
Uni Eropa Tak Mau Kompromi Brexit, Poundsterling Bagaimana?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
26 July 2019 19:43

Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang poundsterling melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (26/7/19) melanjutkan penurunan hari sebelumnya.
Poundsterling kini dalam posisi genting, saat ini pihak Uni Eropa menolak untuk melakukan perundingan Brexit lagi, sementara Perdana Menteri (PM) Inggris yang baru, Boris Johnson, kukuh ingin melakukan negosiasi ulang.
Pada pukul 19:10 WIB, poundsterling diperdagangkan di level US$ 1,2423 atau melemah 0,25% di pasar spot, melansir data Refintiv.
Keras kepala kedua belah pihak tersebut membuat Inggris semakin terancam keluar tanpa kesepakatan apapun dari Uni Eropa alias no-deal Brexit.
No-deal Brexit merupakan kejadian yang paling ditakuti pelaku pasar, bank sentral Inggris (Bank of England/BOE) bahkan memprediksi Negeri Ratu Elizabeth ini akan mengalami resesi terburuk sejak perang dunia kedua.
Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker memberitahu PM Johnson jika kesepakatan yang telah disetujui pendahulunya (Theresa May) adalah yang terbaik dan satu-satunya perjanjian Brexit. Junkker juga mengatakan Uni Eropa akan menganalisis ide-ide yang diberikan Inggris, asalkan masih dalam satu koridor dengan perjanjian sebelumnya.
Jika sampai terjadi no-deal Brexit, poundsterling diprediksi akan mencapai level paritas melawan dolar AS (1 poundsterling = 1 dolar AS).
Morgan Stanley menjadi bank yang memprediksi pound mencapai level paritas tersebut. Skenario kurs poundsterling mencapai US$1 sampai US$1,1 dikatakan akan terjadi jika Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan (no-deal). Morgan Stanley melihat peluang terjadinya hal tersebut semakin menguat, mengutip Bloomberg.com pada pekan lalu.
HSBC juga memprediksi hal yang sama yakni poundsterling kemungkinan mencapai level terendah sepanjang masa US$ 1,0545 yang disentuh pada Maret 1985, mengutip laporan Reuters.
Namun di sisi lain, poundsterling diprediksi akan melesat naik seandainya PM Johnson mau merubah sikapnya.
Dominic Schnider kepala forex dan komoditas untuk Asia Pasific dari UBS Global Wealth Management, memprediksi sikap Johnson nantinya berubah, dan akan mempertimbangkan jalan terbaik untuk Inggris.
"Menjadi seorang perdana menteri, semua hal bisa berubah, dan kami pikir adanya sedikit kemungkinan negosiasi Brexit akan diperpanjang lagi" kata Schnider, mengutip CNBC International.
Schnider mengatakan jika Johnson merubah sedikit saja sikapnya, maka akan ada konsekuensi untuk pounsterling.
"Jika pasar mulai sadar probabilitas hard Brexit (no-deal) terus menyusut, saya pikir poundsterling akan menguat kembali. Jadi kemungkinan kita akan melihat pounsterling bergerak ke arah Utara (menguat) di kisaran US$ 1,30 sampai US$ 1,35" tegas Schnider.
31 Oktober menjadi jadwal Inggris keluar dari Uni Eropa. Hingga hari tersebut tiba, dinamika politik antara Inggris vs Uni Eropa dan Pemerintah Inggris vs Parlemen Inggris akan menjadi penggerak utama poundsterling.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Ekonomi Nyungsep, Poundsterling Malah Menguat ke Rp 18.305
Poundsterling kini dalam posisi genting, saat ini pihak Uni Eropa menolak untuk melakukan perundingan Brexit lagi, sementara Perdana Menteri (PM) Inggris yang baru, Boris Johnson, kukuh ingin melakukan negosiasi ulang.
Pada pukul 19:10 WIB, poundsterling diperdagangkan di level US$ 1,2423 atau melemah 0,25% di pasar spot, melansir data Refintiv.
Keras kepala kedua belah pihak tersebut membuat Inggris semakin terancam keluar tanpa kesepakatan apapun dari Uni Eropa alias no-deal Brexit.
No-deal Brexit merupakan kejadian yang paling ditakuti pelaku pasar, bank sentral Inggris (Bank of England/BOE) bahkan memprediksi Negeri Ratu Elizabeth ini akan mengalami resesi terburuk sejak perang dunia kedua.
Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker memberitahu PM Johnson jika kesepakatan yang telah disetujui pendahulunya (Theresa May) adalah yang terbaik dan satu-satunya perjanjian Brexit. Junkker juga mengatakan Uni Eropa akan menganalisis ide-ide yang diberikan Inggris, asalkan masih dalam satu koridor dengan perjanjian sebelumnya.
Jika sampai terjadi no-deal Brexit, poundsterling diprediksi akan mencapai level paritas melawan dolar AS (1 poundsterling = 1 dolar AS).
Morgan Stanley menjadi bank yang memprediksi pound mencapai level paritas tersebut. Skenario kurs poundsterling mencapai US$1 sampai US$1,1 dikatakan akan terjadi jika Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan (no-deal). Morgan Stanley melihat peluang terjadinya hal tersebut semakin menguat, mengutip Bloomberg.com pada pekan lalu.
HSBC juga memprediksi hal yang sama yakni poundsterling kemungkinan mencapai level terendah sepanjang masa US$ 1,0545 yang disentuh pada Maret 1985, mengutip laporan Reuters.
Namun di sisi lain, poundsterling diprediksi akan melesat naik seandainya PM Johnson mau merubah sikapnya.
Dominic Schnider kepala forex dan komoditas untuk Asia Pasific dari UBS Global Wealth Management, memprediksi sikap Johnson nantinya berubah, dan akan mempertimbangkan jalan terbaik untuk Inggris.
"Menjadi seorang perdana menteri, semua hal bisa berubah, dan kami pikir adanya sedikit kemungkinan negosiasi Brexit akan diperpanjang lagi" kata Schnider, mengutip CNBC International.
Schnider mengatakan jika Johnson merubah sedikit saja sikapnya, maka akan ada konsekuensi untuk pounsterling.
"Jika pasar mulai sadar probabilitas hard Brexit (no-deal) terus menyusut, saya pikir poundsterling akan menguat kembali. Jadi kemungkinan kita akan melihat pounsterling bergerak ke arah Utara (menguat) di kisaran US$ 1,30 sampai US$ 1,35" tegas Schnider.
31 Oktober menjadi jadwal Inggris keluar dari Uni Eropa. Hingga hari tersebut tiba, dinamika politik antara Inggris vs Uni Eropa dan Pemerintah Inggris vs Parlemen Inggris akan menjadi penggerak utama poundsterling.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Ekonomi Nyungsep, Poundsterling Malah Menguat ke Rp 18.305
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular