Diselimuti Perang Dagang, IHSG Susah Payah ke Zona Hijau

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
04 July 2019 16:55
Diselimuti Perang Dagang, IHSG Susah Payah ke Zona Hijau
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan dengan kenaikan tipis 0,02%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menghabiskan mayoritas waktunya hari ini, Kamis (4/7/2019) di zona hijau. Hanya sesaat IHSG merasakan pahitnya zona merah.

Data perdagangan menunjukkan, per akhir sesi II, IHSG menguat 0,21% ke level 6.375,97.

Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong IHSG menguat di antaranya: PT Adaro Energy Tbk/ADRO (+4,41%), PT Bank Mega Tbk/MEGA (+3,06%), PT Pakuwon Jati Tbk/PWON (+3,5%), PT Ace Hardware Indonesia Tbk/ACES (+3,6%), dan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (+0,24%).

Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona hijau: indeks Nikkei naik 0,3%, indeks Straits Times menguat 0,14%, dan indeks Kospi naik 0,61%.

Bursa saham Benua Kuning berhasil mengekor jejak Wall Street yang pada perdagangan kemarin (3/7/2019) sukses mencetak rekor.

Diselimuti Perang Dagang, IHSG Tetap Mampu ke Zona HijauFoto: Doc Reuters

Kemarin, tiga indeks saham utama di Negeri Paman Sam mengakhiri perdagangan di zona hijau: indeks Dow Jones naik 0,67%, indeks S&P 500 menguat 0,77%, dan indeks Nasdaq Composite terapresiasi 0,75%. Ketiga indeks saham tersebut kompak membukukan rekor penutupan tertinggi sepanjang masa.


Sebagai informasi, indeks S&P 500 sudah mencetak rekor penutupan tertinggi sepanjang masa dalam dua perdagangan pertama di pekan ini, sehingga capaian pada hari Rabu menjadi yang ketiga secara beruntun.

Sementara itu, perdagangan hari Rabu menandai kali pertama indeks Dow Jones mengukir rekor penutupan tertinggi yang baru pasca terakhir melakukannya di bulan Oktober.

Untuk indeks Nasdaq Composite, kali terakhir rekor penutupan tertinggi yang baru dicetak sebelum hari Rabu adalah pada bulan Mei.

Membuncahnya optimisme bahwa The Federal Reserve selaku bank sentral AS akan segera memangkas tingkat suku bunga acuan menjadi faktor utama yang melandasi aksi beli oleh pelaku pasar saham di sana.

Optimisme tersebut datang seiring dengan rilis data ekonomi yang mengecewakan, di mana angka penciptaan lapangan kerja AS (sektor non-pertanian) periode Juni 2019 versi Automatic Data Processing (ADP) diumumkan sebanyak 102.000 saja, jauh di bawah ekspektasi yang sebanyak 140.000, dilansir dari Forex Factory.

Sebagai informasi, data tenaga kerja memang merupakan data yang dipantau dengan ketat oleh The Fed guna merumuskan kebijakan suku bunga acuannya.

Pemangkasan tingkat suku bunga acuan menjadi kian mungkin untuk dilakukan pada bulan ini mengingat tekanan inflasi (indikator lain yang dipantau The Fed dalam merumuskan kebijakan suku bunga acuan) sangatlah rendah.

Berbicara mengenai inflasi, The Fed menggunakan Core Personal Consumption Expenditures (PCE) price index sebagai ukurannya. Target jangka panjang untuk inflasi ada di level 2%.

Untuk data teranyar yakni periode Mei 2019, Core PCE price index tercatat hanya tumbuh sebesar 1,6% YoY, jauh di bawah target The Fed.

"Ada peluang nyaris sebesar 100% bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada pertemuan bulan Juli. Saya rasa The Fed akan melihat bahwa indikator-indikator ekonomi di AS telah mulai melambat," kata Scott Colyer, Chief Investment Officer di Advisors Asset Management.

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 3 Juli 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada pertemuan bulan ini berada di level 70,3%. Sementara itu, peluang suku bunga acuan diturunkan hingga 50 bps berada di level 29,7%.

Ketika suku bunga acuan dipangkas, tingkat suku bunga kredit akan ikut melandai yang tentunya akan memberi insentif bagi dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar lebih kencang.

Pemangkasan tingkat suku bunga acuan menjadi sangat krusial guna menghindarkan perekonomian AS dari yang namanya hard landing.

Sebelumnya, Bank Dunia (World Bank) memproyeksikan perekonomian AS tumbuh sebesar 2,5% pada tahun 2019, sebelum kemudian turun drastis menjadi 1,7% pada tahun 2020. Pada tahun 2018, perekonomian AS tumbuh hingga 2,9%, menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2015 silam.

LANJUT KE HALAMAN 2>>
Aura pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang begitu terasa membuat pelaku pasar mengabaikan potensi eskalasi perang dagang AS-China.

Seperti yang diketahui, setelah berbincang sekitar 80 menit di sela-sela gelaran KTT G20 di Jepang pada akhir pekan kemarin, Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping menyetujui gencatan senjata di bidang perdagangan sekaligus membuka kembali pintu negosiasi yang sempat tertutup.

Dilansir dari CNBC International, kedua negara secara terpisah mengumumkan bahwa mereka telah setuju untuk tak saling mengenakan bea masuk baru terhadap produk impor dari masing-masing negara.

Media milik pemerintah China Xinhua menyebut bahwa kedua pimpinan negara setuju "untuk memulai kembali negosiasi dagang antar kedua negara dengan dasar kesetaraan dan rasa hormat."

Namun, kini Trump justru ingin kesepakatan dagang AS-China dibuat untuk lebih menguntungkan AS.

"Itu (kesepakatan dagang) haruslah lebih menguntungkan kita ketimbang China karena mereka telah mengambil keuntungan yang sangat besar (dari AS) untuk begitu lama," cetus Trump, dilansir dari CNBC International.


"Sudah jelas Anda tidak bisa membuat kesepakatan 50-50. Itu (kesepakatan dagang) haruslah lebih menguntungkan kami," lanjut presiden AS ke-45 tersebut.

Jika AS tetap bersikap keras seperti ini, dikhawatirkan kubu China akan panas dan membuat negosiasi dagang kembali menjadi mandek. Jika ini yang terjadi, nampaknya eskalasi perang dagang akan sulit untuk dihindarkan.

Lebih lanjut, aura pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang begitu terasa membuat pelaku pasar mengabaikan potensi meletusnya perang dagang AS-Uni Eropa dalam waktu dekat.

Seperti yang diketahui, pada awal pekan ini Kantor Perwakilan Dagang AS merilis daftar produk impor asal Uni Eropa senilai US$ 4 miliar yang bisa dikenakan bea masuk baru. Barang-barang yang disasar AS berkisar mulai dari makanan hingga minuman keras.

Daftar tersebut melengkapi daftar awal dari produk impor asal Uni Eropa senilai US$ 21 miliar yang juga bisa dikenakan bea masuk baru. Jika ditotal, ada produk impor asal Uni Eropa senilai US$ 25 miliar yang siap disasar oleh pemerintahan Trump.

Kebijakan tersebut diambil guna ‘menghukum’ Uni Eropa karena telah memberikan subsidi kepada Airbus sehingga membuat pabrikan pesawat asal AS, Boeing, menjadi kurang kompetitif.

Uni Eropa pun tak tinggal diam. Seorang juru bicara untuk Komisi Eropa menyebut bahwa pihaknya telah mengetahui terkait ancaman terbaru dari AS dan kebijakan balasan dapat saja diambil, walau dirinya juga tak menutup pintu negosiasi.

“Uni Eropa tetap terbuka untuk berdiskusi dengan AS, asalkan berlangsung tanpa prasyarat dan ditujukan untuk mencapai hasil yang adil,” kata juru bicara tersebut, dilansir dari CNN.

LANJUT KE HALAMAN 3>>

Sayang, kinerja IHSG dibatasi oleh oleh pelemahan rupiah. Hingga sore hari, rupiah melemah 0,14% di pasar spot ke level Rp 14.135/dolar AS.

Rupiah melemah kala harga minyak mentah dunia sedang terkoreksi. Hingga berita ini diturunkan, harga minyak WTI kontrak pengiriman Agustus 2019 melemah 0,65%, sementara harga minyak brent kontrak pengiriman September 2019 jatuh 0,5%.

Ambruknya harga minyak mentah seharusnya bisa berdampak positif bagi rupiah lantaran akan memantik optimisme bahwa defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) akan menjadi bisa diredam.

Tampaknya, dolar AS perkasa lantaran pelaku pasar mengantisipasi rilis angka penciptaan lapangan kerja periode Juni 2019 versi resmi pemerintah AS. Dirilis besok (5/7/2019), konsensus untuk angka penciptaan lapangan kerja (sektor non-pertanian) periode Juni 2019 adalah sebanyak 164.000, jauh di atas capaian pada bulan Mei yang hanya sebanyak 75.000, dilansir dari Forex Factory.

Sementara itu, rata-rata upah per jam periode Juni 2019 diproyeksikan naik 0,3% secara bulanan, dari yang sebelumnya 0,2% pada bulan Mei.

Jika rilis data tenaga kerja tersebut bisa menyamai atau bahkan melampaui ekspektasi, optimisme terkait pemangkasan tingkat suku bunga acuan pada bulan ini akan memudar. Dolar AS pun diburu investor untuk mengatisipasi hal tersebut.

Pelemahan rupiah pada akhirnya membuat investor menahan diri dari melakukan aksi beli dengan intensitas yang besar di pasar saham tanah air.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular