
Asing Kembali Lirik Indonesia, IHSG Melejit 0,9%
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
26 March 2019 13:03

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akhirnya bangkit pada perdagangan hari ini, Selasa (26/3/2019), setelah kemarin anjlok hingga 1,75% tertekan aksi jual alias sell-off.
Pada awal perdagangan, IHSG dibuka menguat 0,46% dan memperlebar penguatan menjadi 0,9% di akhir sesi 1 ke level 6.468,83. IHSG lantas kembali mengintai level psikologis 6.500, level yang ditinggalkannya saat terjadi sell-off kemarin.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan bagi kenaikan IHSG adalah PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (+0,83%), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (+1,2%), PT Astra International Tbk/ASII (+1,42%), PT Telekomunikasi Indonesia/TLKM (+0,8%), dan PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (+1,73%).
Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona hijau kecuali Shanghai. Indeks Nikkei naik 2,11%, indeks Hang Seng naik 0,2%, indeks Straits Times juga naik 0,8%, dan indeks Kospi naik 0,27%.
Selain di pasar saham dalam negeri, koreksi dalam yang dialami bursa saham regional kemarin juga membuka ruang bagi pelaku pasar untuk melakukan aksi beli. Kemarin, indeks Nikkei ditutup anjlok 3,01%, indeks Hang Seng turun 2,03%, indeks Straits Times terkoreksi 0,91%, dan indeks Kospi terpangkas 1,92%.
Sejatinya, sentimen negatif masih menghantui perdagangan hari ini, utamanya dari potensi terjadinya resesi di AS. Pada Jumat pekan lalu (22/3/2019), terjadi inversi pada obligasi AS tenor 3 bulan dan 10 tahun.
Inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek.
Melansir data dari Refinitiv, pada penutupan perdagangan 22 Maret 2019, yield obligasi AS tenor 3 bulan berada di level 2,462%, sementara untuk tenor 10 tahun berada di level 2,455%.
Inversi pada tenor 3 bulan dan 10 tahun merupakan konfirmasi dari potensi datangnya resesi di AS. Pasalnya dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi inversi pada tenor 3 bulan dan 10 tahun yang sebelumnya didahului inversi pada tenor 3 dan 5 tahun. Soal inversi pada tenor 3 dan 5 tahun, hal ini sudah terjadi pada 3 Desember 2018.
Pada penutupan perdagangan kemarin, inversi yang terjadi semakin parah. Jika pada Jumat yield obligasi AS tenor 3 bulan lebih tinggi sebesar 0,7 bps dari yield obligasi AS tenor 10 tahun, kemarin nilainya mencapai 3,6 bps. Pada perdagangan hari ini, nilainya memang sedikit menipis namun masih terbilang besar, yakni 3,4 bps.
Inversi yang semakin parah tersebut (yield tenor 3 bulan semakin meninggalkan yield tenor 10 tahun) menunjukkan bahwa pelaku pasar kian yakin bahwa AS akan masuk ke dalam jurang resesi.
Memang, hal ini sebetulnya beralasan. Data-data ekonomi teranyar yang dirilis di AS tak mampu memenuhi ekspektasi pelaku pasar. Pembacaan awal atas data Manufacturing PMI periode Maret versi Markit diumumkan di level 52,5, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 53,5, seperti dilansir dari Forex Factory.
Pembacaan awal atas data Service PMI periode Maret versi Markit juga diumumkan di level 54,8, juga lebih rendah dari konsensus yang sebesar 55,7.
Kala AS selaku negara dengan nilai perekonomian di dunia mengalami resesi, tentu negara-negara lain akan ikut merasakan dampaknya.
LANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA>>
Pada awal perdagangan, IHSG dibuka menguat 0,46% dan memperlebar penguatan menjadi 0,9% di akhir sesi 1 ke level 6.468,83. IHSG lantas kembali mengintai level psikologis 6.500, level yang ditinggalkannya saat terjadi sell-off kemarin.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan bagi kenaikan IHSG adalah PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (+0,83%), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (+1,2%), PT Astra International Tbk/ASII (+1,42%), PT Telekomunikasi Indonesia/TLKM (+0,8%), dan PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (+1,73%).
Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona hijau kecuali Shanghai. Indeks Nikkei naik 2,11%, indeks Hang Seng naik 0,2%, indeks Straits Times juga naik 0,8%, dan indeks Kospi naik 0,27%.
Selain di pasar saham dalam negeri, koreksi dalam yang dialami bursa saham regional kemarin juga membuka ruang bagi pelaku pasar untuk melakukan aksi beli. Kemarin, indeks Nikkei ditutup anjlok 3,01%, indeks Hang Seng turun 2,03%, indeks Straits Times terkoreksi 0,91%, dan indeks Kospi terpangkas 1,92%.
Sejatinya, sentimen negatif masih menghantui perdagangan hari ini, utamanya dari potensi terjadinya resesi di AS. Pada Jumat pekan lalu (22/3/2019), terjadi inversi pada obligasi AS tenor 3 bulan dan 10 tahun.
Inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek.
Melansir data dari Refinitiv, pada penutupan perdagangan 22 Maret 2019, yield obligasi AS tenor 3 bulan berada di level 2,462%, sementara untuk tenor 10 tahun berada di level 2,455%.
Inversi pada tenor 3 bulan dan 10 tahun merupakan konfirmasi dari potensi datangnya resesi di AS. Pasalnya dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi inversi pada tenor 3 bulan dan 10 tahun yang sebelumnya didahului inversi pada tenor 3 dan 5 tahun. Soal inversi pada tenor 3 dan 5 tahun, hal ini sudah terjadi pada 3 Desember 2018.
Pada penutupan perdagangan kemarin, inversi yang terjadi semakin parah. Jika pada Jumat yield obligasi AS tenor 3 bulan lebih tinggi sebesar 0,7 bps dari yield obligasi AS tenor 10 tahun, kemarin nilainya mencapai 3,6 bps. Pada perdagangan hari ini, nilainya memang sedikit menipis namun masih terbilang besar, yakni 3,4 bps.
Inversi yang semakin parah tersebut (yield tenor 3 bulan semakin meninggalkan yield tenor 10 tahun) menunjukkan bahwa pelaku pasar kian yakin bahwa AS akan masuk ke dalam jurang resesi.
Memang, hal ini sebetulnya beralasan. Data-data ekonomi teranyar yang dirilis di AS tak mampu memenuhi ekspektasi pelaku pasar. Pembacaan awal atas data Manufacturing PMI periode Maret versi Markit diumumkan di level 52,5, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 53,5, seperti dilansir dari Forex Factory.
Pembacaan awal atas data Service PMI periode Maret versi Markit juga diumumkan di level 54,8, juga lebih rendah dari konsensus yang sebesar 55,7.
Kala AS selaku negara dengan nilai perekonomian di dunia mengalami resesi, tentu negara-negara lain akan ikut merasakan dampaknya.
LANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA>>
Next Page
Investor Asing Kembali
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular