Newsletter

The Fed Hati-hati, Trump Ngambek Lagi

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
10 January 2019 05:53
The Fed Hati-hati, Trump <i>Ngambek</i> Lagi
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Irvin Avriano Arief)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berhasil ditutup menguat pada perdagangan kemarin. Walau penguatannya relatif terbatas. 

Kemarin, IHSG berakhir dengan penguatan 0,15%. IHSG masih belum mampu finis di level psikologis 6.300. 

Bursa saham utama Asia juga mampu menguat, hanya saja agak jauh lebih signifikan. Indeks Nikkei 225 melonjak 1,1%, Hang Seng melesat 2,27%, Shanghai Composite naik 0,71%, Kospi melompat 1,95%, dan Straits Times terdongkrak 1,12%.


Sementara nilai tukar rupiah menguat 0,14% terhadap dolar AS kala penutupan perdagangan pasar spot. Rupiah sempat cukup lama berada di zona merah sebelum mulai menguat jelang penutupan pasar. 


Penguatan IHSG dan rupiah wajar adanya karena sentimen positif tengah memayungi pasar keuangan Asia. Angin segar datang dari dialog dagang AS-China di Beijing yang diperpanjang dari 2 hari menjadi 3 hari. 

Pelaku pasar menilai extra time tersebut merupakan wujud komitmen kedua negara untuk menyelesaikan masalah secara tuntas. Dengan begitu, jalan menuju damai dagang menjadi semakin terbuka. 


Optimisme investor membuncah, dan arus modal berdatangan ke Asia. Hasilnya jelas, paar keuangan Benua Kuning kompak menguat. 

Hanya saja memang penguatan yang dialami Indonesia relatif terbatas. Di pasar saham, sektor barang konsumsi mengalami tekanan karena rilis data Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK).  

Angka IKK pada Desember 2018 yang sebesar 127 memang bagus, tertinggi sejak Agustus. Namun bukan berarti masyarakat semakin rajin berbelanja. Pada Desember, porsi konsumsi dari total pengeluaran adalah 67,2%, turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 68,2%. Sebaliknya, porsi yang digunakan untuk tabungan naik menjadi 20,4% dari sebelumnya 19%. 

Ada kemungkinan, masyarakat menahan konsumsi seiring dengan ketidakpastian yang masih tinggi sampai dengan akhir 2019. Saham-saham barang konsumsi yang dilego investor di antaranya UNVR (-2,85%), GGRM (-1,76%), KLBF (-1,6%), dan HMSP (-0,78%). 

Sementara untuk rupiah, tekanan yang sempat hadir disebabkan oleh aksi ambil untung dan kenaikan harga minyak dunia. Penguatan rupiah cukup tajam menjadi bumerang, membuat rupiah rentan terserang technical correction. 

Selain itu, perkembangan harga minyak juga kurang suportif buat rupiah. Kemarin, harga si emas hitam masih naik di kisaran 1%. 

Kenaikan harga minyak yang berlangsung konstan menimbulkan kekhawatiran terhadap prospek transaksi berjalan (current account) Indonesia. Jika tren ini berlanjut, maka beban impor minyak akan semakin besar sehingga defisit transaksi berjalan kian lebar. 

Tanpa pasokan valas yang memadai dari ekspor-impor barang dan jasa, rupiah akan kekurangan' darah'. Fundamental penyokong rupiah menjadi rapuh sehingga rentan melemah. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari Wall Street, tiga indeks utama masih meneruskan tren penguatan. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,39%, S&P 500 menguat 0,41%, dan Nasdaq Composite bertambah 0,87%. 

Rilis notulensi rapat (minutes of meeting) The Federal Reserve/The Fed edisi Desember 2018 menjadi faktor penguat bursa saham New York. Dalam notulensi tersebut, terlihat bahwa Jerome 'Jay' Powell dan kolega sudah menunjukkan sikap yang tidak lagi agresif. 

"Banyak dari peserta rapat menyampaikan pandangan bahwa, terutama melihat perkembangan inflasi yang senyap, Komite bisa bersabar dalam hal penerapan kebijakan moneter yang lebih ketat. Beberapa peserta rapat juga menyebutkan bahwa sebelum The Fed kembali menaikkan suku bunga, ada baiknya mempertimbangkan berbagai risiko yang semakin nyata dalam beberapa bulan terakhir," papar notulensi itu. 

Sikap The Fed yang semakin hati-hati mengarah ke dovish ini membuat pasar saham bergairah. Saham adalah instrumen yang bekerja optimal di lingkungan suku bunga rendah. Kenaikan suku bunga bukan kawan sehati pasar saham, karena suku bunga tinggi akan mendongrak biaya dana dan menekan laba emiten. 

Selain itu, investor juga mengapresiasi hasil dari dialog dagang AS-China. Dalam keterangan tertulis dari Kantor Perwakilan Dagang AS (US Trade Representatives/USTR), disebutkan bawa China berkomitmen membeli lebih banyak produk asal Negeri Paman Sam, mulai dari produk pertanian, energi, hingga manufaktur. 

USTR tidak menyebut dengan detil hal lain yang menjadi pokok-pokok kesepakatan. Namun intinya dikatakan bahwa dialog berlangsung dengan baik untuk menciptakan kesetaraan dan keseimbangan dalam perdagangan. 

Usai pertemuan ini, belum ada rencana untuk melakukan dialog lanjutan. Delegasi AS akan bertolak ke Washington untuk mendapat arahan mengenai langkah berikutnya. 

Namun penguatan Wall Street menjadi terbatas karena gaduh politik anggaran di AS belum juga menemukan titik terang. Presiden AS Donald Trump lagi-lagi masih berkeras ingin memperkuat keamanan di wilayah perbatasan, salah satunya dengan membangun tembok di perbatasan AS-Meksiko.  

Rencana ini tidak mendapat persetujuan legislatif, sehingga sampai saat ini pemerintahan AS tidak punya anggaran. Pemerintah AS masih tutup sebagian (partial shutdown), yang berarti sudah belangsung selama 18 hari 16 jam 56 menit hingga pukul 04:56 WIB. 

Situasi semakin runyam kala Trump kembali ngambek saat melakukan rapat dengan pimpinan House of Representatives dari Partai Demokrat, Nancy Pelosi. Mengetahui Demokrat tidak setuju dengan pembangunan tembok di perbatasan, Trump keluar begitu saja dari rapat alias walkout

"Dia (Trump) bertanya kepada Pelosi, 'Apakah Anda akan menyetujui anggaran untuk tembok?'. Pelosi menjawab tidak, dan dia langsung berdiri sambil berkata 'jadi kita tidak punya hal untuk dibahas'. Dia kemudian keluar. Lagi-lagi kita melihatnya tantrum karena tidak mendapat apa yang diinginkan," ungkap Chuck Schumer, Pimpinan Partai Demokrat di Senat, seperti dikutip Reuters. 

Gaduh politik anggaran di Washington sedikit banyak menambah ketidakpastian di pasar. Ini menjadi sentimen negatif yang membebani. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu Wall Street yang menghijau. Diharapkan penguatan Wall Street bisa menular ke pasar saham Asia, termasuk Indonesia. 

Kedua adalah nilai tukar dolar AS yang semakin terpuruk. Pada pukul 05:03 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback secara relatif di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi sampai 0,75%. 

Prospek kenaikan suku bunga acuan di AS yang semakin suram membuat dolar AS terpukul mundur. Tanpa kenaikan suku bunga acuan, berinvestasi di dolar AS menjadi kurang menarik. Permintaan dolar AS berkurang sehingga nilainya melemah. 

Pertemuan komite pengambil kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) berikutnya adalah pada 30 Januari. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas The Fed untuk menahan suku bunga acuan di 2,25-2,5% adalah 98,4%. 

Kebijakan moneter AS yang sudah tidak lagi agresif sangat tidak menguntungkan dolar AS. Oleh karena itu, kemungkinan besar dolar AS akan kehilangan gelarnya sebagai raja mata uang. 

Rupiah bisa memanfaatkan tekanan ini dengan kembali mencetak apresiasi. Namun perlu diingat bahwa penguatan rupiah sudah cukup tajam.

Sejak akhir 2018 hingga kemarin, rupiah menguat 1,77% di hadapan dolar AS. Angka yang sudah tinggi itu berpotensi memancing investor untuk melakukan ambil untung, seperti yang terjadi dalam 2 hari terakhir.


Hal ini bisa menimbulkan risiko tersendiri bagi rupiah. Sentimen ketiga, yang juga berpotensi membebani rupiah, adalah harga minyak yang masih saja naik. Pada pukul 05:15 WIB, harga minyak jenis brent melonjak 4,34% dan light sweet melesat 4,78%. 

Penyebab kenaikan harga minyak adalah optimisme investor terhadap prospek damai dagang AS-China selepas pertemuan di Beijing. Ketika dua perekonomian terbesar di planet bumi sudah tidak lagi saling hambat di bidang perdagangan, maka pertumbuhan ekonomi global akan menggeliat dan permintaan energi meningkat.  

Selain itu, pemangkasan produksi oleh anggota Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) juga ikut mengatrol harga komoditas ini. Akhir pekan lalu, OPEC sepakat untuk mengurangi produksi sebanyak 800.000 barel/hari pada 2019. Ditambah Rusia dan negara-negara produsen lainnya (OPEC+), pengurangan produksi mencapai 1,2 juta barel/hari. Berkurangnya pasokan tentu berdampak pada kenaikan harga.  

Bagi rupiah, kenaikan harga minyak bukan kabar baik. Seperti sudah disinggung sebelumnya, kenaikan harga minyak akan menggerogoti fundamental penyokong rupiah yaitu transaksi berjalan. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Sentimen keempat, yang juga akan membawa risiko bagi pasar keuangan, adalah shutdown pemerintahan AS yang tidak kunjung selesai. Usai pertemuan dengan Pelosi dan Schumer, Trump kembali menumpahkan amarahnya melalui cuitan di Twitter. 

"Baru saja meninggalkan rapat dengan Chuck dan Nancy, benar-benar membuang waktu. Saya bertanya apa yang akan terjadi dalam 30 hari ke depan jika saya membuka (pemerintahan), apakah Anda akan menyetujui anggaran pengamanan perbatasan yang termasuk pembangunan tembok? Nancy bilang TIDAK, dan saya bilang bye-bye. Tidak berhasil!" cuit Trump. 

Perkembangan ini bisa membuat pelaku pasar cemas, sebab berhentinya pemerintahan AS tentu akan mempengaruhi aktivitas ekonomi di negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Berbagai layanan publik yang tidak berfungsi berpotensi menghambat aktivitas ekonomi sehingga perlambatan di AS akan semakin nyata. 

Jika ekonomi AS terus melambat, maka investor akan dipaksa untuk bermain aman. Aset-aset berisiko di negara berkembang tidak akan menjadi pilihan pelaku pasar. Ini tentu bukan kabar baik bagi IHSG dan rupiah. 

Sentimen kelima, kali ini dari dalam negeri, bisa menjadi harapan untuk memperkuat pasar keuangan Indonesia. Kemarin, Bank Indonesia (BI) merilis data penjualan ritel yang hasilnya memuaskan. 

Pada November 2018, Indeks Penjualan Riil (IPR) naik 3,4% secara tahunan (year-on-year/YoY) ke 213,7. Kenaikan tersebut lebih tajam dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 2,88% YoY. Bahkan BI memperkirakan IPR akan naik lebih tajam pada Desember, yaitu mencapai 7,7% YoY. 


Data ini menunjukkan konsumsi masyarakat masih kuat, sehingga ada harapan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal IV-2018 tetap terjaga. Ini akan menjadi sentimen positif yang bisa memperkuat IHSG dan rupiah. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 5)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis angka inflasi China periode Desember 2018 (08:30 WIB).
  • Rilis angka indeks harga produsen China periode Desember 2018 (08:30 WIB).
  • Rilis data klaim tunjangan pengangguran AS untuk minggu yang berakhir pada 5 Januari (20:30 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: 

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q III-2018 YoY)5,17%
Inflasi (Desember 2018 YoY)3,13%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Desember 2018)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (Q III-2018)-3,37% PDB
Neraca pembayaran (Q III-2018)-US$ 4,39 miliar
Cadangan devisa (Desember 2018)US$ 120,7 miliar
 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular