
Investor Asing Masuk Usai 16 Hari Keluar, IHSG Terkerek 0,69%
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
27 May 2019 16:49

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakhiri perdagangan pertama di pekan ini (27/5/2019) dengan penguatan sebesar 0,69% ke level 6.098,97.
Walaupun dibuka melemah tipis sebesar 0,02% pada pagi hari, tak perlu waktu lama bagi IHSG untuk membalikkan keadaan. Hanya dalam hitungan menit, IHSG sudah merangsek ke zona hijau dan tak pernah lagi merasakan pahitnya zona merah hingga akhir perdagangan Senin ini.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong penguatan IHSG di antaranya PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (+1,34%), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (+1,87%), PT Semen Indonesia Tbk/SMGR (+5,32%), PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk/INKP (+9,72%), dan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk/INTP (+4,04%).
Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang ditransaksikan di zona merah: indeks Hang Seng turun 0,24%, indeks Straits Times terkoreksi 0,05%, dan indeks Kospi turun 0,05%. Sementara itu, indeks Nikkei menguat 0,31% dan indeks Shanghai melejit 1,38%.
Perang dagang masih menjadi faktor yang membebani kinerja bursa saham Benua Kuning. Beberapa waktu yang lalu Presiden AS Donald Trump mendeklarasikan kondisi darurat nasional di sektor teknologi melalui sebuah perintah eksekutif.
Dengan aturan itu, Menteri Perdagangan Wilbur Ross jadi memiliki wewenang untuk memblokir transaksi dalam bidang teknologi informasi atau komunikasi yang menimbulkan risiko bagi keamanan nasional AS.
Bersamaan kebijakan ini, Huawei Technologies dan 70 entitas terafiliasi dimasukkan ke dalam daftar perusahaan yang dilarang membeli perangkat dan komponen dari perusahaan AS tanpa persetujuan pemerintah.
China pun kemudian berang dengan langkah AS tersebut. Kementerian Perdagangan China kemarin memperingatkan bahwa sanksi terhadap perusahaan-perusahaan seperti Huawei dapat meningkatkan tensi perang dagang.
"Kami meminta AS untuk berhenti melangkah lebih jauh, supaya perusahaan-perusahaan asal China dapat merasakan situasi yang lebih normal dalam berbisnis, serta untuk menghindari eskalasi lebih lanjut dalam perang dagang AS-China," papar Juru Bicara Kementerian Perdagangan China Gao Feng dalam konferensi pers, dikutip dari CNBC International.
Perkembangan terbaru, Presiden AS Donald Trump memproyeksikan bahwa dalam waktu dekat, AS dan China akan mampu meneken kesepakatan.
"Ini sedang terjadi dan terjadi dengan cepat. Saya rasa (proses negosiasi) dengan China akan berlangsung cepat karena saya tidak bisa membayangkan mereka (China) dapat merasa senang dengan ribuan perusahaan keluar dari negaranya," tegas Trump dalam pidato di Gedung Putih, mengutip Reuters.
Namun, hal tersebut belum bisa meredakan kekhawatiran pelaku pasar. Pasalnya, hingga saat ini belum ada rencana konkret dari kedua negara untuk kembali menggelar negosiasi dagang. Selain itu, AS masih mengincar produk-produk impor asal China senilai US$ 300 miliar untuk dikenakan bea masuk.
Beberapa hari yang lalu, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan bahwa AS tengah mempelajari dampak pengenaan bea masuk tersebut terhadap konsumen di sana, dilansir dari Reuters.
Dari pihak China, Beijing diketahui sudah mempertimbangkan kebijakan balasan yang akan diluncurkan terhadap AS. Menurut sebuah laporan dari South China Morning Post, China sedang mempertimbangkan untuk menghentikan pembelian gas alam dari AS. Pada tahun 2017, China diketahui membeli minyak mentah dan gas alam cair senilai US$ 6,3 miliar dari AS.
LANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA>>
Di sisi lain, sentimen positif bagi bursa saham Asia datang dari pertemuan antara Trump dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe.
Berbicara dalam konferensi pers usai menggelar kunjungan kenegaraan ke Jepang selama 4 hari, Trump mengatakan bahwa dirinya berharap bisa mengumumkan kesepakatan dagang dengan Jepang dalam waktu yang sangat dekat.
Trump mengungkapkan bahwa defisit dagang yang dialami oleh AS dengan Jepang adalah sangat besar, namun dirinya berharap bahwa permasalahan tersebut bisa segera diatasi.
“Mereka (Jepang) adalah pebisnis yang luar biasa, negosiator yang luar biasa dan telah menempatkan kita (AS) di dalam sebuah posisi yang sulit, namun saya rasa kami akan mencapai kesepakatan dengan Jepang,” kata Trump, dilansir dari CNBC International.
Sementara itu, Abe mengatakan bahwa dirinya dan Trump telah setuju untuk mempercepat dialog dagang kedua negara.
Sebelumnya, Trump sempat mengancam bahwa dirinya akan mengenakan bea masuk yang tinggi bagi mobil impor asal Jepang. Kini, pelaku pasar optimistis bahwa ancaman tersebut tak akan dieksekusi.
Sekedar mengingatkan, Jepang merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar ketiga di dunia setelah AS dan China. Jika perang dagang AS-Jepang bisa dihindari, tentu perekonomian dunia bisa dipacu untuk melaju di level yang relatif tinggi.
LANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA>>
Selain karena adanya potensi kesepakatan dagang AS-Jepang, laju IHSG juga terbantu oleh penguatan nilai tukar rupiah. Hingga sore hari, rupiah menguat 0,07% di pasar spot ke level Rp 14.375/dolar AS, menandai apresiasi selama 3 hari beruntun.
Rupiah terus menunjukkan performa yang menggembirakan pasca sebelumnya terus-menerus bergerak melemah. Jika dihitung sejak awal bulan ini hingga penutupan perdagangan tanggal 22 Mei, rupiah melemah hingga 1,93% melawan dolar AS di pasar spot.
Ada 2 hal yang memotori penguatan rupiah dalam 3 hari perdagangan terakhir. Pertama, rupiah tampak sudah selesai ‘dihukum’ oleh pelaku pasar.
Pada bulan ini, rupiah sempat diterpa tekanan jual seiring dengan kehadiran awan hitam yang menyelimuti bernama defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD).
CAD periode kuartal-I 2019 diumumkan senilai US$ 7 miliar atau setara dengan 2,6% dari PDB, sudah jauh lebih dalam dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.
Jika berbicara mengenai rupiah, transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi modal dan finansial yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Kedua, penguatan rupiah dalam 3 hari perdagangan terakhir dimotori oleh rilis data ekonomi AS yang mengecewakan. Belum lama ini, pembacaan awal atas data Manufacturing PMI periode Mei 2019 versi Markit diumumkan di level 50,6, di bawah konsensus yang sebesar 53, dilansir dari Forex Factory.
Kemudian, pemesanan barang tahan lama inti periode April 2019 diumumkan flat alias tak mencatatkan perubahan secara bulanan. Padahal, konsensus memperkirakan ada pertumbuhan sebesar 0,1%, dilansir dari Forex Factory.
Dengan data ekonomi AS yang mengecewakan, ekspektasi bahwa The Federal Reserve selaku bank sentral AS akan memangkas tingkat suku bunga acuan menjadi membesar dan praktis membuat dolar AS menjadi kehilangan pijakan untuk menguat.
Seiring dengan penguatan rupiah, investor asing pun kembali ke pasar saham tanah air. Per akhir sesi 2, investor asing membukukan beli bersih senilai Rp 497,4 miliar di pasar reguler, memutus rentetan jual bersih yang sudah berlangsung selama 16 hari beruntun.
Saham-saham yang banyak diburu investor asing pada perdagangan hari ini di antaranya: PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (Rp 284,3 miliar), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 223 miliar), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 47,2 miliar), PT Indofood Sukses Makmur Tbk/INDF (Rp 24,4 miliar), dan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk/INTP (Rp 17,9 miliar).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/tas) Next Article Sepekan Ini, IHSG Anteng di Zona Merah
Walaupun dibuka melemah tipis sebesar 0,02% pada pagi hari, tak perlu waktu lama bagi IHSG untuk membalikkan keadaan. Hanya dalam hitungan menit, IHSG sudah merangsek ke zona hijau dan tak pernah lagi merasakan pahitnya zona merah hingga akhir perdagangan Senin ini.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong penguatan IHSG di antaranya PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (+1,34%), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (+1,87%), PT Semen Indonesia Tbk/SMGR (+5,32%), PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk/INKP (+9,72%), dan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk/INTP (+4,04%).
Perang dagang masih menjadi faktor yang membebani kinerja bursa saham Benua Kuning. Beberapa waktu yang lalu Presiden AS Donald Trump mendeklarasikan kondisi darurat nasional di sektor teknologi melalui sebuah perintah eksekutif.
Dengan aturan itu, Menteri Perdagangan Wilbur Ross jadi memiliki wewenang untuk memblokir transaksi dalam bidang teknologi informasi atau komunikasi yang menimbulkan risiko bagi keamanan nasional AS.
Bersamaan kebijakan ini, Huawei Technologies dan 70 entitas terafiliasi dimasukkan ke dalam daftar perusahaan yang dilarang membeli perangkat dan komponen dari perusahaan AS tanpa persetujuan pemerintah.
![]() |
China pun kemudian berang dengan langkah AS tersebut. Kementerian Perdagangan China kemarin memperingatkan bahwa sanksi terhadap perusahaan-perusahaan seperti Huawei dapat meningkatkan tensi perang dagang.
"Kami meminta AS untuk berhenti melangkah lebih jauh, supaya perusahaan-perusahaan asal China dapat merasakan situasi yang lebih normal dalam berbisnis, serta untuk menghindari eskalasi lebih lanjut dalam perang dagang AS-China," papar Juru Bicara Kementerian Perdagangan China Gao Feng dalam konferensi pers, dikutip dari CNBC International.
Perkembangan terbaru, Presiden AS Donald Trump memproyeksikan bahwa dalam waktu dekat, AS dan China akan mampu meneken kesepakatan.
"Ini sedang terjadi dan terjadi dengan cepat. Saya rasa (proses negosiasi) dengan China akan berlangsung cepat karena saya tidak bisa membayangkan mereka (China) dapat merasa senang dengan ribuan perusahaan keluar dari negaranya," tegas Trump dalam pidato di Gedung Putih, mengutip Reuters.
Namun, hal tersebut belum bisa meredakan kekhawatiran pelaku pasar. Pasalnya, hingga saat ini belum ada rencana konkret dari kedua negara untuk kembali menggelar negosiasi dagang. Selain itu, AS masih mengincar produk-produk impor asal China senilai US$ 300 miliar untuk dikenakan bea masuk.
Beberapa hari yang lalu, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan bahwa AS tengah mempelajari dampak pengenaan bea masuk tersebut terhadap konsumen di sana, dilansir dari Reuters.
Dari pihak China, Beijing diketahui sudah mempertimbangkan kebijakan balasan yang akan diluncurkan terhadap AS. Menurut sebuah laporan dari South China Morning Post, China sedang mempertimbangkan untuk menghentikan pembelian gas alam dari AS. Pada tahun 2017, China diketahui membeli minyak mentah dan gas alam cair senilai US$ 6,3 miliar dari AS.
LANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA>>
Berbicara dalam konferensi pers usai menggelar kunjungan kenegaraan ke Jepang selama 4 hari, Trump mengatakan bahwa dirinya berharap bisa mengumumkan kesepakatan dagang dengan Jepang dalam waktu yang sangat dekat.
![]() |
“Mereka (Jepang) adalah pebisnis yang luar biasa, negosiator yang luar biasa dan telah menempatkan kita (AS) di dalam sebuah posisi yang sulit, namun saya rasa kami akan mencapai kesepakatan dengan Jepang,” kata Trump, dilansir dari CNBC International.
Sementara itu, Abe mengatakan bahwa dirinya dan Trump telah setuju untuk mempercepat dialog dagang kedua negara.
Sebelumnya, Trump sempat mengancam bahwa dirinya akan mengenakan bea masuk yang tinggi bagi mobil impor asal Jepang. Kini, pelaku pasar optimistis bahwa ancaman tersebut tak akan dieksekusi.
Sekedar mengingatkan, Jepang merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar ketiga di dunia setelah AS dan China. Jika perang dagang AS-Jepang bisa dihindari, tentu perekonomian dunia bisa dipacu untuk melaju di level yang relatif tinggi.
LANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA>>
Selain karena adanya potensi kesepakatan dagang AS-Jepang, laju IHSG juga terbantu oleh penguatan nilai tukar rupiah. Hingga sore hari, rupiah menguat 0,07% di pasar spot ke level Rp 14.375/dolar AS, menandai apresiasi selama 3 hari beruntun.
Rupiah terus menunjukkan performa yang menggembirakan pasca sebelumnya terus-menerus bergerak melemah. Jika dihitung sejak awal bulan ini hingga penutupan perdagangan tanggal 22 Mei, rupiah melemah hingga 1,93% melawan dolar AS di pasar spot.
Ada 2 hal yang memotori penguatan rupiah dalam 3 hari perdagangan terakhir. Pertama, rupiah tampak sudah selesai ‘dihukum’ oleh pelaku pasar.
Pada bulan ini, rupiah sempat diterpa tekanan jual seiring dengan kehadiran awan hitam yang menyelimuti bernama defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD).
CAD periode kuartal-I 2019 diumumkan senilai US$ 7 miliar atau setara dengan 2,6% dari PDB, sudah jauh lebih dalam dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.
Jika berbicara mengenai rupiah, transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi modal dan finansial yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Kedua, penguatan rupiah dalam 3 hari perdagangan terakhir dimotori oleh rilis data ekonomi AS yang mengecewakan. Belum lama ini, pembacaan awal atas data Manufacturing PMI periode Mei 2019 versi Markit diumumkan di level 50,6, di bawah konsensus yang sebesar 53, dilansir dari Forex Factory.
Kemudian, pemesanan barang tahan lama inti periode April 2019 diumumkan flat alias tak mencatatkan perubahan secara bulanan. Padahal, konsensus memperkirakan ada pertumbuhan sebesar 0,1%, dilansir dari Forex Factory.
Dengan data ekonomi AS yang mengecewakan, ekspektasi bahwa The Federal Reserve selaku bank sentral AS akan memangkas tingkat suku bunga acuan menjadi membesar dan praktis membuat dolar AS menjadi kehilangan pijakan untuk menguat.
Seiring dengan penguatan rupiah, investor asing pun kembali ke pasar saham tanah air. Per akhir sesi 2, investor asing membukukan beli bersih senilai Rp 497,4 miliar di pasar reguler, memutus rentetan jual bersih yang sudah berlangsung selama 16 hari beruntun.
Saham-saham yang banyak diburu investor asing pada perdagangan hari ini di antaranya: PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (Rp 284,3 miliar), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 223 miliar), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 47,2 miliar), PT Indofood Sukses Makmur Tbk/INDF (Rp 24,4 miliar), dan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk/INTP (Rp 17,9 miliar).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/tas) Next Article Sepekan Ini, IHSG Anteng di Zona Merah
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular