
"Hantu" CAD Pergi Jauh dari RI, kok Rupiah Masih Tak Berdaya?

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) pada Selasa kemarin (13/10/2020) mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubnernur (RDG) edisi Oktober.
Hasilnya BI memutuskan mempertahankan suku bunga acuan 7 Day Reverse Repo Rate (7DRRR) sebesar 4%.
Itu artinya BI mempertahankan suku bunganya dalam 3 edisi RDG, kali terakhir 7DRRR di pangkas pada bulan Juli lalu. Total sepanjang tahun ini BI memangkas suku bunga sebanyak 4 kali masing-masing 25 basis poin (bps).
Namun, ada kabar gembira dari pengumuman kebijakan moneter kemarin. BI memperkirakan transaksi berjalan atau current account pada kuartal III-2020 bisa mencatatkan surplus, lepas dari defisit selama nyaris 1 dekade terakhir.
"Transaksi berjalan pada kuartal III-2020 diperkirakan akan mencatat surplus. Dipengaruhi oleh perbaikan ekspor dan penyesuaian impor sejalan dengan permintaan domestik yang belum cukup kuat," ungkap Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam jumpa pers usar Rapat Dewan Gubernur Periode September 2020, Selasa (13/10/2020).
Transaksi berjalan merupakan satu dari dua komponen Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), dan menjadi faktor yang begitu krusial dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil dan berjangka panjang.
Komponen NPI lainnya, transaksi modal dan finansial berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money, dan pergerakannya sangat fluktuatif. Arus modal dapat datang dan pergi dalam waktu singkat, sehingga berdampak pada stabilitas rupiah.
Transaksi berjalan sudah mengalami defisit sejak kuartal IV-2011, sehingga menjadi 'hantu' bagi perekonomian Indonesia. Kala defisit membengkak, BI akan menaikkan suku bunga guna menarik hot money, sehingga diharapkan dapat mengimbangi CAD, yang pada akhirnya dapat menopang penguatan rupiah.
Namun, kala suku bunga dinaikkan, suku bunga perbankan tentunya ikut naik, sehingga beban yang ditanggung dunia usaha hingga rumah tangga akan menjadi lebih besar.
Akibatnya, investasi hingga konsumsi rumah tangga akan melemah, dan roda perekonomian menjadi melambat. Oleh karena itu, CAD menjadi batu sandungan bagi perekonomian Indonesia.
Publikasi Neraca Pembayaran Kuartal II-2020 oleh Bank Indonesia (BI) pada pertengahan Agustus lalu menunjukkan defisit transaksi berjalan sebesar US$ 2,9 miliar atau setara 1,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB), membaik dari kuartal sebelumnya 1,4% PDB. Defisit di kuartal II-2020 menjadi yang paling sempit sejak awal 2017.
Transaksi berjalan terdiri dari 3 pos, yakni pendapatan primer, serta serta pendapatan sekunder, serta ekspor-impor barang dan jasa.
Berdasarkan publikasi BI, kontributor utama dari membaiknya CAD adalah defisit di pos pendapatan primer yang semakin menyempit. Defisit pendapatan primer pada periode April-Juni dilaporkan sebesar US$ 6,2 miliar, lebih rendah dari kuartal sebelumnya sebesar US$ 7,9 miliar.
Sementara itu neraca pendapatan sekunder mencatat surplus tetapi menipis. Surplus di kuartal II-2020 dilaporkan sebesar US$ 1,4 miliar, lebih rendah dari kuartal sebelumnya US$ 1,7 miliar, dan kuartal II-2019 sebesar US$ 2 miliar.
Surplus pos ekspor-impor barang dan jasa juga mengalami penyempitan. Surplus neraca perdagangan non-migas tercatat sebesar US$ 4,8 miliar pada periode April-Juni, menyempit dari kuartal I sebesar US$ 7,1 miliar, tetapi masih lebih tinggi ketimbang periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 3,5 miliar.
Menurut BI, surplus neraca perdagangan akan menjadi penopang transaksi berjalan hingga akhirnya lepas dari defisit di kuartal III-2020. Jika perkiraan BI terwujud maka akan menjadi surplus transaksi berjalan pertama sejak 2011.
Rupiah seharusnya bisa menguat merespon surplus tersebut, tetapi nyatanya sejak pertengahan tahun lalu Mata Uang Garuda justru melemah di paruh kedua tahun ini.
