Data China Jelek (Lagi), Risiko Resesi Terkonfirmasi?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 September 2019 10:26
Data China Jelek (Lagi), Risiko Resesi Terkonfirmasi?
Ilustrasi Aktivitas Perdagangan Internasional (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Sinyal perlambatan ekonomi global kian terlihat. Jika kondisi berlanjut tanpa perbaikan, maka resesi ekonomi menjadi risiko yang sangat nyata.

Data teranyar di China menunjukkan bahwa perlambatan semakin menggerogoti sendi-sendi perekonomian terbesar di dunia tersebut. Inflasi di tingkat produsen (Producer Price Index/PPI) China pada Agustus turun alias minus 0,8% year-on-year (YoY).

Penurunan pada Agustus lebih dalam ketimbang bulan sebelumnya yang minus 0,3% YoY. Angka Agustus sekaligus menjadi yang terlemah sejak 2016.



Data PPI juga memberi konfirmasi mengapa ekspor China turun 1% YoY pada Agustus. Ternyata memang dunia usaha di China enggan menaikkan harga karena permintaan global yang melemah.

Pelemahan ekonomi China akan sangat berdampak terhadap seluruh dunia. Bukan apa-apa, kontribusi China terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dunia begitu signifikan.

Dana Moneter Internasional (IMF) mencatat tahun ini kontribusi China terhadap PDB dunia adalah 19,18% berdasarkan pendekatan Purchasing Power Parity (PPP). Sepuluh tahun lalu, kontribusi Negeri Tirai Bambu 'hanya' 7,16%.





(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Ekspor China terkoreksi paling dalam ke Amerika Serikat (AS), dengan penurunan 16% YoY pada Agustus. Lebih parah ketimbang bulan sebelumnya yang minus 6,5%.

Hal ini tentu adalah dampak dari perang dagang dengan AS. Hingga saat ini, produk China yang kena bea masuk di AS mencapai US$ 550 miliar.


Oleh karena itu, tidak bisa tidak, China dan AS harus berbaikan untuk mengakhiri prahara ini. Sudah terlihat nyata bahwa perang dagang adalah penyebab perlambatan ekonomi China, yang menyeret seluruh negara.

Apabila AS-China tidak kunjung damai, maka risiko resesi menjadi semakin tinggi. Hal itu dikemukakan oleh Pei Mixin, Profesor Claremont McKenna College.

"Sudah dari sananya ekonomi mengalami fase boom and bust. China mencoba menghalau siklus ini dengan berbagai intervensi. Namun bagaimana pun sepertinya fase bust akan datang, semakin ditunda maka dampaknya semakin besar. China bisa terjebak dalam resesi, dan resesi berikutnya akan menjadi yang terbesar dalam sejarah," papar Pei, dikutip dari South China Morning Post.


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Tidak cuma di China, perang dagang juga telah membuat perekonomian AS melambat. Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) Atlanta memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal III-2019 hanya 1,5%. Lumayan jauh di bawah pencapaian kuartal sebelumnya yaitu 2%.

UBS, bank asal Swiss, memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal IV-2019 sebesar 1,8% dan kemudian melambat menjadi 0,5% pada kuartal I-2020 dan 0,3% pada kuartal II-2020.

Penyebabnya apa lagi kalau bukan perang dagang dengan China. Bea masuk atas produk made in China membuat harga jual produk di tingkat konsumen menjadi lebih mahal.


Riset US Consumer Technology Association menyebutkan harga telepon seluler naik rata-rata US$ 70, laptop naik US$ 120, dan konsol video game naik US$ 56. Kenaikan harga di tingkat konsumen tentu memberatkan dan membuat daya beli tergerus.

Akibatnya, konsumsi rumah tangga di AS berisiko melambat dan membebani laju pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam. Maklum, konsumsi rumah tangga menyumbang hampir 70% dari pembentukan PDB AS.

Kalau ekonomi AS melambat, seperti halnya China, seluruh dunia akan ikut merasakannya. Berdasarkan PPP, kontribusi AS terhadap perekonomian global tahun ini adalah 15,03%.

Oleh karena itu, jika AS tidak kunjung baikan dengan China maka risiko resesi bakal kian terbuka. The Fed New York memperkirakan probabilitas resesi terjadi pada Agustus 2020 mencapai 37,93%, tertinggi sejak Maret 2008.



Saat AS dan China sama- sama resesi, maka perekonomian global tidak mungkin bisa lolos. Berdasarkan survei Absolute Strategy Research yang berbasis di London, peluang terjadinya resesi global mencapai 45%. 



(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Sudah jelas, kunci untuk menghindari resesi global adalah damai dagang AS-China. Bagaimana prospeknya?

Pekan lalu, AS dan China sepakat untuk melanjutkan dialog dagang di Washington pada awal Oktober. Sebelum itu, akan ada pertemuan level deputi yang juga berlangsung di ibukota Negeri Adidaya.


"Kami sudah punya dokumen, kami membuat banyak kemajuan. Mereka (delegasi China) akan datang ke sini, saya melihatnya sebagai itikad baik bahwa mereka ingin melanjutkan negosiasi.

"Kami juga siap untuk bernegosiasi. Jika sudah ada kesepakatan yang baik, maka kami akan tanda tangan," kata Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin di Fox Business Network, seperti dikutip dari Reuters.

Oleh karena itu, Mnuchin menegaskan bahwa risiko resesi masih sangat jauh. Sebab, Washington berusaha memulihkan hubungan dengan Beijing sehingga arus perdagangan dan investasi kembali lancar.

Untuk saat ini, mari pegang omongan Mnuchin. Semoga AS-China bisa berdamai dan ekonomi global bersemi kembali. Sebab kalau tidak, ya bisa resesi...


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular