
Sanksi Venezuela Bawa Berkah ke Harga Minyak
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
29 January 2019 12:15

Jakarta, CNBC Indonesia - Hari ini (29/1/2019) harga minyak kembali bertengger di zona hijau.
Hingga pukul 12:00 WIB, harga minyak jenis Brent kontrak Maret terekspansi sebesar 0,13% ke posisi US$ 60,01/barel, setelah sebelumnya amblas 2,77% kemarin (28/1/2019).
Sedangkan harga minyak jenis lightsweet (WTI) kontrak Maret menguat 0,25% ke level US$ 52,12/barel, setelah ditutup minus 3,17% pada perdagangan kemarin.
Secara mingguan, harga minyak tercatat melemah sekitar 1,5% secara point-to-point, sedangkan sejak awal tahun 2019 harga emas hitam ini sudah naik sekitar 15%.
Harga minyak merangkak naik pada hari ini setelah Washington memberikan sanksi terhadap perusahaan minyak milik negara Venezuela, PDVSA. Sanksi tersebut diberlakukan dalam upaya untuk mengurangi jumlah ekspor minyak OPEC ke Amerika Serikat, seperti yang dilansir dari Reuters.
Kisruh politik di Venezuela nampaknya menjadi pemicu diberlakukannya sanksi tersebut dengan segera. Pasalnya pemerintah AS memberi dukungan pada pemimpin oposisi Veneuela, Juan Guaido yang pada minggu lalu memproklamirkan diri sebagai presiden sementara dan menuntut presiden Maduro untuk mundur.
"Sebagai hasil dari tindakan hari ini [sanksi Venezuela], semua properti dan kepentingan dalam properti PDVSA yang tunduk pada yuridiksi AS diblokir, selain itu warga AS secara umum dilarang bertransaksi dengan mereka [PDVSA]," kata Kementerian Keuangan AS, mengutip Reuters.
Seperti yang diketahui, AS merupakan tujuan ekspor utama minyak mentah Venezuela. Pada 10 bulan pertama di tahun 2018, AS membeli minyak sebanyak 500.000 barel/hari dari Venezuela . Bila rantai dagang minyak AS-Venezuela terputus, maka cadangan minyak AS bisa sedikit dikuras.
Meskipun sanksi Venezuela menjadi sentimen yang cukup kuat hari ini, namun analis melihat pasar minyak dunia masih kebanjiran pasokan.
"Hal yang lebih signifikan adalah pasokan minyak global. Meskipun OPEC telah berusaha mengurangi produksi, namun nampaknya pasokan minyak masih tetap banyak," kata Jeffrey Halley, pialang kontrak OANDA di Singapura, mengutip Reuters.
Apalagi minggu lalu perusahaan energi, Baker Huges merilis data yang menyatakan bahwa jumlah rig minyak AS bertambah 10 unit. Ini berarti produksi minyak AS masih akan terus meningkat. Padahal saat sejak 2018 hingga saat ini produksi minyak Negeri Paman Sam telah naik lebih dari 2 juta barel/hari dan masih berada di rekor tertingginya (11,9 juta barel/hari).
Selain itu juga ada kekhawatiran akan berkurangnya permintaan minyak mentah dunia akibat perlambatan ekonomi global.
Dari 31 provinsi yang ada di China, 23 diantaranya telah memangkas target pertumbuhan ekonominya tahun ini. Hal ini menjadi sinyal yang semakin menguatkan bahwa sektor industri dan manufaktur negeri dengan perekonomian terbesar ke-2 di dunia ini sedang melambat.
Bila permintaan minyak mentah dunia berkurang di saat pasokan sedang meluap, maka harga minyak akan mendapat tekanan yang kuat.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(taa/gus) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Hingga pukul 12:00 WIB, harga minyak jenis Brent kontrak Maret terekspansi sebesar 0,13% ke posisi US$ 60,01/barel, setelah sebelumnya amblas 2,77% kemarin (28/1/2019).
Sedangkan harga minyak jenis lightsweet (WTI) kontrak Maret menguat 0,25% ke level US$ 52,12/barel, setelah ditutup minus 3,17% pada perdagangan kemarin.
Harga minyak merangkak naik pada hari ini setelah Washington memberikan sanksi terhadap perusahaan minyak milik negara Venezuela, PDVSA. Sanksi tersebut diberlakukan dalam upaya untuk mengurangi jumlah ekspor minyak OPEC ke Amerika Serikat, seperti yang dilansir dari Reuters.
Kisruh politik di Venezuela nampaknya menjadi pemicu diberlakukannya sanksi tersebut dengan segera. Pasalnya pemerintah AS memberi dukungan pada pemimpin oposisi Veneuela, Juan Guaido yang pada minggu lalu memproklamirkan diri sebagai presiden sementara dan menuntut presiden Maduro untuk mundur.
"Sebagai hasil dari tindakan hari ini [sanksi Venezuela], semua properti dan kepentingan dalam properti PDVSA yang tunduk pada yuridiksi AS diblokir, selain itu warga AS secara umum dilarang bertransaksi dengan mereka [PDVSA]," kata Kementerian Keuangan AS, mengutip Reuters.
Seperti yang diketahui, AS merupakan tujuan ekspor utama minyak mentah Venezuela. Pada 10 bulan pertama di tahun 2018, AS membeli minyak sebanyak 500.000 barel/hari dari Venezuela . Bila rantai dagang minyak AS-Venezuela terputus, maka cadangan minyak AS bisa sedikit dikuras.
Meskipun sanksi Venezuela menjadi sentimen yang cukup kuat hari ini, namun analis melihat pasar minyak dunia masih kebanjiran pasokan.
"Hal yang lebih signifikan adalah pasokan minyak global. Meskipun OPEC telah berusaha mengurangi produksi, namun nampaknya pasokan minyak masih tetap banyak," kata Jeffrey Halley, pialang kontrak OANDA di Singapura, mengutip Reuters.
Apalagi minggu lalu perusahaan energi, Baker Huges merilis data yang menyatakan bahwa jumlah rig minyak AS bertambah 10 unit. Ini berarti produksi minyak AS masih akan terus meningkat. Padahal saat sejak 2018 hingga saat ini produksi minyak Negeri Paman Sam telah naik lebih dari 2 juta barel/hari dan masih berada di rekor tertingginya (11,9 juta barel/hari).
Selain itu juga ada kekhawatiran akan berkurangnya permintaan minyak mentah dunia akibat perlambatan ekonomi global.
Dari 31 provinsi yang ada di China, 23 diantaranya telah memangkas target pertumbuhan ekonominya tahun ini. Hal ini menjadi sinyal yang semakin menguatkan bahwa sektor industri dan manufaktur negeri dengan perekonomian terbesar ke-2 di dunia ini sedang melambat.
Bila permintaan minyak mentah dunia berkurang di saat pasokan sedang meluap, maka harga minyak akan mendapat tekanan yang kuat.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(taa/gus) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular