
Garuda-Sriwijaya Rujuk, Apa Saja PR & Masalah Sriwijaya?

Satu beban berat Sriwijaya ke depan ialah persoalan utang yang menggunung. Namun pihak Garuda Group menyebutkan persoalan utang belum dalam tahap pembahasan.
Prioritas utama setelah kerja sama keduanya membaik adalah memperbaiki kembali operasional dan maintenance dari pesawat yang dimiliki oleh Sriwijaya Air dan NAM Air.
"Mungkin belum sampai ke situ [utang], yang penting sekarang ada willingness dulu untuk memperbaiki operasional Sriwijaya," kata VP Corporate Communication Citilink Indonesia Fariza Astriny kepada CNBC Indonesia.
Sebagai informasi, KSM yang terjadi ini sebetulnya bagian dari upaya penyelesaian utang milik Sriwijaya di Garuda, khususnya di PT GMF AeroAsia Tbk (GMFI) atau anak usaha Garuda yang khusus menangani perawatan pesawat.
Tapi selain utang terhadap Garuda, Sriwijaya juga punya beban utang ke beberapa BUMN di antaranya PT Pertamina sebesar Rp 942 miliar, PT Bank Negara Indonesia Tbk sebanyak Rp 585 miliar, PT Angkasa Pura II Rp 80 miliar, serta PT Angkasa Pura I sebesar Rp 50 miliar.
Mengutip laporan keuangan konsolidasi Garuda Indonesia per Juni 2019 lalu, total piutang grup ini ke Sriwijaya Air bernilai sebesar US$ 118,79 juta atau setara dengan Rp 1,66 triliun (asumsi kurs Rp 14.000/US$).
Jumlah ini meningkat dua kali lipat dari akhir Desember 2018 yang senilai US$ 55,39 juta (Rp 775,55 miliar).
Selain utang, dalam surat rekomendasi Direktur Sriwijaya, Toto Soebandoro kepada Plt Direktur Utama Sriwijaya Air Jefferson I. Jauwena, disebutkan persoalan yang dihadapi Sriwijaya.
Maskapai yang dibangun oleh Chandra Lie, Hendry Lie, Johannes Bunjamin, dan Andy Halim ini hanya mempunyai kemampuan mengoperasikan 12 dari 30 pesawat udara yang dikuasai sampai dengan 5 hari ke depan (sejak tanggal 24 September 2019).
Tak hanya itu, dari laporan juga diketahui bahwa ketersediaan tools, equipment, minimum spare dan jumlah qualified engineer yang ada di Sriwijaya ternyata tidak sesuai dengan laporan yang tertulis dalam kesepakatan yang dilaporkan kepada Dirjen Perhubungan Udara (DGCA) dan Menteri Perhubungan.
"Termasuk bukti bahwa Sriwijaya Air belum berhasil melakukan kerjasama dengan JAS Engineering atau MRO (maintenance repair overhaul) lain terkait dukungan line maintenance. Hal ini berarti Risk Index masih berada dalam zona merah 4A (tidak dapat diterima dalam situasi yang ada), yang dapat dianggap bahwa Sriwijaya Air kurang serius terhadap kesempatan yang telah diberikan Pemerintah untuk melakukan perbaikan," tegas Toto dalam suratnya.
Namun kabar baiknya, rujuknya kedua maskapai penerbangan ini diharapkan dapat memberi angin segar bahwa ada upaya bersama untuk menyelamatkan Sriwijaya dari kebangkrutan.
