Review
Cerita China & AS: Saling Serang tapi Saling Ngutang

Jakarta, CNBC Indonesia - Hubungan Amerika Serikat (AS) dan China selalu menjadi sorotan dunia seiring dengan status kedua negara dengan ekonomi terbesar di dunia.
Apalagi riset Centre for Economics and Business Research (CEBR) bertajuk World Economic Table League sempat memprediksi China bakal menggeser AS sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia pada 2028.
Kini, kabar 'gunungan' utang pemerintah AS menjadi sorotan lantaran sumber utang Negeri Paman Sam ini juga berasal dari China.
Berdasarkan data dari Statista, per Agustus lalu, nilai utang AS mencapai US$ 28,427 triliun, nyaris sama dengan bulan sebelumnya, tetapi turun cukup jauh dari bulan Juni sebesar US$ 28,529 triliun.
Dengan utang sedemikian gede ini, Menteri Keuangan AS, Janet Yellen bahkan meminta jumlahnya dinaikkan lagi dari batas utang AS saat ini yang menembus US$ 28,4 triliun atau sekitar Rp 404.000 triliun (kurs Rp 14.250/US$).
Bicara utang pemerintah AS khususnya obligasi atau surat utang alias US Treasury, negara kreditor yang paling besar saat ini adalah China dan Jepang, berdasarkan data dari Departemen Keuangan AS (Department of Treasury).
Jepang menjadi pemegang Treasury AS terbesar sejak pertengahan 2019 lalu mengalahkan China. Pascaperang dagang antara AS dan China berkobar, pemerintah China cenderung melepas kepemilikan Treasury, sementara Jepang terus bertambah.
Kini, Jepang memiliki Treasury AS sebesar US$ 1,3 triliun, setara dengan Rp 18.520 triliun.
Sementara China menjadi negara kreditor terbesar kedua setelah Jepang, di mana China memiliki Treasury sebesar US$ 1,1 triliun atau Rp 15.670 triliun.
Setelah Jepang dan China, lima besar negara kreditur AS berikutnya ada di Inggris sebesar US$ 539,48 miliar atau Rp 7.687 triliun, Irlandia sebesar US$ 319,71 miliar atau Rp 4.555 triliun, dan Swiss sebesar US$ 298,32 atau setara Rp 4.251 triliun.
Berikut lima besar negara kreditor AS per Juli 2021.
![]() Utang AS |
Mengacu data Department of Treasury AS, Indonesia juga ikut membeli obligasi AS, yakni US$ 22,58 miliar atau setara dengan Rp 322 triliun dan Malaysia membeli US$ 10,43 miliar atau Rp 149 triliun.
![]() Pemegang US Treasury di Asia per Juli 2021, dok Departemen of Treasury |
Sebelumnya, Janet Yellen, meminta Kongres AS untuk menaikkan batas utang yang saat ini berada di batas sebesar US$ 28,4 triliun.
Yellen mengatakan bahwa jika batas utang tersebut tidak dinaikkan, maka pemerintahan AS akan mengalami penutupan sementara (shutdown) akibat kehabisan anggaran. Tidak sekadar shutdown, Negara Paman Sam dikatakan juga terancam mengalami gagal bayar (default) di Oktober mendatang hingga krisis finansial.
"Jika batas utang tidak dinaikkan, suatu saat di bulan Oktober, sulit untuk memprediksi kapan waktu tepatnya, saldo kas di Departemen Keuangan tidak akan mencukupi, dan pemerintah federal tidak akan mampu membayar tagihannya," tambah Yellen, dilansir CNBC International.
"Amerika Serikat tidak pernah mengalami default, tidak sekalipun."
"Jika terjadi default maka akan memicu krisis finansial yang bersejarah. Default bisa memicu kenaikan suku tajam suku bunga, penurunan tajam bursa saham, dan gejolak finansial lainnya," tegas Yellen.
Meski AS terancam mengalami shutdown hingga risiko default, tetapi Partai Republik menolak mendukung kenaikan batas utang tersebut.
Senator partai Republik dari Lousiana, Bill Casssidy mengatakan Partai Demokrat ingin menaikkan batas utang tersebut untuk membiayai rencana proyek triliunan dolar AS yang disebut "Democrat wish list".
NEXT: Nostalgia Perang Dagang Era Trump