
Newsletter
Ada Damai Dagang dan The Fed Kalem, Masa Loyo Lagi?
Hidayat Setiaji & M Taufan Adharsyah & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
18 February 2019 05:55

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya aura positif dari hubungan AS-China.
Sebuah kemajuan besar tampak dari pernyataan Trump. Laki-laki yang pernah nongol sebagai cameo dalam film Home Alone 2: Lost in New York itu sudah berani sesumbar bahwa AS dan China bisa mencapai kesepakatan dagang dalam waktu dekat. Bahkan Trump juga bicara mengenai potensi pencabutan bea masuk bagi impor produk-produk China.
"Kita sudah lebih dekat untuk menuju kesepakatan dagang. Saya akan merasa terhormat untuk menghapus berbagai bea masuk jika kesepakatan sudah tercapai," tegas Trump, mengutip Reuters.
Menghapus bea masuk adalah inti dari damai dagang. Ketika itu terjadi, dan kini kemungkinannya semakin besar, maka perang dagang resmi berakhir dan damai dagang pun terwujud.
Perekonomian dunia akan kembali bersemi kala AS-China sudah berdamai, tidak lagi saling hambat di bidang perdagangan. Rantai pasok global kembali lancar sehingga pertumbuhan ekonomi dunia bisa lebih baik. Ini tentu akan menjadi sebuah sentimen positif yang luar biasa.
Sembari menunggu dimulainya dialog lanjutan di Washington, investor boleh berharap dinamika yang terjadi sampai saat ini bisa membawa sentimen positif. Damai dagang AS-China yang tampaknya semakin dekat diharapkan menjadi pendorong penguatan pasar keuangan Asia hari ini. Semoga IHSG, rupiah, dan pasar obligasi pemerintah bisa ikut merasakan euforia ini.
Sentimen kedua adalah nilai tukar dolar AS yang kemungkinan melemah hari ini. Selain akibat euforia pasar karena prospek damai dagang AS-China yang mendorong minat ke aset-aset yang lebih berisiko, tekanan yang dialami greenback datang dari pernyataan pejabat The Federal Reserves/The Fed.
Akhir pekan lalu, Presiden The Fed San Francisco Mary Daly menyiratkan bahwa bank sentral bisa saja tidak menaikkan suku bunga acuan pada tahun ini. Syaratnya adalah jika ekonomi AS melambat sehingga tekanan inflasi menjadi minimal.
"Jika ekonomi tumbuh, misalnya, 2% dan laju inflasi 1,9% dan tidak ada sinyal (tekanan harga) semakin besar, maka saya rasa belum saatnya menaikkan suku bunga (tahun ini)," kata Daly dalam wawancara dengan Wall Street Journal.
Nada The Fed yang semakin kalem alias dovish tentu tidak menguntungkan bagi dolar AS. Tanpa pemanis dari kenaikan suku bunga acuan, berinvestasi di mata uang Negeri Adidaya menjadi kurang menarik.
Apabila tekanan yang dialami dolar AS terus berlanjut, maka rupiah punya peluang untuk membalas dendam. Apalagi rupiah sudah melemah cukup dalam pekan lalu, sehingga ruang untuk technical rebound menjadi terbuka.
Rupiah yang sudah 'murah' bisa menggoda investor untuk kembali melirik mata uang ini. Jika permintaan terhadap rupiah naik, maka nilainya tentu akan menguat.
Damai dagang dan dolar AS yang tertekan sepertinya bisa dijadikan momentum kebangkitan pasar keuangan Indonesia. Bila dua sentimen ini cukup kuat mendorong risk appetite pasar, maka sepertinya IHSG dkk tidak punya pilihan selain menguat.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(aji/aji)
Sebuah kemajuan besar tampak dari pernyataan Trump. Laki-laki yang pernah nongol sebagai cameo dalam film Home Alone 2: Lost in New York itu sudah berani sesumbar bahwa AS dan China bisa mencapai kesepakatan dagang dalam waktu dekat. Bahkan Trump juga bicara mengenai potensi pencabutan bea masuk bagi impor produk-produk China.
"Kita sudah lebih dekat untuk menuju kesepakatan dagang. Saya akan merasa terhormat untuk menghapus berbagai bea masuk jika kesepakatan sudah tercapai," tegas Trump, mengutip Reuters.
Menghapus bea masuk adalah inti dari damai dagang. Ketika itu terjadi, dan kini kemungkinannya semakin besar, maka perang dagang resmi berakhir dan damai dagang pun terwujud.
Perekonomian dunia akan kembali bersemi kala AS-China sudah berdamai, tidak lagi saling hambat di bidang perdagangan. Rantai pasok global kembali lancar sehingga pertumbuhan ekonomi dunia bisa lebih baik. Ini tentu akan menjadi sebuah sentimen positif yang luar biasa.
Sembari menunggu dimulainya dialog lanjutan di Washington, investor boleh berharap dinamika yang terjadi sampai saat ini bisa membawa sentimen positif. Damai dagang AS-China yang tampaknya semakin dekat diharapkan menjadi pendorong penguatan pasar keuangan Asia hari ini. Semoga IHSG, rupiah, dan pasar obligasi pemerintah bisa ikut merasakan euforia ini.
Sentimen kedua adalah nilai tukar dolar AS yang kemungkinan melemah hari ini. Selain akibat euforia pasar karena prospek damai dagang AS-China yang mendorong minat ke aset-aset yang lebih berisiko, tekanan yang dialami greenback datang dari pernyataan pejabat The Federal Reserves/The Fed.
Akhir pekan lalu, Presiden The Fed San Francisco Mary Daly menyiratkan bahwa bank sentral bisa saja tidak menaikkan suku bunga acuan pada tahun ini. Syaratnya adalah jika ekonomi AS melambat sehingga tekanan inflasi menjadi minimal.
"Jika ekonomi tumbuh, misalnya, 2% dan laju inflasi 1,9% dan tidak ada sinyal (tekanan harga) semakin besar, maka saya rasa belum saatnya menaikkan suku bunga (tahun ini)," kata Daly dalam wawancara dengan Wall Street Journal.
Nada The Fed yang semakin kalem alias dovish tentu tidak menguntungkan bagi dolar AS. Tanpa pemanis dari kenaikan suku bunga acuan, berinvestasi di mata uang Negeri Adidaya menjadi kurang menarik.
Apabila tekanan yang dialami dolar AS terus berlanjut, maka rupiah punya peluang untuk membalas dendam. Apalagi rupiah sudah melemah cukup dalam pekan lalu, sehingga ruang untuk technical rebound menjadi terbuka.
Rupiah yang sudah 'murah' bisa menggoda investor untuk kembali melirik mata uang ini. Jika permintaan terhadap rupiah naik, maka nilainya tentu akan menguat.
Damai dagang dan dolar AS yang tertekan sepertinya bisa dijadikan momentum kebangkitan pasar keuangan Indonesia. Bila dua sentimen ini cukup kuat mendorong risk appetite pasar, maka sepertinya IHSG dkk tidak punya pilihan selain menguat.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular