next Article AS-China tak Akur, Siap-Siap Risiko Resesi
Mantan menteri keuangan China mengatakan meskipun ada kompromi, di mana kedua negara berusaha untuk mencapai kesepakatan perdagangan, namun perselisihan itu kemungkinan akan menyebar ke area lain.
"Langkah selanjutnya dalam friksi antara China dan Amerika Serikat (AS) adalah perang finansial," kata Ketua Komite Urusan Luar Negeri dari Konferensi Nasional Konsultatif Politik Rakyat China (CPPCC), Lou Jiwei dikutip dari South China Morning Post.
Lou merujuk pada kejadian penangkapan kepala keuangan Huawei Meng Wanzhou bulan Desember lalu. Penangkapan yang terjadi di bandara Vancouver, Kanada, itu atas permintaan AS.
Alasannya adalah karena AS menduga perusahaan China itu melanggar sanksi AS dan Uni Eropa. Pasalnya perusahaan itu bertransaksi dengan Iran.
"AS telah dibajak oleh nasionalisme dan populisme, jadi akan melakukan segalanya dengan kekuatannya untuk menggunakan tindakan-tindakan intimidasi ... Penahanan dan anti-penahanan tidak dapat dihindari dan akan menjadi masalah jangka panjang," kata Lou lagi.
"AS telah dekat dengan era McCarthyism," tambahnya. McCarthyism sendiri adalah praktik membuat tuduhan subversi atau pengkhianatan tanpa memperhatikan bukti.
Namun, Lou mengatakan bahwa upaya AS untuk menahan China tidak akan berhasil. Apalagi jika China mengoperasikan ekonomi pasar yang terintegrasi dengan rantai nilai global tetapi tidak bergantung pada AS.
"China bukan Uni Soviet atau Jepang," tegasnya.
Dia juga mengatakan bahwa taktik AS tidak mungkin mengganggu pasar keuangan China atau menciptakan volatilitas nilai tukar yuan. Karena negara itu belum sepenuhnya membuka rekening keuangannya dan mempertahankan kontrol ketat pada aliran modal lintas batas.
"Seseorang menyarankan untuk meningkatkan internasionalisasi yuan dan (bergerak menuju) konvertibilitas penuh di bawah akun modal, (tetapi) ini bukan opsi yang aman," katanya.
Komentar Lou itu dikeluarkan setelah Presiden AS Donald Trump pada hari Jumat membantah pernyataan China yang mengatakan bahwa Trump telah setuju untuk menurunkan tarif barang-barang China.
Seperti diketahui pada hari Kamis, China telah mengatakan negaranya dengan AS telah menyetujui penghapusan bertahap tarif tambahan begitu Trump dan Presiden China Xi Jinping menandatangani kesepakatan perdagangan sementara "fase satu'.
"Di dua minggu ini, para negosiator telah melakukan pembicaraan serius, diskusi konstruktif dan setuju untuk menghilangkan tarif-tarif tambahan di tiap fase (kesepakatan) sebagai progres dari perjanjian yang tengah berjalan," kata Juru Bicara Kementerian Perdagangan China Gao Feng, sebagaimana ditulis Bloomberg mengutip televisi pemerintah China.
"Jika China, AS, mencapai kesepakatan dagang fase pertama, kedua negara harus meninjau kembali semua tarif tambahan dengan proporsi yang sama secara keseluruhan berdasarkan isi perjanjian, yang mana menjadi situasi penting untuk tercapainya kesepakatan," tambahnya.
(sef/sef) Next Article AS-China tak Akur, Siap-Siap Risiko Resesi
Most Popular