Newsletter

Perang Dagang Masih Panas, Brexit tak Jelas

Hidayat Setiaji & M Taufan Adharsyah & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
24 May 2019 06:10
Perang Dagang Masih Panas, Brexit tak Jelas
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia menampilkan performa yang impresif pada perdagangan kemarin. Kala indeks saham dan mata uang Asia ramai-ramai melemah, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah justru menguat. 

Kemarin, IHSG ditutup dengan kenaikan signifikan yaitu 1,57%. IHSG menjadi satu-satunya indeks saham utama di Asia yang mampu menguat. 




Sementara nilai tukar rupiah menguat 0,45% di hadapan dolar AS di perdagangan pasar spot. Rupiah berhasil menjadi yang terbaik di Benua Kuning. 

 


Faktor eksternal memang tidak bersahabat bagi pasar keuangan Asia. Sejatinya dolar AS sedang menjadi primadona pasar karena perkembangan perang dagang AS-China. 

AS berencana mengenakan bea masuk baru untuk impor produk China senilai US$ 300 miliar. Kebijakan ini paling cepat berlaku sebulan lagi. 

"Untuk sementara belum ada kebijakan baru. Paling tidak sampai 30-45 hari ke depan," tutur Steven Mnuchin, Menteri Keuangan AS, dikutip dari Reuters. 

Jika AS benar-benar menerapkan bea masuk baru, maka kemungkinan besar China akan membalas. Api perang dagang bakal semakin besar dan membakar perekonomian dunia. 

Perang dagang juga sudah merambat ke level korporasi. Pekan lalu, AS memasukkan Huawei (perusahaan telekomunikasi asal China) ke daftar hitam meski kemudian diberi kelonggaran hingga Agustus. 


Mengutip Reuters, AS mulai mengajak negara-negara lain untuk ikut mengucilkan Huawei. Seorang sumber di Kementerian Perdagangan AS mengungkapkan, Washington mengajak Korea Selatan untuk tidak menggunakan produk-produk Huawei.
 

Harian Chosun Ilbo memberitakan, pemerintah AS beberapa kali mengirim kawat diplomatik ke Kementerian Luar Negeri Korea Selatan untuk tidak menggunakan produk Huawei. Sebab, barang itu berpotensi membahayakan keamanan. 

"AS menggarisbawahi pentingnya faktor keamanan dalam perangkat 5G. Kami menyadari penuh posisi AS tersebut," tulis pernyataan Kementerian Luar Negeri Korea Selatan. 

Hawa perang dagang AS-China yang memanas membuat risk appetite investor pudar. Bermain aman menjadi pilihan utama sehingga dolar AS kebanjiran permintaan. 

Namun IHSG dan rupiah berhasil mengarungi gelombang keperkasaan dolar AS karena sokongan sentimen domestik. Beban pasar keuangan Indonesia terangkat karena situasi dalam negeri yang telah kondusif.  

Investor sempat khawatir akibat gelombang demonstrasi usai pengumuman hasil Pemilu 2019. Pada 21 Mei, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan capres-cawapres Joko Widodo (Jokowi)-KH Ma'ruf Amin sebagai pemimpin Indonesia untuk 2019-2024. Keputusan itu ditolak oleh pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno.


Gelombang demonstrasi menolak hasil perhitungan suara KPU melanda ibu kota. Bahkan aksi tersebut berujung ricuh di sejumlah titik.
 Gangguan keamanan ini membuat investor, terutama asing, tentu merasa tidak nyaman. Arus modal keluar membuat pasar keuangan Indonesia tertekan.

Namun kemarin situasi sudah kondusif. Tidak ada lagi aksi demonstrasi yang bisa menyebabkan keributan. Sudah adem ayem. Arus modal pun kembali masuk ke pasar keuangan Indonesia sehingga IHSG dan rupiah mampu perkasa. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Ada kabar tidak enak dari New York. Tiga indeks utama di Wall Street terkoreksi tajam, di mana Dow Jones Industrial Average (DJIA) anjlok 1,11%, S&P 500 amblas 1,19%, dan Nasdaq Composite ambrol 1,58%. 

Sepeti kemarin, dinamika perang dagang AS-China membuat investor ketar-ketir. Pemerintah China memasang posisi galak terhadap AS, yang membuat prospek dialog dagang menjadi buram. 

"Jika AS ingin melanjutkan perundingan dagang, maka mereka harus tulus dan memperbaiki kesalahannya. Negosiasi hanya bisa berlanjut bila didasari kesamaan dan saling menghormati. Kami memantau perkembangan terkini dan siap melakukan langkah-langkah yang diperlukan," tegas Gao Feng, Juru Bicara Kementerian Perdagangan China, mengutip Reuters.



Sepertinya Beijing benar-benar kecewa dengan kebijakan Washington yang memasukkan Huawei ke daftar hitam. Pasalnya, kini semakin banyak perusahaan yang memutus tali silaturahmi dengan Huawei. 

Terakhir, raksasa elektronik asal Jepang, Panasonic, ikut menghentikan kerja sama. Panasonic berhenti mendatangkan sejumlah komponen dari Huawei. Sebelumnya, perusahaan pembuat chip asal Inggris, ARM, juga melakukan hal yang sama. 

Huawei adalah perusahaan pembuat perangkat dan komponen telekomunikasi terbesar di dunia. Jika pasokan dari Huawei terhenti, maka industri telekomunikasi global tentu akan mempengaruhi industri telekomunikasi secara signifikan. 

Ini yang membuat indeks Nasdaq terkoreksi paling parah, karena harga saham emiten-emiten teknologi dan telekomunikasi terperosok dalam. Harga saham Alphabet (induk usaha Google) turun  0,91%, Microsoft amblas 1,17%, Nvidia anjlok 3,21%, dan Facebook ambrol 2,4%. 

"Kita akan mengalami perjalanan ke bawah sampai ada solusi atas apa yang terjadi dengan China. Jika Anda melakukan trading, maka bukan hal yang buruk jika Anda minggir terlebih dulu dan melihat situasi," kata Jamie Cox, Managing Partner di Harris Financial Group yang berbasis di Virginia, mengutip Reuters.



Hal yang menambah kekhawatiran pelaku pasar di bursa saham New York adalah rilis data Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur AS. Perkiraan angka PMI edisi Mei versi IHS Markit berada di 50,6, turun lumayan jauh dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 52,6. Angka 50,6 adalah yang terendah sejak September 2009.                                                                                             

"Investor menyadai bahwa situasi ke depan akan semakin menantang dengan lingkungan ekonomi yang sangat berisiko. Tidak heran investor merespons dengan melakukan risk-off (menghindari risiko)," ujar Luke Tilley, Kepala Ekonom di Wilmington Trust yang berbasis di Delaware, dikutip dari Reuters. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu kabar dari Wall Street yang meresahkan. Bisa-bisa investor di Asia keder duluan saat melihat Wall Street yang anjlok.

Sentimen kedua adalah perang dagang AS-China. Sepertinya AS tengah mempersiapkan diri jika perang dagang dengan China berlangsung lama dan menyakitkan. 

Pemerintahan Presiden Donald Trump mengeluarkan paket kebijakan yang bertujuan melindungi industri pertanian Negeri Paman Sam dari dampak perang dagang. Paket tersebut bernilai US$ 16 miliar. 

"Paket ini memastikan petani tidak akan terluka atas praktik perdagangan yang dilakukan China dan negara-negara lain. Mungkin petani lebih memilih bisa berdagang ketimbang menerima bantuan, tetapi untuk saat ini mereka membutuhkan dukungan," tegas Sonny Perdue, Menteri Pertanian AS, mengutip Reuters.



Sebagian besar dari anggaran US$ 16 miliar tersebut, tepatnya US$ 14,5 miliar, digunakan untuk menyerap hasil pertanian baik itu kedelai, jagung, dan sebagainya. Akan ada tiga tahap penyerapan hasil panen, tahap pertama akan berlangsung pada akhir Juli. 

China adalah pengimpor terbesar hasil pertanian AS, terutama kedelai. Data US Department of Agriculture menyebutkan bahwa pada Maret 2019, ekspor kedelai AS ke China mencapai 1,37 juta ton, melonjak  31,73% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. 

 

Jika AS terus galak terhadap China, maka aksi balas dendam dari Negeri Tirai Bambu bukan tidak mungkin berupa pengurangan pembelian kedelai. Namun AS sudah siap dengan konsekuensi tersebut, meski harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.  


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Sentimen ketiga adalah drama dari Inggris. Perdana Menteri Theresa May dijadwalkan untuk membawa proposal Brexit jilid keempat ke parlemen pada pekan pertama Juni. Tiga proposal sebelumnya ditolak oleh parlemen melalui voting sehingga sangat mungkin dokumen keempat ini mengalami nasib yang sama. 

Reuters

Situasi menjadi kian pelik kala beredar kabar May ingin mundur dari posisinya dalam waktu dekat. Harian London Evening Standard melaporkan May akan lengser dengan sukarela pada 10 Juni. 


Calon favorit untuk menggantikan May adalah Boris Johnson, mantan menteri luar negeri. Sikap Johnson yang keras, tanpa ba-bi-bu, dan posisinya sebagai seorang euroskeptik bisa membawa Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan apa-apa alias No Deal Brexit. BNP Paribas memperkirakan peluang No Deal Brexit kini mencapai 40%. 

Perkembangan di Inggris tentu menyebabkan ketidakpastian di pasar. Ditambah dengan perang dagang AS-China yang memanas, investor bisa semakin bermain aman dan menghindari aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia. 

Sentimen keempat adalah harga minyak dunia. Pada pukul 04:08 WIB, harga minyak jenis brent anjlok 4,32% sementara light sweet amblas 5,28%. 

Penyebab koreksi harga si emas hitam adalah perang dagang AS-China. Kala dua raksasa ekonomi dunia saling hambat di bidang perdagangan, maka akan mempengaruhi rantai pasok global. Industri dan ekspor berbagai negara akan turun sehingga prospek pertumbuhan ekonomi dunia bakal suram. 

Apabila aktivitas ekonom lesu, maka permintaan energi tentu ikut turun. Persepsi berkurangnya permintaan membuat harga minyak turun tajam. 

Namun penurunan harga minyak dunia bisa berdampak positif bagi Indonesia, terutama nilai tukar rupiah. Sebab koreksi harga minyak akan membuat biaya impor komoditas ini menjadi murah. Menguntungkan buat negara net importir minyak seperti Indonesia. 

Saat biaya impor minyak berkurang, maka beban neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) akan terangkat. Rupiah bisa lebih stabil, karena membaiknya pasokan devisa dari sektor perdagangan. Semoga sentimen ini cukup kuat untuk membawa rupiah kembali menguat hari ini. 

Sentimen kelima, hari ini menjadi batas waktu terakhir penyampaian pengaduan hasil Pemilu ke Mahkamah Konsitusi (MK). Kubu Prabowo-Sandiaga menyatakan mereka akan menggugat hasil perhitungan suara KPU ke MK. 

Jadi, hari ini kubu 02 akan mendatangi MK untuk melapor. Batas waktunya adalah sampai pukul 24:00 WIB. 

Sebelum ada putusan MK dan presiden terpilih bisa dilantik, sepertinya pelaku pasar masih harus memantau dinamika politik nasional. Segala sesuatu masih bisa terjadi, dan investor perlu mempersiapkan diri. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 5)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data tingkat inflasi Jepang periode April (06:30 WIB).
  • Rilis data pemesanan barang tahan lama AS periode April (19:30 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q I-2019 YoY)5,17%
Inflasi (April 2019 YoY)2,83%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Mei 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (Q I-2019)-2,6% PDB
Neraca pembayaran (Q I-2019)US$ 2,42 miliar
Cadangan devisa (April 2019)US$ 124,29 miliar
  Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini. TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular