Menghitung Potensi Resesi AS dan Bahayanya bagi RI

Prima Wirayani, CNBC Indonesia
10 December 2018 07:25
Crazy Rich sampai IMF Ramalkan Perlambatan Ekonomi AS
Foto: New York Stock Exchange (NYSE) ( REUTERS/Brendan McDermid)
Meski saat ini terlihat kuat, ternyata telah ada banyak pihak yang meramalkan ekonomi AS akan melambat dalam beberapa tahun ke depan.

Beberapa penyebabnya adalah perang dagang tak berkesudahan dengan China dan beberapa rekan dagang utama Negeri Paman Sam, seperti negara-negara Uni Eropa dan Jepang, dan memudarnya dampak stimulus fiskal berupa pemotongan pajak yang diterapkan pemerintahan Presiden Donald Trump.

April lalu orang-orang superkaya dunia atau crazy rich ternyata telah memprediksi AS akan mengalami resesi.

Resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut, menurut Tim Riset CNBC Indonesia.

Sebanyak 75% investor superkaya saat itu memprediksi AS yang merupakan perekonomian terbesar di dunia akan menghadapi resesi di 2020, menurut temuan survei JPMorgan.


Dari mereka yang memprediksi perlambatan ekonomi AS, lima orang atau 21% dari responden yakin kelesuan akan dimulai tahun 2019. Sementara itu, 50% responden memprediksi perlambatan ekonomi akan dimulai tahun 2020, dilansir dari CNBC International.

Spring Investment Barometer dari JPMorgan Private Bank mengadakan survei terhadap lebih dari 700 klien miliuner global di seluruh Eropa dan Timur Tengah.

Kategori superkaya (ultra-high net worth individuals/HNWI) umumnya menggolongkan siapapun yang memiliki aset keuangan yang cair senilai lebih dari US$30 juta (Rp 434,5 miliar), sementara itu kategori kaya didefinisikan dengan kepemilikan aset senilai lebih dari US$1 juta.

Kepala ekonom Dana Moneter Internasional (IMF) Maurice Obstfeld juga mengatakan ekonomi AS akan mulai melambat tahun depan dan semakin terpuruk di 2020.

Namun, ia mengatakan negara dengan perekonomian terbesar di dunia itu tidak akan mengalami resesi baru.

"Kami telah lama memperkirakan pertumbuhan (AS) yang lebih rendah di 2019 dibandingkan apa yang kita lihat tahun ini," karena dampak stimulus fiskal dan anggaran pemerintahan Presiden Donald Trump yang mulai menghilang, ujarnya.

"Perlambatan itu akan menjadi lebih dalam lagi kemungkinan di 2020 dibandingkan di 2019, menurut data yang kami cermati," kata Obstfeld, dilansir dari AFP, Senin.

IMF sebelumnya telah merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan 2019 untuk AS menjadi 2,5% dari 2,8% tahun ini.

Sementara itu, Co-President JPMorgan Chase Gordon Smith bulan lalu mengingatkan bahwa kecemasan para pelaku pasar akan terjadinya resesi justru bisa benar-benar menjerumuskan AS ke dalam resesi itu sendiri.

"Ada banyak volatilitas di pasar ekuitas, banyak pembicaraan tentang seberapa terlambat kita dalam siklus dan khawatir tentang siklus ini," kata Smith.

"Itu pada akhirnya akan menyebabkan keyakinan bisnis memburuk, pada akhirnya akan mengarah pada penurunan belanja perusahaan, yang pada akhirnya akan mengarah pada minggu kerja yang lebih pendek untuk orang-orang yang dibayar per jam, yang pada akhirnya akan menyebabkan pengangguran mulai meningkat, dan kita akan mengembangkan resesi kita sendiri."

Ia sebenarnya optimistis tentang pertumbuhan ekonomi selama satu atau dua tahun ke depan melihat rendahnya angka pengangguran. Namun, ada risiko bahwa para pelaku pasar justru memicu resesi lebih dahulu.

"Semua data akan menunjukkan bahwa ekonomi kuat," kata Smith. "Tapi ada bahaya, bahwa hanya melalui retorika dan kekhawatiran, kita benar-benar mendorong diri kita sendiri ke dalam resesi lebih awal dari biasanya."


NEXT


(prm)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular