Newsletter

Demo Lagi, Lagi-lagi Demo...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 October 2019 05:22
Demo Lagi, Lagi-lagi Demo...
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia mengalami koreksi pada perdagangan kemarin. Faktor eksternal dan domestik mewarnai pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) cs.

Kemarin, IHSG ditutup melemah 0,45%. Bursa saham utama Asia juga ramai-ramai finis di zona merah, bahkan indeks Shanghai Composite amblas sampai nyaris 1%.

Berikut perkembangan indeks saham utama Asia pada perdagangan kemarin:




Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pun melemah 0,21%. Dolar AS sudah begitu dekat dengan Rp 14.200.

 


Dari sisi eksternal, investor khawatir dengan hubungan AS-China yang berisiko kembali menegang. Tersiar kabar bahwa Presiden AS Donald Trump tengah membahas rencana untuk mengusir emiten asal China dari bursa saham New York alias Wall Street.

Bahkan, seperti dikutip dari Reuters, Nasdaq berupaya mempersulit perusahaan Negeri Tirai Bambu yang akan mencatatkan saham perdana. Caranya dengan memperketat aturan dan memperlambat proses perizinan.

Akhir pekan lalu, AS-China sepakat untuk menggelar dialog dagang tingkat menteri di Washington pada 10-11 Oktober. Namun dengan perkembangan ini, bisa jadi hubungan kedua negara memanas lagi.

Memang kemudian muncul bantahan dari AS. Kementerian Keuangan Negeri Adidaya menegaskan tidak ada rencana untuk mengusir perusahaan China dari lantai bursa, setidaknya dalam waktu dekat.

"Pemerintah tidak sedang mempertimbangkan melarang perusahaan China untuk mencatatkan saham di bursa AS untuk saat ini," kata Monica Crowley, Juru Bicara Kementerian Keuangan AS, seperti diwartakan Bloomberg yang kemudian dikutip oleh Reuters.


Akan tetapi, bantahan itu datang agak terlambat. Pelaku pasar yang sudah kadung khawatir dengan risiko ketegangan AS-China memilih untuk meninggalkan aset-aset berisiko di negara berkembang. IHSG dan rupiah pun menjadi korban.

Sementara dari dalam negeri, situasi politik-sosial-keamanan masih kurang kondusif. Aksi demonstrasi kembali terjadi di Jakarta. Bahkan konsentrasi massa masih bertahan sampai malam hari dan melakukan perusakan.

Sejumlah objek vital seperti stasiun di beberapa titik tidak bisa berfungsi karena faktor keamanan. Gedung seperti kantor pusat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengalami kerusakan.


Investor yang merasa tidak nyaman dengan kondisi ini memilih keluar dulu sembari menanti situasi agak tenang. Kemarin, investor asing membukukan jual bersih Rp 68,91 miliar di pasar saham Indonesia.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)


Harapan datang dari Wall Street, yang bangkit setelah pekan lalu tertekan. Hari ini, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup naik 0,36%, sementara S&P 500 menguat 0,5% dan Nasdaq Composite bertambah 0,75%.

Kalau di Asia berita bantahan soal rencana forced delisting terhadap perusahaan China datang terlambat, maka di Wall Street momentumnya justru tepat. Sentimen ini membantu mengangkat moral investor.

"Berita palsu (fake news)," tegas Peter Navarro, Penasihat Perdagangan Gedung Putih, mengomentari kabar rencana pencoretan emiten China dari Wall Street. Seperti dikutip dari Reuters, Navarro mengatakan bahwa kabar itu sangat tidak akurat.

Beijing, yang sudah melakukan konfirmasi ke Washington, mempertegas hal tersebut. Geng Shuang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, mengatakan kedua negara akan berupaya mengedepankan sikap konstruktif dalam penyelesaian perselisihan.

"Memberikan tekanan bahkan memutar balik hubungan AS-China akan merusak kepentingan kedua negara dan justru menciptakan ketegangan di pasar keuangan global, perdagangan, serta pertumbuhan ekonomi. Ini tentu tidak sesuai dengan kepentingan dunia," tutur Geng, seperti diwartakan Reuters.


China pun terus menunjukkan itikad baik untuk berdamai dengan AS. Kemarin, pemerintah China menyetujui pembelian kedelai dari AS sebanyak 600.000 ton untuk pengiriman November sampai Januari 2020. Ini adalah bagian dari kuota impor 2 juta ton yang bebas bea masuk.

Harga saham emiten China di Wall Street yang akhir pekan lalu terkoreksi parah hari ini berhasil pulih. Saham Alibaba Group naik 0,75% sementara Baidu melesat 1,53%.

Selain itu, kebangkitan Wall Street juga ditopang oleh kenaikan saham Apple yang mencapai 2,35%. JPMorgan memperkirakan penjualan iPhone bakal laris manis sampai 2020.

Pada kuartal IV-2019, JPMorgan memperkirakan penjualan iPhone bisa mencapai 44 juta unit, naik 1 juta dibandingkan proyeksi sebelumnya. Sedangkan untuk kuartal I-2020, penjualan diperkirakan sebanyak 63 juta unit, naik 3 juta dibandingkan ramalan sebelumnya.

"Kami memperkirakan minat konsumen akan solid untuk ponsel 5G di segmen premium. Apple berada di posisi yang baik," sebut riset JPMorgan.


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)



Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan di Wall Street yang positif. Semoga optimisme dari bursa saham New York bisa menular sampai ke Asia, termasuk Indonesia.

Sentimen kedua adalah harga minyak yang amblas lumayan dalam. Pada pukul 04:08 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet anjlok masing-masing 1,83% dan 3,29%.



Penyebab koreksi harga si emas hitam adalah pasokan minyak Arab Saudi yang sudah pulih usai serangan di ladang milik Saudi Aramco belum lama ini. Ibrahim Al Buainain, CEO Saudi Aramco, mengungkapkan bahwa saat ini pasokan minyak sudah kembali ke kisaran 9,7 juta barel/hari, level yang sama sebelum serangan 14 September.

"Sejak 25 September sebenarnya kami sudah mampu mengembalikan kapasitas produksi," ujar Al Buainain, seperti dikutip dari Reuters. Seorang sumber menambahkan kapasitas produksi Saudi Aramco bisa mencapai 12 juta barel/hari pada November.


Pasokan yang kembali melimpah membuat harga minyak turun drastis, dan ini bisa menjadi kabar baik buat Indonesia. Maklum, Indonesia adalah negara net importir minyak. Jadi kalau harga minyak lebih murah, biaya impornya bisa ditekan sehingga mengurangi beban transaksi berjalan (current account).

Sentimen ketiga, investor perlu mencermati pergerakan nilai tukar dolar AS yang menguat. Pada pukul 04:19 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,29% dan berada di posisi terkuat sejak Mei 2017.

 

Dolar AS mendapat kekuatan dari pelemahan euro yang mencapai titik terendah dalam 28 bulan. Penyebabnya adalah prospek perekonomian Eropa yang kian suram.

Ekonomi Inggris mengalami kontraksi alias tumbuh negatif (negative growth) minus 0,2% pada kuartal II-2019 secara kuartalan berdasarkan angka pembacaan final. Memburuk dibandingkan kuartal sebelumnya yang masih mampu tumbuh 0,6%. Ini menjadi kontraksi pertama sejak 2012.



Secara year-on-year (YoY), ekonomi Negeri Ratu Elizabeth masih tumbuh 1,2%. Namun ini menjadi laju terlemah sejak kuartal I-2018.

Kemudian di Jerman, laju inflasi pada September tercatat 0,9% YoY, melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 1%. Ini menjadi bulan kelima secara beruntun inflasi Negeri Panser berada di bawah 2% seperti yang ditargetkan Bank Sentral Uni Eropa (ECB). Menandakan permintaan masih lemah sehingga dunia usaha ragu-ragu untuk menaikkan harga.

Inggris dan Jerman adalah dua perekonomian terbesar di Benua Biru. Jika perlambatan ekonomi terus terjadi, maka risiko resesi akan semakin besar.


Akibatnya, investor pun meninggalkan pasar keuangan Eropa dan kembali memilih dolar AS. Mata uang Negeri Paman Sam menjadi perkasa, dan menebar ancaman kepada Asia.


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)



Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah situasi yang sedang kurang kondusif. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, gelombang demonstrasi yang menyebabkan kerusakan dan tidak beroperasinya fasilitas publik tentu menjadi perhatian pelaku pasar.

Hari ini kemungkinan aksi masih akan terjadi, mengingat ada momentum yaitu pelantikan anggota DPR periode 2019-2024. Risiko gangguan keamanan masih melekat.

Jika investor lagi-lagi merasa tidak nyaman, maka sulit berharap arus modal asing bakal mampir ke pasar keuangan Indonesia. Lagi-lagi faktor suhu politik-sosial-keamanan jadi penghambat bagi laju IHSG dkk.


Sentimen kelima, masih dari dalam negeri, adalah rilis data inflasi September. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan terjadi deflasi sebesar 0,15% secara month-on-month (MoM).



Sementara secara tahunan, inflasi September diperkirakan berada di 3.52%. Kemudian inflasi inti YoY diramal di 3,295%.


Apakah deflasi menunjukkan adanya pelemahan daya beli? Belum tentu, karena inflasi secara tahunan masih sedikit lebih tinggi dibandingkan Agustus, begitu pula dengan inflasi inti.

Oleh karena itu, inflasi domestik yang masih 'jinak' ini bisa menjadi alasan bagi Bank Indonesia (BI) untuk kembali menurunkan suku bunga acuan. Kebijakan moneter longgar masih dibutuhkan sebagai pendongrak pertumbuhan ekonomi.



(BERLANJUT KE HALAMAN 5)



Berikut agenda korporasi yang terjadwal untuk hari ini:
1. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT Bank Danamon Indonesia Tbk (BDMN) --> 14:00 WIB.
2. RUPSLB PT Vale Indonesia Tbk (INCO) --> 14:00 WIB.

Berikut agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
1. Menko Perekonomian Darmin Nasution dan sejumlah menteri Kabinet Kerja mengadakan rapat koordinasi tentang pengembangan wilayah Suramadu. Dilanjutkan dengan rapat proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. --> 10:00 WIB.
2. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan angka inflasi September. --> 11:00 WIB.
3. Rilis data indeks Tankan sektor manufaktur Jepang periode kuartal III-2019. --> 06:50 WIB.
4. Rilis data pembacaan final Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Jerman periode September. --> 14:55 WIB.
5. Rilis data PMI manufaktur AS periode September. --> 21:00 WIB.

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:


Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Q II-2019 YoY)

5,05%

Inflasi (Agustus 2019 YoY)

3,49

BI 7 Day Reverse Repo Rate (September 2019)

5,25%

Defisit anggaran (APBN 2019)

-1,84% PDB

Transaksi berjalan (Q II-2019)

-3,04% PDB

Neraca pembayaran (Q II-2019)

-US$ 1,98 miliar

Cadangan devisa (Agustus 2019)

US$ 126,44 miliar

 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular