Garuda-Sriwijaya Rujuk, Apa Saja PR & Masalah Sriwijaya?

tahir saleh, CNBC Indonesia
02 October 2019 07:12
Garuda-Sriwijaya Rujuk, Apa Saja PR & Masalah Sriwijaya?

Jakarta, CNBC Indonesia - Kisruh PT Garuda Indonesia (Persero Tbk (GIAA) atau Garuda Indonesia Group dengan Sriwijaya Group (Sriwijaya Air dan NAM Air) berakhir dengan baik. Garuda melalui anak usahanya PT Citilink Indonesia, akhirnya melanjutkan kerja sama manajemen (KSM) dengan Sriwijaya Group mulai Selasa 1 Oktober 2019.

Padahal, sepekan sebelumnya hubungan kedua maskapai penerbangan ini memanas. Sebagian besar direksi yang ditempatkan Garuda di Sriwijaya Air sebagai bagian dari KSM yang diteken sebelumnya diganti. Ini menjadi pemicu retaknya hubungan bisnis keduanya.

Buntut dari kisruh ini membuat Citilink sempat mengajukan gugatan hukum kepada Sriwijaya Air atas dugaan wanprestasi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 25 September lalu.


Setelah itu di publik beredar surat rekomendasi dari Direktur Quality, Safety, dan Security Sriwijaya Air Toto Soebandoro yang isinya merekomendasikan kepada Plt Direktur Utama Sriwijaya Air Jefferson I. Jauwena agar maskapai yang dibangun oleh Chandra Lie ini setop beroperasi dengan beberapa alasan.

Bocornya surat ini pun kemudian berlanjut pada langkah mundurnya dua direksi Sriwijaya Air pada Senin (30/9/2019). Keduanya yakni Direktur Operasi Capt. Fadjar Semiarto dan Direktur Teknik Romdani Ardali Adang.

Namun pada Selasa 1 Oktober, keduanya mulai cooling down, mereka menggelar konferensi pers bersama di Garuda City Center Kawasan Bandara Soekarno-Hatta. Isinya kabar gembir: kerja sama manajemen kembali berlanjut.

Foto: Konferensi Pers Sriwijaya Air (CNBC Indonesia/Monica Wareza)


"Keberlanjutan KSM ini sejalan dengan pertemuan GIAA Grup dan pemegang saham Sriwijaya difasilitasi Kementerian BUMN beberapa waktu lalu dan berikan arahan keberlangsungan KSM ini," kata Juliandra Nurtjahjo, Dirut Citilink, yang menjadi perwakilan Garuda dalam konferensi pers bersama di Cengkareng.


Ada empat alasan mengapa Garuda mau rujuk lagi dengan Sriwijaya setelah sebelumnya talak satu. Pertama, kedua maskapai sama-sama mengedepankan safety atau kelaikan dari pesawat Sriwijaya.

Kedua, kepentingan pelanggan yang amat menjadi pertimbangan kenapa kedua grup maskapai ini melanjutkan komitmen KSM. Ketiga, penyelamatan aset negara sehingga perlu mendukung Sriwijaya pulih kembali dan terakhir yakni kedua grup ingin agar ekosistem penerbangan di Indonesia semakin sehat.

"Itu alasan lanjutkan KSM ini dilakukan secepatnya, dengan dukungan operasional penerbangan pesawat Sriwijaya. Paling depan, bagaimana GIAA Grup atau GMF AeroAsia [anak usaha Garuda] berikan dukung bertahap operasional Sriwijaya," tegas Juliandra.

LANJUT HALAMAN 2: Pekerjaan rumah Sriwijaya Air

Satu beban berat Sriwijaya ke depan ialah persoalan utang yang menggunung. Namun pihak Garuda Group menyebutkan persoalan utang belum dalam tahap pembahasan.

Prioritas utama setelah kerja sama keduanya membaik adalah memperbaiki kembali operasional dan maintenance dari pesawat yang dimiliki oleh Sriwijaya Air dan NAM Air.

"Mungkin belum sampai ke situ [utang], yang penting sekarang ada willingness dulu untuk memperbaiki operasional Sriwijaya," kata VP Corporate Communication Citilink Indonesia Fariza Astriny kepada CNBC Indonesia.


Sebagai informasi, KSM yang terjadi ini sebetulnya bagian dari upaya penyelesaian utang milik Sriwijaya di Garuda, khususnya di PT GMF AeroAsia Tbk (GMFI) atau anak usaha Garuda yang khusus menangani perawatan pesawat.

Tapi selain utang terhadap Garuda, Sriwijaya juga punya beban utang ke beberapa BUMN di antaranya PT Pertamina sebesar Rp 942 miliar, PT Bank Negara Indonesia Tbk sebanyak Rp 585 miliar, PT Angkasa Pura II Rp 80 miliar, serta PT Angkasa Pura I sebesar Rp 50 miliar.

Mengutip laporan keuangan konsolidasi Garuda Indonesia per Juni 2019 lalu, total piutang grup ini ke Sriwijaya Air bernilai sebesar US$ 118,79 juta atau setara dengan Rp 1,66 triliun (asumsi kurs Rp 14.000/US$).

Jumlah ini meningkat dua kali lipat dari akhir Desember 2018 yang senilai US$ 55,39 juta (Rp 775,55 miliar).

Selain utang, dalam surat rekomendasi Direktur Sriwijaya, Toto Soebandoro kepada Plt Direktur Utama Sriwijaya Air Jefferson I. Jauwena, disebutkan persoalan yang dihadapi Sriwijaya.


Maskapai yang dibangun oleh Chandra Lie, Hendry Lie, Johannes Bunjamin, dan Andy Halim ini hanya mempunyai kemampuan mengoperasikan 12 dari 30 pesawat udara yang dikuasai sampai dengan 5 hari ke depan (sejak tanggal 24 September 2019).

Tak hanya itu, dari laporan juga diketahui bahwa ketersediaan tools, equipment, minimum spare dan jumlah qualified engineer yang ada di Sriwijaya ternyata tidak sesuai dengan laporan yang tertulis dalam kesepakatan yang dilaporkan kepada Dirjen Perhubungan Udara (DGCA) dan Menteri Perhubungan.

"Termasuk bukti bahwa Sriwijaya Air belum berhasil melakukan kerjasama dengan JAS Engineering atau MRO (maintenance repair overhaul) lain terkait dukungan line maintenance. Hal ini berarti Risk Index masih berada dalam zona merah 4A (tidak dapat diterima dalam situasi yang ada), yang dapat dianggap bahwa Sriwijaya Air kurang serius terhadap kesempatan yang telah diberikan Pemerintah untuk melakukan perbaikan," tegas Toto dalam suratnya.

Namun kabar baiknya, rujuknya kedua maskapai penerbangan ini diharapkan dapat memberi angin segar bahwa ada upaya bersama untuk menyelamatkan Sriwijaya dari kebangkrutan.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular