
Neraca Dagang Tekor, Rupiah 'Betah' Melemah
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 February 2019 12:45

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih saja melemah. Dolar AS kini nyaman di kisaran Rp 14.100.
Pada Jumat (15/2/2018) pukul 12:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.120. Rupiah melemah 0,25% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Seiring perjalanan pasar, rupiah semakin lesu. Pada pukul 12:04 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.125 di mana rupiah melemah 0,28% dan menyentuh titik terlemah sejak 24 Januari.
Memulai hari, rupiah memang sudah melemah tetapi tipis saja di 0,04%. Seiring perjalanan pasar, depresiasi rupiah semakin dalam khususnya setelah rilis data perdagangan internasional.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor pada Januari 2019 sebesar US$ 13,87 miliar atau turun 4,7% year-on-year (YoY). Sementara impor tercatat US$ 15,03 miliar atau turun 1,83% YoY. Dengan begitu neraca perdagangan defisit US$ 1,16 miliar.
Realisasi ini lebih dalam dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan ekspor turun atau terkontraksi 0,61% sementara impor juga minus 0,785%. Hasilnya, neraca perdagangan diperkirakan defisit US$ 925,5 juta.
Defisit neraca perdagangan, apalagi sampai di atas US$ 1 miliar, adalah fenomena yang agak langka pada Januari. Biasanya neraca perdagangan malah mencetak surplus pada awal tahun. Sejak 2008, defisit perdagangan Januari hanya terjadi pada 2013, 2014, 2018, dan 2019.
Neraca perdagangan yang defisit membuat prospek transaksi berjalan pada kuartal I-2019 menjadi penuh tanda tanya. Ada kemungkinan defisit transaksi berjalan tetap dalam karena seretnya pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, sehingga rupiah terus dihantui risiko pelemahan.
Kekhawatiran ini semakin menjadi kala melihat harga minyak yang masih ogah turun. Pada pukul 12:11 WIB, harga minyak jenis brent naik 0,56% dan light sweet bertambah 0,44%. Dalam sebulan terakhir, harga brent dan light sweet melonjak masing-masing 5,75% dan 4,29%.
Kala harga minyak naik, maka impor biaya komoditas ini berpotensi semakin membengkak. Beban neraca perdagangan dan transaksi berjalan akan semakin berat, dan risiko depresiasi rumah semakin tinggi.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pada Jumat (15/2/2018) pukul 12:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.120. Rupiah melemah 0,25% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Seiring perjalanan pasar, rupiah semakin lesu. Pada pukul 12:04 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.125 di mana rupiah melemah 0,28% dan menyentuh titik terlemah sejak 24 Januari.
Memulai hari, rupiah memang sudah melemah tetapi tipis saja di 0,04%. Seiring perjalanan pasar, depresiasi rupiah semakin dalam khususnya setelah rilis data perdagangan internasional.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor pada Januari 2019 sebesar US$ 13,87 miliar atau turun 4,7% year-on-year (YoY). Sementara impor tercatat US$ 15,03 miliar atau turun 1,83% YoY. Dengan begitu neraca perdagangan defisit US$ 1,16 miliar.
Realisasi ini lebih dalam dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan ekspor turun atau terkontraksi 0,61% sementara impor juga minus 0,785%. Hasilnya, neraca perdagangan diperkirakan defisit US$ 925,5 juta.
Defisit neraca perdagangan, apalagi sampai di atas US$ 1 miliar, adalah fenomena yang agak langka pada Januari. Biasanya neraca perdagangan malah mencetak surplus pada awal tahun. Sejak 2008, defisit perdagangan Januari hanya terjadi pada 2013, 2014, 2018, dan 2019.
Neraca perdagangan yang defisit membuat prospek transaksi berjalan pada kuartal I-2019 menjadi penuh tanda tanya. Ada kemungkinan defisit transaksi berjalan tetap dalam karena seretnya pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, sehingga rupiah terus dihantui risiko pelemahan.
Kekhawatiran ini semakin menjadi kala melihat harga minyak yang masih ogah turun. Pada pukul 12:11 WIB, harga minyak jenis brent naik 0,56% dan light sweet bertambah 0,44%. Dalam sebulan terakhir, harga brent dan light sweet melonjak masing-masing 5,75% dan 4,29%.
Kala harga minyak naik, maka impor biaya komoditas ini berpotensi semakin membengkak. Beban neraca perdagangan dan transaksi berjalan akan semakin berat, dan risiko depresiasi rumah semakin tinggi.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
Mata Uang Asia Juga Terluka
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular