
Newsletter
The Fed Hati-hati, Trump Ngambek Lagi
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
10 January 2019 05:53

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu Wall Street yang menghijau. Diharapkan penguatan Wall Street bisa menular ke pasar saham Asia, termasuk Indonesia.
Kedua adalah nilai tukar dolar AS yang semakin terpuruk. Pada pukul 05:03 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback secara relatif di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi sampai 0,75%.
Prospek kenaikan suku bunga acuan di AS yang semakin suram membuat dolar AS terpukul mundur. Tanpa kenaikan suku bunga acuan, berinvestasi di dolar AS menjadi kurang menarik. Permintaan dolar AS berkurang sehingga nilainya melemah.
Pertemuan komite pengambil kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) berikutnya adalah pada 30 Januari. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas The Fed untuk menahan suku bunga acuan di 2,25-2,5% adalah 98,4%.
Kebijakan moneter AS yang sudah tidak lagi agresif sangat tidak menguntungkan dolar AS. Oleh karena itu, kemungkinan besar dolar AS akan kehilangan gelarnya sebagai raja mata uang.
Rupiah bisa memanfaatkan tekanan ini dengan kembali mencetak apresiasi. Namun perlu diingat bahwa penguatan rupiah sudah cukup tajam.
Sejak akhir 2018 hingga kemarin, rupiah menguat 1,77% di hadapan dolar AS. Angka yang sudah tinggi itu berpotensi memancing investor untuk melakukan ambil untung, seperti yang terjadi dalam 2 hari terakhir.
Hal ini bisa menimbulkan risiko tersendiri bagi rupiah. Sentimen ketiga, yang juga berpotensi membebani rupiah, adalah harga minyak yang masih saja naik. Pada pukul 05:15 WIB, harga minyak jenis brent melonjak 4,34% dan light sweet melesat 4,78%.
Penyebab kenaikan harga minyak adalah optimisme investor terhadap prospek damai dagang AS-China selepas pertemuan di Beijing. Ketika dua perekonomian terbesar di planet bumi sudah tidak lagi saling hambat di bidang perdagangan, maka pertumbuhan ekonomi global akan menggeliat dan permintaan energi meningkat.
Selain itu, pemangkasan produksi oleh anggota Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) juga ikut mengatrol harga komoditas ini. Akhir pekan lalu, OPEC sepakat untuk mengurangi produksi sebanyak 800.000 barel/hari pada 2019. Ditambah Rusia dan negara-negara produsen lainnya (OPEC+), pengurangan produksi mencapai 1,2 juta barel/hari. Berkurangnya pasokan tentu berdampak pada kenaikan harga.
Bagi rupiah, kenaikan harga minyak bukan kabar baik. Seperti sudah disinggung sebelumnya, kenaikan harga minyak akan menggerogoti fundamental penyokong rupiah yaitu transaksi berjalan.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(aji/aji)
Kedua adalah nilai tukar dolar AS yang semakin terpuruk. Pada pukul 05:03 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback secara relatif di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi sampai 0,75%.
Prospek kenaikan suku bunga acuan di AS yang semakin suram membuat dolar AS terpukul mundur. Tanpa kenaikan suku bunga acuan, berinvestasi di dolar AS menjadi kurang menarik. Permintaan dolar AS berkurang sehingga nilainya melemah.
Pertemuan komite pengambil kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) berikutnya adalah pada 30 Januari. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas The Fed untuk menahan suku bunga acuan di 2,25-2,5% adalah 98,4%.
Kebijakan moneter AS yang sudah tidak lagi agresif sangat tidak menguntungkan dolar AS. Oleh karena itu, kemungkinan besar dolar AS akan kehilangan gelarnya sebagai raja mata uang.
Rupiah bisa memanfaatkan tekanan ini dengan kembali mencetak apresiasi. Namun perlu diingat bahwa penguatan rupiah sudah cukup tajam.
Sejak akhir 2018 hingga kemarin, rupiah menguat 1,77% di hadapan dolar AS. Angka yang sudah tinggi itu berpotensi memancing investor untuk melakukan ambil untung, seperti yang terjadi dalam 2 hari terakhir.
Hal ini bisa menimbulkan risiko tersendiri bagi rupiah. Sentimen ketiga, yang juga berpotensi membebani rupiah, adalah harga minyak yang masih saja naik. Pada pukul 05:15 WIB, harga minyak jenis brent melonjak 4,34% dan light sweet melesat 4,78%.
Penyebab kenaikan harga minyak adalah optimisme investor terhadap prospek damai dagang AS-China selepas pertemuan di Beijing. Ketika dua perekonomian terbesar di planet bumi sudah tidak lagi saling hambat di bidang perdagangan, maka pertumbuhan ekonomi global akan menggeliat dan permintaan energi meningkat.
Selain itu, pemangkasan produksi oleh anggota Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) juga ikut mengatrol harga komoditas ini. Akhir pekan lalu, OPEC sepakat untuk mengurangi produksi sebanyak 800.000 barel/hari pada 2019. Ditambah Rusia dan negara-negara produsen lainnya (OPEC+), pengurangan produksi mencapai 1,2 juta barel/hari. Berkurangnya pasokan tentu berdampak pada kenaikan harga.
Bagi rupiah, kenaikan harga minyak bukan kabar baik. Seperti sudah disinggung sebelumnya, kenaikan harga minyak akan menggerogoti fundamental penyokong rupiah yaitu transaksi berjalan.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular