Kabinet Biden Galak ke China, Yakin Perang Dagang Berakhir?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
21 January 2021 16:55
Presiden China Xi Jinping (kanan) berjabat tangan dengan Wakil Presiden AS Joe Biden  (4/12/2020).
Foto: Ilustrasi Presiden China Xi Jinping dan Presiden AS Joe Biden (AP/Lintao Zhang)

Jakarta, CNBC Indonesia - Joseph 'Joe' Biden resmi dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat (AS) ke-46, menggantikan Donald Trump yang kalah pada pemilihan umum November lalu.

Di bawah komando Biden, pelaku pasar memperkirakan perang dagang AS-China yang dikobarkan oleh Trump akan segera berakhir.

Perang dagang AS-China sudah berlangsung sejak tahun 2018 lalu, kedua negara saling balas menaikkan bea impor produk dari masing-masing negara. Perang dagang kedua negara membuat lalu lintas perdagangan internasional menjadi tersendat, dan pertumbuhan ekonomi dunia pun melambat.

Pada bulan Januari 2020 lalu muncul secercah harapan. Amerika Serikat dan China sudah menandatangani kesepakatan dagang fase I.

Dalam kesepakatan dagang fase I, AS menurunkan bea masuk impor dari sebelumnya 15% menjadi 7,5% terhadap produk China senilai US$ 120 miliar. Sementara China akan membeli produk AS senilai 200 miliar dalam dua tahun ke depan.

Selain itu, semua mengenai bea masuk kedua negara masih sama. AS masih mengenakan bea masuk sebesar 25% terhadap produk China senilai US$ 250 miliar, sementara China mengenakan bea masuk terhadap produk AS senilai US 110 miliar. Tarif sebesar 25% dari masing-masing negara tersebut baru akan dibahas pada negosiasi dagang fase II, yang rencananya akan dilakukan setelah pemilihan umum di AS November 2020.

Namun, negosiasi fase II belum dimulai, virus corona sudah menyerang dunia. Para pemimpin negara berfokus pada penanggulangan virus corona agar tidak terus menyebar, serta memulihkan perekonomian.

Saat kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19) terus menanjak, AS menggelar pemilihan umum pada bulan November lalu, hasilnya Trump kalah dari Biden. Euforia terjadi di pasar finansial, kemenangan Biden diprediksi akan menghentikan perang dagang dengan China.

Namun, perang dagang sepertinya tidak akan berakhir begitu saja. Hal ini terlihat dari para calon menteri kabinet Biden yang galak ketika menyinggung masalah China.

Janet Yellen, calon menteri keuangan AS, saat sidang konfirmasi pencalonannya di hadapan Senat masih menunjukkan sikap keras terhadap China.

"Kita perlu menghentikan praktik kejam, tidak adil, dan ilegal China," kata Yellen sebagaimana dilansir CNBC International, Selasa (19/1/2021). "China meremehkan perusahaan Amerika dengan melakukan praktik dumping, membuat hambatan perdagangan, dan memberikan subsidi ilegal kepada perusahaan."

"China telah mencuri kekayaan intelektual dan terlibat dalam praktek yang tidak adil, termasuk transfer paksa teknologi," tambahnya.

Calon menteri lainnya juga bersikap sama. Pensiunan jenderal Lloyd Austin yang ditunjuk Biden untuk menjadi Menteri Pertahanan, mengatakan China "merupakan ancaman keamanan yang signifikan dan jangka panjang bagi AS dan sekutu serta mitra kita.

Antony Blinken, calon menteri luar negeri, bahkan mengatakan Donald Trump sudah tepat dalam mengambil tindakan keras ke China. Blinken mendukung pernyataan Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri Era Trump, pada Selasa (19/1) bahwa China melakukan genosida terhadap warga Uighur dan sebagian besar orang Muslim lainnya.

Dia pun berjanji akan terus mencari cara untuk memblokir impor produk-produk China yang melibatkan kerja paksa dan mencegah ekspor teknologi yang dapat "melanjutkan represi mereka."

HALAMAN SELANJUTNYA >>> AS Keras Dengan Pendekatan Berbeda, Ini Dampaknya ke Pasar

Mantan diplomat Singapura, Kishore Mahbubani, mengatakan sikap keras AS ke China tidak perlu dilakukan lagi, tetapi yang patut dilihat apakah Washington akan mendengarkan pendapat negara lain sebelum menerapkan kebijakan ke Beijing.

"Saya pikir sudah mutlak dan tidak perlu dipertanyakan lagi jika Amerika Serikat akan keras ke China. Hal yang paling penting adalah apakah Pemerintahan Biden akan mendengarkan negara lain sebelum mengimplementasikan kebijakan ke China?" kata Mahbubani, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (21/1/2021).

"Ya, anda harus tegas dan keras ke China, tetapi kita juga harus bersama China. Kita harus bekerja sama dengan China. Kita ingin perekonomian pulih dari kemerosotan akibat Covid-19, itulah pesan yang anda dapat," tambahnya.

Memang, pendekatan yang dilakukan AS ke China berbeda dengan era Trump, hal tersebut juga diungkapkan para calon menteri.

Yellen mengatakan Pemerintahan Biden masih akan tetap keras terhadap China, tetapi tidak dengan cara-cara yang dilakukan Trump, dan lebih memilih upaya dalam bentuk "bekerja sama dengan sekutu".

Senada dengan Yellen, Blinken juga mengatakan pendekatan terhadap China akan berbeda, tidak sama dengan kebijakan "America First" seperti yang dilakukan Trump, yang dikatakan memecah belah persatuan.

Pelaku pasar juga melihat Pemerintahan Biden tidak akan melunak terhadap China, tetapi dengan pendekatan yang berbeda, dan pasar akan mendapat keuntungan sebab pendekatan yang diambil akan menurunkan volatilitas.

"Kami memprediksi Biden tidak akan melunak ke China, kami pikir kita akan melihat pendekatan yang lebih multilateral yang akan menurunkan volatilitas serta mengurangi risiko di pasar," kata Joanne Irving Co-manager di Aberdeen Emerging Markets Fund (ABEMX), yang mengelola aset senilai US$ 5,3 miliar, sebagaimana dilansir Barrons, Selasa (20/1/2021).

Penurunan volatilitas mengindikasikan berkurangnya ketidakpastian yang ada di pasar, dan tentunya berdampak bagus bagi pelaku pasar.

Toh, meski calon menteri Biden menunjukkan sikap keras ke China, bursa saham AS tetap meroket dan mencetak rekor tertinggi sepanjang masa pada perdagangan Rabu kemarin, dan diikuti penguatan bursa saham Eropa dan Asia.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular