
Newsletter
Ada Damai Dagang dan The Fed Kalem, Masa Loyo Lagi?
Hidayat Setiaji & M Taufan Adharsyah & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
18 February 2019 05:55

Akan tetapi, investor tetap perlu mencermati risiko dari sentimen ketiga yaitu perkembangan Brexit yang masih runyam. Perdana Menteri Inggris Theresa May berencana untuk kembali bertemu dengan pemimpin negara-negara Uni Eropa dan Komisi Uni Eropa untuk menegosiasikan proposal perceraian London dari Brussel.
May akan berupaya untuk menegosiasikan poin mengenai backstop di Irlandia. Isu backstop memang menjadi hambatan utama dalam negosiasi Brexit.
Uni Eropa ingin agar Kepulauan Irlandia tetap menjadi wilayah pabean mereka, karena memang Republik Irlandia dan Irlandia Utara tidak ikut serta dalam jajak pendapat Brexit pada 2016 silam. Namun Inggris tidak ingin ada pemeriksaan pabean karena dapat mengganggu arus barang dan jasa.
Uni Eropa bersikukuh tidak ada renegosiasi, termasuk soal backstop. Bahkan Brussel beberapa kali mengungkapkan kekesalannya, karena terlihat Inggris sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan.
"Soal kesepakatan Brexit, apalagi backstop, tidak ada ruang renegosiasi. Tolong, tolong, tolong, katakan kepada kami apa yang sebenarnya Anda inginkan?" tegas Manfred Weber, Pimpinan Parlemen Uni Eropa, mengutip Reuters.
Tidak heran jika Brussel murka. Sebab proposal Brexit yang sudah disusun PM May bersama Uni Eropa ditolak dalam voting di parlemen. Kini nasib Brexit terkatung-katung, tidak jelas ke mana arahnya.
Suara di Gedung Parlemen Inggris juga belum bersatu, semua sibuk mengedepankan opsi masing-masing. Jadi wajar kalau Uni Eropa menilai Inggris masih belum tahu pasti apa yang mereka tuju karena memang belum satu suara.
Oleh karena itu, risiko terjadinya No Deal Brexit (Inggris tidak mendapat kesepakatan apa-apa dari perpisahan dengan Uni Eropa) semakin besar. Artinya, proses ekspor-impor dan investasi tidak akan selancar sekarang karena nantinya Inggris dan Eropa Daratan adalah dua wilayah pabean yang berbeda. Pertumbuhan ekonomi Inggris menjadi taruhannya.
"No Deal Brexit adalah sebuah bencana. Tidak ada namanya No Deal Brexit yang terkendali, ini akan menjadi bencana bagi kami," tegas Katherine Bennett, Senior Vice President Airbus, mengutip BBC.
"Dunia usaha kini sedang mengkaji dampak dari No Deal Brexit. Sudah tidak ada waktu, semua sedang mempersiapkan diri," kata James Stewart, Kepala Kajian Brexit di lembaga konsultan bisnis internasional KPMG, mengutip Reuters.
Kemudian ada sentimen keempat yaitu bisa saja rilis data perdagangan internasional Indonesia akhir pekan lalu masih terasa dampaknya di perdagangan hari ini. Akhir pekan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekspor pada Januari 2019 sebesar US$ 13,87 miliar atau turun 4,7% year-on-year (YoY). Sementara impor tercatat US$ 15,03 miliar atau turun 1,83% YoY. Dengan begitu neraca perdagangan defisit US$ 1,16 miliar.
Defisit neraca perdagangan, apalagi sampai di atas US$ 1 miliar, adalah fenomena yang agak langka pada Januari. Biasanya neraca perdagangan malah mencetak surplus pada awal tahun.
Neraca perdagangan yang defisit membuat prospek transaksi berjalan pada kuartal I-2019 menjadi penuh tanda tanya. Ada kemungkinan defisit transaksi berjalan tetap dalam, sehingga rupiah terus dihantui risiko pelemahan.
Padahal biasanya transaksi berjalan berada di posisi terbaiknya pada kuartal I. Namun dengan start yang kurang bagus di neraca perdagangan, ada risiko transaksi berjalan pada kuartal I-2019 kembali tertekan. Bukan sebuah kabar baik buat rupiah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
(aji/aji)
May akan berupaya untuk menegosiasikan poin mengenai backstop di Irlandia. Isu backstop memang menjadi hambatan utama dalam negosiasi Brexit.
Uni Eropa ingin agar Kepulauan Irlandia tetap menjadi wilayah pabean mereka, karena memang Republik Irlandia dan Irlandia Utara tidak ikut serta dalam jajak pendapat Brexit pada 2016 silam. Namun Inggris tidak ingin ada pemeriksaan pabean karena dapat mengganggu arus barang dan jasa.
Uni Eropa bersikukuh tidak ada renegosiasi, termasuk soal backstop. Bahkan Brussel beberapa kali mengungkapkan kekesalannya, karena terlihat Inggris sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan.
"Soal kesepakatan Brexit, apalagi backstop, tidak ada ruang renegosiasi. Tolong, tolong, tolong, katakan kepada kami apa yang sebenarnya Anda inginkan?" tegas Manfred Weber, Pimpinan Parlemen Uni Eropa, mengutip Reuters.
Tidak heran jika Brussel murka. Sebab proposal Brexit yang sudah disusun PM May bersama Uni Eropa ditolak dalam voting di parlemen. Kini nasib Brexit terkatung-katung, tidak jelas ke mana arahnya.
Suara di Gedung Parlemen Inggris juga belum bersatu, semua sibuk mengedepankan opsi masing-masing. Jadi wajar kalau Uni Eropa menilai Inggris masih belum tahu pasti apa yang mereka tuju karena memang belum satu suara.
Oleh karena itu, risiko terjadinya No Deal Brexit (Inggris tidak mendapat kesepakatan apa-apa dari perpisahan dengan Uni Eropa) semakin besar. Artinya, proses ekspor-impor dan investasi tidak akan selancar sekarang karena nantinya Inggris dan Eropa Daratan adalah dua wilayah pabean yang berbeda. Pertumbuhan ekonomi Inggris menjadi taruhannya.
"No Deal Brexit adalah sebuah bencana. Tidak ada namanya No Deal Brexit yang terkendali, ini akan menjadi bencana bagi kami," tegas Katherine Bennett, Senior Vice President Airbus, mengutip BBC.
"Dunia usaha kini sedang mengkaji dampak dari No Deal Brexit. Sudah tidak ada waktu, semua sedang mempersiapkan diri," kata James Stewart, Kepala Kajian Brexit di lembaga konsultan bisnis internasional KPMG, mengutip Reuters.
Kemudian ada sentimen keempat yaitu bisa saja rilis data perdagangan internasional Indonesia akhir pekan lalu masih terasa dampaknya di perdagangan hari ini. Akhir pekan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekspor pada Januari 2019 sebesar US$ 13,87 miliar atau turun 4,7% year-on-year (YoY). Sementara impor tercatat US$ 15,03 miliar atau turun 1,83% YoY. Dengan begitu neraca perdagangan defisit US$ 1,16 miliar.
Defisit neraca perdagangan, apalagi sampai di atas US$ 1 miliar, adalah fenomena yang agak langka pada Januari. Biasanya neraca perdagangan malah mencetak surplus pada awal tahun.
Neraca perdagangan yang defisit membuat prospek transaksi berjalan pada kuartal I-2019 menjadi penuh tanda tanya. Ada kemungkinan defisit transaksi berjalan tetap dalam, sehingga rupiah terus dihantui risiko pelemahan.
Padahal biasanya transaksi berjalan berada di posisi terbaiknya pada kuartal I. Namun dengan start yang kurang bagus di neraca perdagangan, ada risiko transaksi berjalan pada kuartal I-2019 kembali tertekan. Bukan sebuah kabar baik buat rupiah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
(aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular