
Newsletter
Damai Dagang AS-China Gagal Masuk Jalur Cepat
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
08 February 2019 05:49

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak melemah pada perdagangan kemarin. Minimnya sentimen positif, terutama dari dalam negeri, menyebabkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terkoreksi.
Kemarin, IHSG ditutup melemah 0,17%. Sebenarnya lumayan bagus karena koreksi IHSG berhasil ditipiskan setelah sempat mencapai kisaran 0,9%.
Sementara rupiah melemah 0,38% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di perdagangan pasar spot. Padahal kala pembukaan pasar, depresiasi rupiah hanya 0,06%.
Sentimen negatif dari dalam negeri menjadi beban bagi langkah IHSG dan rupiah. Bank Indonesia (BI) mencatat Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Januari 2019 sebesar 123,5. Konsumen masih optimistis karena nilainya di atas 100, tetapi optimismenya berkurang karena IKK pada bulan sebelumnya lebih tinggi yaitu 127.
Memang ada unsur musiman yang menyebabkan penurunan IKK. Selepas Hari Natal, Tahun Baru, dan musim liburan pada Desember, konsumen kembali ke 'dunia nyata' pada Januari. Konsumsi yang turun setelah periode puncak adalah hal yang wajar.
Namun bisa saja data ini menjadi sentimen negatif di pasar keuangan Indonesia, karena akan muncul persepsi bahwa konsumsi rumah tangga melambat. Sementara konsumsi rumah tangga adalah komponen utama pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB) dengan kontribusi lebih dari 50%.
Kala konsumsi rumah tangga melambat, maka pertumbuhan ekonomi juga tentu bakal tertatih-tatih. Persepsi perlambatan ekonomi bisa membuat investor kurang nyaman dan memilih pergi untuk sementara waktu.
Selain itu, investor juga cemas menantikan rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang akan dirilis hari ini. BI memperkirakan NPI kuartal IV-2018 bisa surplus, tetapi defisit transaksi berjalan (current account deficit) masih cukup lebar di kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Artinya, pasokan devisa yang berjangka panjang dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa masih seret. Padahal ini adalah fundamental penting yang menyokong rupiah, dibandingkan arus modal portofolio alias hot money yang bisa datang dan pergi sesuka hati.
Dengan kondisi fundamental yang agak rentan, rupiah pun ikut rawan terdepresiasi. Investor tentu menjadi berpikir ulang untuk mengoleksi aset-aset berbasis rupiah, karena nilainya berisiko turun pada kemudian hari.
Kemarin, IHSG ditutup melemah 0,17%. Sebenarnya lumayan bagus karena koreksi IHSG berhasil ditipiskan setelah sempat mencapai kisaran 0,9%.
Sementara rupiah melemah 0,38% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di perdagangan pasar spot. Padahal kala pembukaan pasar, depresiasi rupiah hanya 0,06%.
Sentimen negatif dari dalam negeri menjadi beban bagi langkah IHSG dan rupiah. Bank Indonesia (BI) mencatat Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Januari 2019 sebesar 123,5. Konsumen masih optimistis karena nilainya di atas 100, tetapi optimismenya berkurang karena IKK pada bulan sebelumnya lebih tinggi yaitu 127.
Memang ada unsur musiman yang menyebabkan penurunan IKK. Selepas Hari Natal, Tahun Baru, dan musim liburan pada Desember, konsumen kembali ke 'dunia nyata' pada Januari. Konsumsi yang turun setelah periode puncak adalah hal yang wajar.
Namun bisa saja data ini menjadi sentimen negatif di pasar keuangan Indonesia, karena akan muncul persepsi bahwa konsumsi rumah tangga melambat. Sementara konsumsi rumah tangga adalah komponen utama pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB) dengan kontribusi lebih dari 50%.
Kala konsumsi rumah tangga melambat, maka pertumbuhan ekonomi juga tentu bakal tertatih-tatih. Persepsi perlambatan ekonomi bisa membuat investor kurang nyaman dan memilih pergi untuk sementara waktu.
Selain itu, investor juga cemas menantikan rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang akan dirilis hari ini. BI memperkirakan NPI kuartal IV-2018 bisa surplus, tetapi defisit transaksi berjalan (current account deficit) masih cukup lebar di kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Artinya, pasokan devisa yang berjangka panjang dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa masih seret. Padahal ini adalah fundamental penting yang menyokong rupiah, dibandingkan arus modal portofolio alias hot money yang bisa datang dan pergi sesuka hati.
Dengan kondisi fundamental yang agak rentan, rupiah pun ikut rawan terdepresiasi. Investor tentu menjadi berpikir ulang untuk mengoleksi aset-aset berbasis rupiah, karena nilainya berisiko turun pada kemudian hari.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular