
Newsletter
Ada Damai Dagang dan The Fed Kalem, Masa Loyo Lagi?
Hidayat Setiaji & M Taufan Adharsyah & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
18 February 2019 05:55

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak ke selatan alias melemah pada perdagangan pekan lalu. Sentimen domestik sepertinya menjadi penyebab utama kejatuhan pasar keuangan Tanah Air.
Sepanjang pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 2,03% secara point-to-point. IHSG yang mengawali pekan di kisaran 6.500 harus puas terpangkas hingga ke level 6.300.
Sementara bursa saham utama Asia bergerak variatif cenderung menguat. Indeks Nikkei 225 melesat 1,84%, Hang Seng terkoreksi 0,16%, Shanghai Composite melompat 1,42%, Kospi naik 0,87%, dan Straits Times melonjak 1,18%.
Senasib dengan IHSG, rupiah pun melemah. Di hadapan dolar merika Serikat (AS), mata uang Tanah Air terdepresiasi 1,29%. Rupiah pun kembali menembus kisaran Rp 14.100, terlemah sejak 24 Januari.
Sedangkan mata uang utama Asia juga melemah di hadapan dolar AS, tetapi tidak sedalam rupiah. Yen Jepang melemah 0,69%, yuan China melemah 0,38%, won Korea Selatan melemah 0,17%, dolar Hong Kong melemah 0,01%, dan dolar Singapura melemah 0,01%.
Kemudian imbal hasil (yield) obligasi negara seri acuan tenor 10 tahun melonjak 16,1 basis poin (bps) dan kembali berada di level 8%. Kenaikan yield menandakan harga instrumen ini terkoreksi karena sepinya permintaan atau terjadi tekanan jual.
Beban utama bagi IHSG cs pada pekan lalu adalah rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Pada kuartal IV-2018 NPI tercatat surplus US$ 5,42 miliar, tetapi karena terus defisit pada 3 kuartal sebelumnya, NPI sepanjang 2018 tetap minus US$ 7,13 miliar. Defisit NPI pada 2018 menjadi yang terdalam sejak 2013.
Sementara defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) pada kuartal IV-2018 adalah 3,57% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini menjadi defisit terdalam sejak kuartal II-2014.
Sepanjang 2018, defisit transaksi berjalan masih di bawah 3% PDB tepatnya 2,98%. Namun ini juga menjadi catatan terburuk sejak 2014.
NPI menggambarkan keseimbangan eksternal Indonesia, seberapa banyak devisa yang masuk dan keluar. Jika defisit, maka lebih banyak devisa yang keluar ketimbang yang masuk. Artinya lebih banyak rupiah 'dibakar' untuk ditukarkan menjadi valas sehingga ketika NPI defisit menjadi wajar apabila rupiah melemah.
Apalagi transaksi berjalan terus mencatatkan defisit, bahkan semakin dalam. Transaksi berjalan menggambarkan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, devisa yang lebih bertahan lama.
Oleh karena itu, transaksi berjalan menjadi fondasi penting yang menyokong nilai tukar. Saat dia defisit, fondasi itu menjadi rapuh sehingga rupiah rentan terdepresiasi. Risiko depresiasi rupiah membuat aset-aset berbasis mata uang ini menjadi kurang seksi untuk dikoleksi.
Investor tentunya berpikir ulang untuk mengambil aset yang nilainya kemungkinan turun pada kemudian hari. Tidak heran pasar saham dan obligasi dibanjiri aksi jual.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Sepanjang pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 2,03% secara point-to-point. IHSG yang mengawali pekan di kisaran 6.500 harus puas terpangkas hingga ke level 6.300.
Sementara bursa saham utama Asia bergerak variatif cenderung menguat. Indeks Nikkei 225 melesat 1,84%, Hang Seng terkoreksi 0,16%, Shanghai Composite melompat 1,42%, Kospi naik 0,87%, dan Straits Times melonjak 1,18%.
Senasib dengan IHSG, rupiah pun melemah. Di hadapan dolar merika Serikat (AS), mata uang Tanah Air terdepresiasi 1,29%. Rupiah pun kembali menembus kisaran Rp 14.100, terlemah sejak 24 Januari.
Sedangkan mata uang utama Asia juga melemah di hadapan dolar AS, tetapi tidak sedalam rupiah. Yen Jepang melemah 0,69%, yuan China melemah 0,38%, won Korea Selatan melemah 0,17%, dolar Hong Kong melemah 0,01%, dan dolar Singapura melemah 0,01%.
Kemudian imbal hasil (yield) obligasi negara seri acuan tenor 10 tahun melonjak 16,1 basis poin (bps) dan kembali berada di level 8%. Kenaikan yield menandakan harga instrumen ini terkoreksi karena sepinya permintaan atau terjadi tekanan jual.
Beban utama bagi IHSG cs pada pekan lalu adalah rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Pada kuartal IV-2018 NPI tercatat surplus US$ 5,42 miliar, tetapi karena terus defisit pada 3 kuartal sebelumnya, NPI sepanjang 2018 tetap minus US$ 7,13 miliar. Defisit NPI pada 2018 menjadi yang terdalam sejak 2013.
Sementara defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) pada kuartal IV-2018 adalah 3,57% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini menjadi defisit terdalam sejak kuartal II-2014.
Sepanjang 2018, defisit transaksi berjalan masih di bawah 3% PDB tepatnya 2,98%. Namun ini juga menjadi catatan terburuk sejak 2014.
NPI menggambarkan keseimbangan eksternal Indonesia, seberapa banyak devisa yang masuk dan keluar. Jika defisit, maka lebih banyak devisa yang keluar ketimbang yang masuk. Artinya lebih banyak rupiah 'dibakar' untuk ditukarkan menjadi valas sehingga ketika NPI defisit menjadi wajar apabila rupiah melemah.
Apalagi transaksi berjalan terus mencatatkan defisit, bahkan semakin dalam. Transaksi berjalan menggambarkan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, devisa yang lebih bertahan lama.
Oleh karena itu, transaksi berjalan menjadi fondasi penting yang menyokong nilai tukar. Saat dia defisit, fondasi itu menjadi rapuh sehingga rupiah rentan terdepresiasi. Risiko depresiasi rupiah membuat aset-aset berbasis mata uang ini menjadi kurang seksi untuk dikoleksi.
Investor tentunya berpikir ulang untuk mengambil aset yang nilainya kemungkinan turun pada kemudian hari. Tidak heran pasar saham dan obligasi dibanjiri aksi jual.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular