
Asing Masuk Rp 170,5 M, Namun Gagal Selamatkan IHSG
Dwi Ayuningtyas & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
19 March 2019 17:09

Jakarta, CNBC Indonesia - Dibuka menguat 0,09%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakhiri perdagangan hari ini dengan pelemahan sebesar 0,45% ke level 6.480,28. Indeks acuan bursa saham Indonesia akhirnya berakhir di zona merah setelah sempat menguat selama 4 hari beruntun.
IHSG melemah kala bursa saham utama kawasan Asia bergerak bervariasi: indeks Nikkei turun 0,08%, indeks Shanghai turun 0,18%, indeks Kospi turun 0,09%, indeks Hang Seng naik 0,19%, dan indeks Straits Times naik 0,25%.
Tarik-menarik antara sentimen positif berupa ekspektasi atas dovish-nya The Federal Reserve dan sentimen negatif berupa No-Deal Brexit membuat bursa saham Benua Kuning bingung menentukan arah.
Pada pembukaan perdagangan, IHSG sempat menguat dikarenakan investor berekspektasi bahwa The Fed akan memilih bersikap anteng (dovish) dan mempertahankan suku bunga acuan (Federal Funds Rate) di level 2,25-2,5%.
Namun, sentimen positif dari The Fed tersebut tidak dapat mengalahkan dampak perekonomian yang mungkin timbul dari alotnya negosiasi dagang AS-China dan semakin besarnya peluangĀ perceraian Inggris-Uni Eropa tanpa kesepakatan (No-Deal Brexit).
Perkembangan terbaru mengatakan, pertemuan lanjutan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping nampaknya akan diundur hingga Juni. Melansir dari South China Morning Post, seorang sumber mengatakan bahwa masih ada perbedaan dari sisi AS terkait dengan kesepakatan dengan China.
Pihak Trump masih masih condong untuk memberlakukan pengawasan yang ketat terhadap kesepakatan dagang AS-China terutama terkait pada hak kekayaan intelektual, kompetisi yang tidak adil (perlindungan pemerintah), dan kewajiban transfer teknologi.
Alhasil, dengan semakin berlarut-larutnya negosiasi dagang, kemungkinan bahwa kedua negara tidak bisa mencapai kesepakatan menjadi semakin besar.
Sejauh ini saja, perang dagang yang berkecamuk antar kedua negara terlihat jelas sudah menyakiti perekonomian masing-masing. Di China misalnya, belum lama ini ekspor periode Februari 2019 diumumkan terkontraksi sebesar 20,7% secara tahunan, jauh lebih dalam dibandingkan konsensus yang hanya memperkirakan penurunan sebesar 4,8% YoY, seperti dilansir dari Trading Economics. Sementara itu, impor turun hingga 5,2%, juga lebih dalam dari ekspektasi yakni penurunan sebesar 1,4%.
Di AS, produksi industri periode Februari 2019 diumumkan hanya tumbuh tipis 0,1% MoM, jauh di bawah konsensus yang memperkirakan pertumbuhan sebesar 0,4% MoM, seperti dikutip dari Forex Factory. Kemudian, Indeks perumahan NAHB pada Maret 2019 berada di angka 62, tidak berubah dibandingkan bulan sebelumnya. Pencapaian Maret tersebut berada di bawah konsensus pasar yang memperkirakan kenaikan menjadi 63.
Jika perang dagang justru tereskalasi, maka tekanan terhadap perekonomian AS dan China dipastikan akan bertambah besar.
Lebih lanjut, keresahan juga datang seiring dengan Parlemen Inggris yang tidak memperbolehkan pemungutan suara lanjutan atas proposal Brexit yang diajukan Perdana Menteri Theresa May. Alasannya, proposal tersebut tidak mengandung perubahan dari segi fundamental.
Keputusan parlemen Inggris tersebut tentunya semakin meningkatkan peluang bahwa Inggris akan berpisah dengan Uni Eropa tanpa kesepakatan (No-Deal Brexit). Jika ini yang terjadi nantinya, tentu perekonomian Inggris akan mendapatkan tekanan yang sangat signifikan.
Sebelumnya, Bank of England yang merupakan bank sentral Inggris telah memperingatkan bahwa No-Deal Brexit bisa mengakibatkan resesi.
Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
IHSG melemah kala bursa saham utama kawasan Asia bergerak bervariasi: indeks Nikkei turun 0,08%, indeks Shanghai turun 0,18%, indeks Kospi turun 0,09%, indeks Hang Seng naik 0,19%, dan indeks Straits Times naik 0,25%.
Tarik-menarik antara sentimen positif berupa ekspektasi atas dovish-nya The Federal Reserve dan sentimen negatif berupa No-Deal Brexit membuat bursa saham Benua Kuning bingung menentukan arah.
Namun, sentimen positif dari The Fed tersebut tidak dapat mengalahkan dampak perekonomian yang mungkin timbul dari alotnya negosiasi dagang AS-China dan semakin besarnya peluangĀ perceraian Inggris-Uni Eropa tanpa kesepakatan (No-Deal Brexit).
Perkembangan terbaru mengatakan, pertemuan lanjutan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping nampaknya akan diundur hingga Juni. Melansir dari South China Morning Post, seorang sumber mengatakan bahwa masih ada perbedaan dari sisi AS terkait dengan kesepakatan dengan China.
Pihak Trump masih masih condong untuk memberlakukan pengawasan yang ketat terhadap kesepakatan dagang AS-China terutama terkait pada hak kekayaan intelektual, kompetisi yang tidak adil (perlindungan pemerintah), dan kewajiban transfer teknologi.
Alhasil, dengan semakin berlarut-larutnya negosiasi dagang, kemungkinan bahwa kedua negara tidak bisa mencapai kesepakatan menjadi semakin besar.
Sejauh ini saja, perang dagang yang berkecamuk antar kedua negara terlihat jelas sudah menyakiti perekonomian masing-masing. Di China misalnya, belum lama ini ekspor periode Februari 2019 diumumkan terkontraksi sebesar 20,7% secara tahunan, jauh lebih dalam dibandingkan konsensus yang hanya memperkirakan penurunan sebesar 4,8% YoY, seperti dilansir dari Trading Economics. Sementara itu, impor turun hingga 5,2%, juga lebih dalam dari ekspektasi yakni penurunan sebesar 1,4%.
Di AS, produksi industri periode Februari 2019 diumumkan hanya tumbuh tipis 0,1% MoM, jauh di bawah konsensus yang memperkirakan pertumbuhan sebesar 0,4% MoM, seperti dikutip dari Forex Factory. Kemudian, Indeks perumahan NAHB pada Maret 2019 berada di angka 62, tidak berubah dibandingkan bulan sebelumnya. Pencapaian Maret tersebut berada di bawah konsensus pasar yang memperkirakan kenaikan menjadi 63.
Jika perang dagang justru tereskalasi, maka tekanan terhadap perekonomian AS dan China dipastikan akan bertambah besar.
Lebih lanjut, keresahan juga datang seiring dengan Parlemen Inggris yang tidak memperbolehkan pemungutan suara lanjutan atas proposal Brexit yang diajukan Perdana Menteri Theresa May. Alasannya, proposal tersebut tidak mengandung perubahan dari segi fundamental.
Keputusan parlemen Inggris tersebut tentunya semakin meningkatkan peluang bahwa Inggris akan berpisah dengan Uni Eropa tanpa kesepakatan (No-Deal Brexit). Jika ini yang terjadi nantinya, tentu perekonomian Inggris akan mendapatkan tekanan yang sangat signifikan.
Sebelumnya, Bank of England yang merupakan bank sentral Inggris telah memperingatkan bahwa No-Deal Brexit bisa mengakibatkan resesi.
Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular