Turki Temukan Ladang Gas Raksasa, Bisa Usir "Hantu" CAD?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
23 August 2020 13:30
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan (Presidential Press Service via AP, Pool)
Foto: Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan (Presidential Press Service via AP, Pool)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintahan Turki berhasil menemukan sumber daya gas di wilayah Laut Hitam. Penemuan ladang gas sebesar 320 miliar meter kubik pada Jumat (21/8/2020) tersebut dapat membantu Turki mengurangi ketergantungan impor energi pada Rusia, Iran, dan Azerbaijan jika gas tersebut dapat diekstraksi secara komersial. Presiden Turki, Tayyip Erdogan, mengatakan negaranya bertekad untuk menjadi eksportir energi netto.

"Turki telah menyadari penemuan gas alam terbesar dalam sejarahnya di Laut Hitam," katanya dalam pidato yang disiarkan televisi secara luas dari istana Ottoman di Istanbul, yang dihubungkan dengan video ke kapal pengeboran di Laut Hitam barat, dikutip dari Reuters.

"Cadangan ini sebenarnya adalah bagian dari sumber yang jauh lebih besar. Insya Allah akan lebih banyak lagi yang datang," kata Erdogan. "Tidak akan ada henti sampai kita menjadi eksportir bersih energi."

Penemuan tersebut juga akan mengurangi biaya impor energi Turki, yang mencapai US$ 41 miliar tahun lalu, akan meningkatkan keuangan pemerintah dan membantu meringankan defisit neraca berjalan (current account deficit/CAD). CAD merupakan "hantu" bagi perekonomian yang membuat kurs lira ke rekor terendah terhadap dolar.

Transaksi berjalan menggambarkan arus masuk-keluar devisa yang datang dari ekspor-impor barang dan jasa, pendapatan primer, serta serta pendapatan sekunder.

Transaksi berjalan merupakan satu dari dua komponen Neraca Pembayaran atau Balance of Payment, dan menjadi faktor yang begitu krusial ketimbang komponen satunya (transaksi finansial), lantaran arus devisa yang mengalir dari transaksi berjalan cenderung lebih stabil.

"Kami akan menghapus defisit transaksi berjalan dari agenda negara kami," kata Menteri Keuangan Turki Berat Albayrak.

Berdasarkan data dari bank sentral Turki (TCMB) transaksi berjalan sepanjang tahun 2019 lalu sebenarnya mengalami surplus US$ 8,895 miliar atau 1,2% dari produk domestik bruto (PDB). Surplus tahunan tersebut merupakan yang pertama sejak tahun 2001.

Turki melaporkan data transaksi berjalan setiap bulan, data menunjukkan sepanjang tahun 2019 tersebut, transaksi berjalan mengalami 6 kali defisit dan 6 kali surplus. Defisit terakhir tercatat pada bulan Desember 2019. Sayangnya, itu menjadi "rally" defisit Turki, dimana sepanjang tahun ini hingga bulan Juni lalu, transaksi berjalan terus tekor.

Pada bulan Juni lalu, defisit transaksi berjalan tercatat sebesar US$ 2,934 miliar, membengkak signifikan dibandingkan Juni 2019 yang defisit US$ 95 juta. 

TCMB melaporkan defisit transaksi berjalan di bulan Juni lalu terjadi akibat defisit yang terjadi di neraca jasa sebesar US$ 294 juta, berbanding terbalik dengan Juni 2019 yang surplus US$ 3,413 miliar. Defisit juga terjadi di sektor pendapatan sekunder sebesar US$ 23 juta, dibandingkan Juni 2019 yang surplus US$ 50 juta. Sementara pendapat primer juga mengalami defisit US$ 522 juta, merosot US$ 555 juta.

Meski kinerja neraca jasa, pendapatan primer hingga sekunder menjadi penyebab defisit transaksi berjalan, tetapi biang keladi sebesarnya adalah impor energi (minyak dan gas) yang terus membukukan defisit jumbo.

Berdasarkan rilis TCMB, sejak Januari 2013 tidak sekalipun sektor energi mencatat surplus, di bulan Juni 2020 defisit tercatat sebesar US$ 1,297 miliar, yang berkontibusi sekitar 44% dari total CAD. Ekspor energi hanya tercatat sebesar US$ 276 juta, sementara impor sebesar US$ 1,573 miliar.

Defisit energi tersebut sebenarnya jauh menurun ketimbang Juni tahun lalu sebesar US$ 2,294 miliar. Tetapi penyebabnya bukan karena ketergantungan Turki terhadap impor energi menurun, tetapi karena aktivitas perekonomian menurun drastis akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19).

Selain defisit energi, transaksi emas non-moneter juga mencatat defisit di bulan Juni lalu sebesar US$ 1,818 miliar. Sehingga transaksi berjalan tanpa memasukkan defisit energi dan emas non-moneter sebenarnya mengalami surplus US$ 181 juta di bulan Juni.

Tetapi perdagangan emas non-moneter Turki mengalami volatilitas yang cukup tinggi, meski mayoritas memang mengalami defisit. Pada bulan Juni 2019 lalu, defisit perdagangan emas non-moneter hanya sebesar US$ 448 juta. Pada periode 2015-2016, perdagangan emas non-moneter bahkan sering mencatat surplus. Sehingga bisa dikatakan defisit di sektor energi yang tidak pernah surplus sejak 2013 menjadi biang keladi defisit transaksi berjalan Turki.

Maka wajar jika penemuan ladang gas raksasa memberikan harapan "hantu" CAD bisa diusir, apalagi jika Turki sampai menjadi net eksportir energi, tentunya transaksi berjalan berpotensi mencetak surplus, dan akan memberikan stabilitas ke nilai tukar lira.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular