Mau CAD Turun? Ada Cara Susah, Tapi Ada yang Gampang Kok

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
29 January 2019 15:00
Mau CAD Turun? Ada Cara Susah, Tapi Ada yang Gampang Kok
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia belum selesai berperang dengan 'musuh' yang sama sejak 2011. Dia terlalu tangguh dan belum bisa dikalahkan hingga sekarang. 

'Musuh' itu bernama defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Gara-gara dia, Indonesia beberapa kali dibuat kerepotan karena dipaksa membuat pilihan berat.



Defisit transaksi berjalan, apabila tidak diimbangi dengan pasokan devisa dari portofolio keuangan alias hot money, akan membuat Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) tekor.

Ketika NPI tekor, artinya keseimbangan eksternal jomplang. Lebih banyak devisa yang keluar dibandingkan yang masuk, sehingga rupiah tidak punya modal untuk menguat.
 

Akibatnya, rupiah selalu dihantui risiko depresiasi. Inilah yang terjadi pada 2013, 2015, dan 2018 saat ketidakpastian ekonomi global memuncak yang membuat hot money seret dan NPI defisit. 

 

Saat rupiah melemah karena defisit di transaksi berjalan, pemerintah dan BI dihadapkan kepada pilihan sulit. Membiarkan impor terus masuk untuk mendukung pertumbuhan ekonomi tetapi defisit transaksi berjalan semakin parah, atau mengerem impor dan mengorbankan laju pertumbuhan ekonomi untuk menyelamatkan rupiah.  

Pada 2015 dan 2018, yang diambil adalah pilihan kedua. Akibatnya, laju pertumbuhan ekonomi belum kunjung sesuai dengan potensinya karena harus mengalah. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Bank Indonesia (BI) sejak tahun lalu mengarahkan tujuan kebijakan moneter untuk menurunkan defisit transaksi berjalan. Caranya adalah dengan menaikkan suku bunga acuan sampai enam kali yang bertujuan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi sehingga impor bisa ditekan. 

"Kalau suku bunga meningkat pasti akan mempengaruhi investasi dan impor. Defisit trade balance akan berkurang seiring investasi yang berkurang. Current account masih perlu dibantu, BI masuk dengan kebijakan suku bunga untuk meredam domestic demand. Kita cegah defisit transaksi berjalan terus melebar dan berdampak ke nilai tukar," ungkap Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur BI, beberapa waktu lalu. 

"Suku bunga kita itu memang diarahkan agar sebagai bagian bagaimana kita menurunkan defisit transaksi berjalan dan memastikan bahwa aset keuangan kita menarik secara global," ujar Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam jumpa pers usai rapat Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, hari ini. 

Apa yang dilakukan bank sentral melalui kebijakan suku bunga mungkin adalah obat antiseptik untuk menyembuhkan luka di permukaan. Sebab defisit transaksi berjalan adalah masalah struktural dan harus disembuhkan dengan kebijakan yang lebih struktural juga.



Caranya adalah industrialisasi. Di tengah gelombang ekonomi digital, industrialisasi terasa kuno dan usang. Namun Indonesia belum tuntas dalam industrialisasi, sehingga harus kembali menggalakkannya. 

Jika industrialisasi berjalan sukses, maka hasilnya akan luar biasa. Indonesia tidak perlu banyak melakukan impor ketika ekonomi tumbuh, karena kebutuhan bahan baku, barang modal, sampai barang konsumsi bisa disediakan oleh dunia usaha dalam negeri. 

Tidak hanya itu, ekspor Indonesia pun lebih berkualitas. Industri dalam negeri yang mumpuni akan menghasilkan barang jadi atau setengah jadi yang bernilai tambah. Ekspor semacam ini tentu menghasilkan duit yang lebih besar ketimbang menjual komoditas, yang pendapatannya tidak pasti tergantung harga komoditas global. 

Hasil dari impor yang berkurang dan ekspor yang bertambah tentu neraca perdagangan yang sangat sehat. Dalam neraca perdagangan sehat terdapat transaksi berjalan yang kuat. Rupiah pun bisa lebih stabil, bahkan perkasa. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Akan tetapi, semua itu butuh waktu, tenaga, upaya, dan tentu dana. Tidak akan mudah, butuh kerja keras dan kuncinya adalah konsistensi. Rencana yang sudah dibuat untuk industrialisasi harus dijalankan secara konsisten, jangan sampai berganti pemimpin lalu semua kebijakan berubah. 

Namun untuk jangka pendek, sebenarnya ada obat yang bisa menolong transaksi berjalan. Namanya adalah harga minyak. 

Ketika harga minyak turun, maka neraca perdagangan dan transaksi berjalan akan tertolong. Sebab, impor migas adalah penyebab utama defisit di dua pos itu. 

Sepanjang 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan defisit US$8,57 miliar. Neraca non-migas sebenarnya surplus US$3,84 miliar, tetapi tidak bisa menutup lubang menganga yang ditimbulkan neraca migas yang tekor US$12,4 miliar. 


Jadi kalau harga minyak turun, biaya impor migas akan ikut turun sehingga meringankan beban neraca pembayaran. Ingat, dalam neraca perdagangan sehat terdapat transaksi berjalan yang kuat. 

Oleh karena itu, terlihat jelas bahwa gerak rupiah dan harga minyak sangat seirama. Ketika harga minyak turun, rupiah akan menguat dan begitu sebaliknya. 

Mau CAD Turun? Ada Cara Susah, Tapi Ada yang Gampang KokPergerakan harga minyak dan nilai tukar rupiah (Reuters)

Jadi kalau industrialisasi yang maha berat itu sulit terlaksana, Indonesia bisa menempuh cara mudah untuk menurunkan defisit transaksi berjalan: Berdoa saja agar harga minyak tidak naik. Memang hanya doa yang bisa kita lakukan, karena pergerakan harga minyak di luar kuasa BI maupun pemerintah.

Namun, apakah kita mau berdoa saja tanpa berusaha?


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/prm) Next Article Ramalan BI: CAD 2020 Rendah, di Bawah 2% PDB

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular