
Newsletter
Wall Street Ceria, Semoga IHSG Juga
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah & Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
02 April 2019 05:32

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah, tetapi nilai tukar rupiah dan harga obligasi pemerintah menguat.
Kemarin, IHSG ditutup melemah 0,25%. Faktor domestik sepertinya lebih mempengaruhi koreksi IHSG, sebab indeks saham Asia lainnya kompak menguat bahkan cukup signifikan seperti Nikkei 225 (1,43%), Hang Seng (1,76%), Shanghai Composite (2,58%), Kospi (1,29%), dan Straits Times (1,17%).
Sepertinya ambil untung (profit taking) masih menghinggapi IHSG. Sejumlah saham berkapitalisasi besar masih mencatatkan penguatan signifikan pekan lalu sehingga menggoda investor untuk mencairkan keuntungan.
Misalnya saham PT Bank Central Asia Tbk/BBCA dan PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk/TKLM yang sepanjang minggu kemarin melesat masing-masing 1,09% dan 3,4%. Kemarin, keduanya terkoreksi masing-masing 1,35% dan 0,51%.
Selain itu, valuasi IHSG memang masih relatif mahal dibandingkan indeks saham Asia lainnya. Saat ini Price to Earnings Ratio (P/E) IHSG ada di 16,54 kali. Bandingkan dengan Nikkei 255 yang sebesar 15,16 kali, Hang Seng 11,89 kali, Shanghai Composite 13,33 kali, Kospi 12,1 kali, atau Straits Times 12,41 kali.
Namun, nasib rupiah lebih beruntung ketimbang IHSG karena mampu mengakhiri perdagangan pasar spot dengan penguatan 0,11% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah berhasil menguat 2 hari beruntun setelah akhir pekan lalu terapresiasi tipis 0,01%.
Rupiah dan hampir seluruh mata uang utama Benua Kuning menguat di hadapan dolar AS yang sedang memasuki fase konsolidasi. Maklum, sepanjang pekan lalu mata uang Negeri Paman Sam sudah berlari kencang sehingga sekarang saatnya rehat sejenak.
Lagipula risk appetite investor sedang tinggi karena imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 3 bulan dan 10 tahun yang tidak lagi mengalami inversi. Sejak akhir pekan lalu, yield obligasi jangka pendek tidak lagi lebih tinggi ketimbang yang jangka panjang sehingga pelaku pasar bisa lepas sejenak dari isu ancaman resesi di AS.
Sedangkan yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 7,2 basis poin (bps). Penurunan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang naik karena tingginya minat investor.
Sepertinya rilis data inflasi berperan penting dalam mendongkrak harga obligasi. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi pada Maret 2019 sebesar 2,48% year-on-year (YoY). Ini merupakan lanju paling lambat sejak November 2009 alias nyaris 10 tahun.
Inflasi yang rendah berarti keuntungan riil yang didapat investor menjadi lebih baik. Saat ini yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun ada di 7,593% sehingga dengan inflasi 2,48% maka keuntungan riil yang diperoleh adalah 5,113%. Sangat menggiurkan, sehingga menggoda investor (terutama asing) untuk semakin ingin mengoleksi surat utang pemerintahan Presiden Joko Widodo/Jokowi.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Kemarin, IHSG ditutup melemah 0,25%. Faktor domestik sepertinya lebih mempengaruhi koreksi IHSG, sebab indeks saham Asia lainnya kompak menguat bahkan cukup signifikan seperti Nikkei 225 (1,43%), Hang Seng (1,76%), Shanghai Composite (2,58%), Kospi (1,29%), dan Straits Times (1,17%).
Sepertinya ambil untung (profit taking) masih menghinggapi IHSG. Sejumlah saham berkapitalisasi besar masih mencatatkan penguatan signifikan pekan lalu sehingga menggoda investor untuk mencairkan keuntungan.
Misalnya saham PT Bank Central Asia Tbk/BBCA dan PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk/TKLM yang sepanjang minggu kemarin melesat masing-masing 1,09% dan 3,4%. Kemarin, keduanya terkoreksi masing-masing 1,35% dan 0,51%.
Selain itu, valuasi IHSG memang masih relatif mahal dibandingkan indeks saham Asia lainnya. Saat ini Price to Earnings Ratio (P/E) IHSG ada di 16,54 kali. Bandingkan dengan Nikkei 255 yang sebesar 15,16 kali, Hang Seng 11,89 kali, Shanghai Composite 13,33 kali, Kospi 12,1 kali, atau Straits Times 12,41 kali.
Namun, nasib rupiah lebih beruntung ketimbang IHSG karena mampu mengakhiri perdagangan pasar spot dengan penguatan 0,11% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah berhasil menguat 2 hari beruntun setelah akhir pekan lalu terapresiasi tipis 0,01%.
Rupiah dan hampir seluruh mata uang utama Benua Kuning menguat di hadapan dolar AS yang sedang memasuki fase konsolidasi. Maklum, sepanjang pekan lalu mata uang Negeri Paman Sam sudah berlari kencang sehingga sekarang saatnya rehat sejenak.
Lagipula risk appetite investor sedang tinggi karena imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 3 bulan dan 10 tahun yang tidak lagi mengalami inversi. Sejak akhir pekan lalu, yield obligasi jangka pendek tidak lagi lebih tinggi ketimbang yang jangka panjang sehingga pelaku pasar bisa lepas sejenak dari isu ancaman resesi di AS.
Sedangkan yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 7,2 basis poin (bps). Penurunan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang naik karena tingginya minat investor.
Sepertinya rilis data inflasi berperan penting dalam mendongkrak harga obligasi. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi pada Maret 2019 sebesar 2,48% year-on-year (YoY). Ini merupakan lanju paling lambat sejak November 2009 alias nyaris 10 tahun.
Inflasi yang rendah berarti keuntungan riil yang didapat investor menjadi lebih baik. Saat ini yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun ada di 7,593% sehingga dengan inflasi 2,48% maka keuntungan riil yang diperoleh adalah 5,113%. Sangat menggiurkan, sehingga menggoda investor (terutama asing) untuk semakin ingin mengoleksi surat utang pemerintahan Presiden Joko Widodo/Jokowi.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
Wall Street Beri Kabar Gembira
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular