"Hantu" CAD Pergi Jauh dari RI, kok Rupiah Masih Tak Berdaya?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
14 October 2020 16:21
ekspor
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Luthfi Rahman

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) pada Selasa kemarin (13/10/2020) mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubnernur (RDG) edisi Oktober.

Hasilnya BI memutuskan mempertahankan suku bunga acuan 7 Day Reverse Repo Rate (7DRRR) sebesar 4%.

Itu artinya BI mempertahankan suku bunganya dalam 3 edisi RDG, kali terakhir 7DRRR di pangkas pada bulan Juli lalu. Total sepanjang tahun ini BI memangkas suku bunga sebanyak 4 kali masing-masing 25 basis poin (bps).

Namun, ada kabar gembira dari pengumuman kebijakan moneter kemarin. BI memperkirakan transaksi berjalan atau current account pada kuartal III-2020 bisa mencatatkan surplus, lepas dari defisit selama nyaris 1 dekade terakhir. 

"Transaksi berjalan pada kuartal III-2020 diperkirakan akan mencatat surplus. Dipengaruhi oleh perbaikan ekspor dan penyesuaian impor sejalan dengan permintaan domestik yang belum cukup kuat," ungkap Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam jumpa pers usar Rapat Dewan Gubernur Periode September 2020, Selasa (13/10/2020).

Transaksi berjalan merupakan satu dari dua komponen Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), dan menjadi faktor yang begitu krusial dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil dan berjangka panjang.

Komponen NPI lainnya, transaksi modal dan finansial berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money, dan pergerakannya sangat fluktuatif. Arus modal dapat datang dan pergi dalam waktu singkat, sehingga berdampak pada stabilitas rupiah.

Transaksi berjalan sudah mengalami defisit sejak kuartal IV-2011, sehingga menjadi 'hantu' bagi perekonomian Indonesia. Kala defisit membengkak, BI akan menaikkan suku bunga guna menarik hot money, sehingga diharapkan dapat mengimbangi CAD, yang pada akhirnya dapat menopang penguatan rupiah.

Namun, kala suku bunga dinaikkan, suku bunga perbankan tentunya ikut naik, sehingga beban yang ditanggung dunia usaha hingga rumah tangga akan menjadi lebih besar.

Akibatnya, investasi hingga konsumsi rumah tangga akan melemah, dan roda perekonomian menjadi melambat. Oleh karena itu, CAD menjadi batu sandungan bagi perekonomian Indonesia.

Publikasi Neraca Pembayaran Kuartal II-2020 oleh Bank Indonesia (BI) pada pertengahan Agustus lalu menunjukkan defisit transaksi berjalan sebesar US$ 2,9 miliar atau setara 1,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB), membaik dari kuartal sebelumnya 1,4% PDB. Defisit di kuartal II-2020 menjadi yang paling sempit sejak awal 2017.

Transaksi berjalan terdiri dari 3 pos, yakni pendapatan primer, serta serta pendapatan sekunder, serta ekspor-impor barang dan jasa. 

Berdasarkan publikasi BI, kontributor utama dari membaiknya CAD adalah defisit di pos pendapatan primer yang semakin menyempit. Defisit pendapatan primer pada periode April-Juni dilaporkan sebesar US$ 6,2 miliar, lebih rendah dari kuartal sebelumnya sebesar US$ 7,9 miliar.

Sementara itu neraca pendapatan sekunder mencatat surplus tetapi menipis. Surplus di kuartal II-2020 dilaporkan sebesar US$ 1,4 miliar, lebih rendah dari kuartal sebelumnya US$ 1,7 miliar, dan kuartal II-2019 sebesar US$ 2 miliar.

Surplus pos ekspor-impor barang dan jasa juga mengalami penyempitan. Surplus neraca perdagangan non-migas tercatat sebesar US$ 4,8 miliar pada periode April-Juni, menyempit dari kuartal I sebesar US$ 7,1 miliar, tetapi masih lebih tinggi ketimbang periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 3,5 miliar.

Menurut BI, surplus neraca perdagangan akan menjadi penopang transaksi berjalan hingga akhirnya lepas dari defisit di kuartal III-2020. Jika perkiraan BI terwujud maka akan menjadi surplus transaksi berjalan pertama sejak 2011.

Rupiah seharusnya bisa menguat merespon surplus tersebut, tetapi nyatanya sejak pertengahan tahun lalu Mata Uang Garuda justru melemah di paruh kedua tahun ini.

Adapun yang patut digarisbawahi, seandainya transaksi berjalan benar mencatat surplus, itu bukan merupakan sebuah prestasi, tetapi "berkah" di kala pandemi.

Seperti yang disebutkan oleh BI, surplus neraca dagang akan membawa transaksi berjalan lepas dari defisit. Ekspor yang membaik karena perekonomian global mulai pulih, tetapi impor masih lemah. Sehingga neraca perdagangan bisa mencetak surplus.

Sayangnya, impor yang lemah berarti roda perekonomian di dalam negeri masih berjalan lambat, sehingga pemulihan ekonomi Indonesia kemungkinan akan berlangsung lebih lama.

Kinerja rupiah melawan dolar Amerika Serikat (AS) di kuartal III-2020 buruk, bahkan sangat buruk jika dibandingkan dengan mata uang utama Asia lainnya. Selain rupiah, hanya baht Thailand yang melemah, sisanya membukukan penguatan.

Sepanjang kuartal III-2020, rupiah merosot 4,65% ke Rp 14.840/US$, sementara baht yang juga melemah jauh lebih baik dengan pelemahan 2,27%.



Saat China sukses meredam virus corona, Indonesia justru sedang menghadapi kenaikan kasus Covid-19 hingga saat ini. Bahkan, penambahan kasus perharinya masih cenderung tinggi.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), kasus baru Covid-19 di Indonesia bertambah sebanyak 4.127 orang. Jumlah kasus baru tersebut membuat akumulasi kasus positif menjadi 344.794 orang.

Dari akumulasi tersebut, sebanyak 267.851 orang sembuh, dan 12.156 orang meninggal dunia, sisanya menjadi kasus aktif.

Akibatnya, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ketat-longgar bolak balik diterapkan, khususnya di DKI Jakarta. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pun nyungsep dan terancam mengalami resesi di kuartal III-2020. Resesi bisa dibilang sudah pasti, yang menjadi misteri adalah seberapa dalam kontraksi.

Ketidakpastian tersebut membuat rupiah terus mengalami tekanan.

Rupiah mulai dalam tren pelemahan sejak 8 Juni lalu, saat itu rupiah berada di level Rp 13.850/US$, sementara pada hari ini di Rp 14.680/US$. Artinya selama periode tersebut rupiah melemah sekitar 6%.

Pada pertengahan Juli lalu, BI memangkas suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 4%.

Total di tahun ini, BI sudah memangkas suku bunga sebanyak 4 kali dengan total 100 bps. Tidak hanya memangkas suku bunga, BI juga memberikan banyak stimulus moneter, tujuannya, guna memacu perekonomian yang nyungsep.

Penurunan suku bunga oleh BI menjadi salah satu penyebab melempemnya rupiah. Rupiah merupakan mata uang yang mengandalkan yield tinggi untuk menarik minat investor. Kala suku bunga dipangkas, yield tentunya juga akan menurun, sehingga rupiah menjadi kurang menarik.

Pelaku pasar berekspektasi BI masih akan memangkas suku bunga sekali lagi di sisa tahun ini, mengingat inflasi yang sangat rendah, sehingga memberikan ruang pemangkasan yang lebih besar.

Meski BI beberapa kali memberikan sinyal tidak akan memangkas suku bunga lagi, nyatanya ekspektasi di pasar masih tetap terjaga. Fitch Solutions misalnya, masih konsisten dalam beberapa bulan terakhir memprediksi BI masih akan memangkas suku bunga lagi hingga menjadi 3,75%.

Selain itu, hasil survei 2 mingguan Reuters pertengahan September lalu menunjukkan pelaku pasar kurang berminat terhadap rupiah karena cemas akan rencana revisi undang-undang BI, membuat bank sentral tidak lagi independen, dan rentan mengalami intervensi yang bersifat politis.

Bank investasi Societe Generale dalam sebuah catatan yang dikutip Reuters memprediksi rupiah akan menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia di semester II tahun ini. Sebagai aset dengan imbal hasil tinggi, rupiah masih akan dikalahkan oleh rupee India meski yield yang diberikan lebih rendah.

Sementara Fitch Solutions memprediksi rupiah berada di level Rp 15.000/US$ di penghujung tahun ini. 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular