BI Longgarkan GWM Bukti Likuiditas Dikuasai Bank Besar?

Roy Franedya, CNBC Indonesia
20 November 2018 12:01
BI Longgarkan GWM Bukti Likuiditas Dikuasai Bank Besar?
Foto: Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) memberikan kabar baik bagi perbankan. Setelah mengumumkan kenaikan suku bunga acuan 25 bps menjadi 6%, BI juga mengumumkan pelonggaran instrumen moneter untuk mengelola likuiditas.

Pada konferensi pers Kamis (15/11/2018), BI mengumumkan pelonggaran aturan Giro Wajib Minimum (GWM) averaging dari 2% menjadi 3%. April lalu, BI juga sudah melonggarkan GWM averaging dari 1,5% menjadi 2%.

Dalam aturan ini, total kewajiban pemenuhan GWM rupiah sebesar 6,5% dari dana pihak ketiga (DPK), di mana 3% di antaranya harus dipenuh secara rata-rata dalam periode tertentu.

Selain itu, pelonggaran dari aturan Penyangga Likuiditas Makroprodunsial (PLM). Ini merupakan penyempurnaan dari aturan GWM sekunder. Dalam kebijakan ini PLM yang bisa repokan ke BI dari 2% menjadi 4%.

Itu artinya, seluruh surat berharga yang masukkan ke PLM bisa direpokan (digadaikan) untuk mendapatkan suntikan likuiditas dari Bank Indonesia. Sebelumnya BI mewajibkan PLM bank minimal 4%.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan sampai saat ini kondisi likuiditas di perbankan dan pasar uang masih cukup. Hal ini ditunjukkan rasio likuiditas terhadap DPK yang berada di kisaran 19,2% pada September 2018. Angka ini lebih tinggi dari posisi Agustus lalu yang mencapai 18,3%. 

"Secara keseluruhan kita mencermati distribusi likuiditas antar bank baik bank besar dan bank kecil. Distribusi likuiditas pada individual bank [perlu] untuk meningkatkan fleksibiitas dan distribusi dari likuiditas antar bank tadi, maka itu dasar kami mengeluarkan ketentuan yang terkait dengan GWM averaging dan PLM," ujar Perry dalam Konferensi Pers Pengumuman Bunga Acuan di Jakarta, Kamis (15/11/2018).

Lalu benarkah distribusi likuiditas tidak merata di perbankan dan benarkah likuiditas perbankan terpusat di bank besar?

[Gambas:Video CNBC]

Ketatnya likuiditas bank sebenarnya tergambar jelas dari rasio intermediasi perbankan atau yang sering disebut sebagai loan to deposito ratio (LDR). Mengutip dari OJK, hingga September 2018, LDR perbankan sudah mencapai 94,09%.

Angka ini menunjukkan bank sangat agresif untuk menyalurkan kredit sementara dana pihak ketiga (DPK) yang dihimpun seret. Pada September 2018, kredit yang disalurkan tumbuh 12,7% sementara DPK tumbuh 6,5%.

Tingginya penyaluran kredit yang tidak diikuti dengan pertumbuhan DPK membuat ruang likuiditas sendiri tinggal 5,91% dari total DPK. Namun perbankan memiliki dana sebesar Rp 543,5 triliun di parkir di BI. Sebagian besar dana ini merupakan fasilitas kredit yang belum dicairkan debitur. 

Meskipun regulator menganggap likuiditas perbankan masih cukup, sebenarnya pada dua tahun terakhir terjadi ketimpangan dalam distribusi likuiditas. Banyak dana nasabah yang mengendap di bank besar atau bank BUKU IV atau bermodal di atas Rp 30 triliun. 

Sementara likuiditas di bank menengah dan kecil cenderung ketat. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) porsi terbesar dana pihak ketiga (DPK) ada di bank BUKU IV. April lalu porsinya mencapai 50% namun pada September porsinya sudah naik menjadi 52%.

Sementara porsi bank BUKU III terhadap DPK mencapai 31,54%, BUKU II 10,12% dan BUKU I sebesar 1,01% (lihat tabel).

BI Longgarkan GWM Bukti Likuiditas Bank Dikuasai Bank Besar?Foto: CNBC Indonesia

Dari sisi pertumbuhan, DPK bank besar selalu tumbuh di atas bank menengah dan kecil. Misalnya pada 2017, DPK Bank BUKU IV tumbuh 18,56%. DPK Bank BUKU III tumbuh 0,28%. DPK Bank Buku II tumbuh 0,34% dan DPK Bank BUKU I anjlok 32,04%.

Hal ini menunjukkan distribusi likuiditas memang tidak merata. Bank-bank menengah dan kecil bersaing dengan bank besar dalam mengumpulkan dana masyarakat. Bank besar menawarkan layanan yang cukup baik dengan daya jangkau yang lebih luas sementara bank besar tidak memiliki layanan seprima dan seluas bank besar.

Menawarkan bunga deposito tinggi juga jadi kendala bank bank menengah dan kecil. Pasalnya, bunga deposito tinggi akan membuat biaya dana meningkat sehingga bunga kredit bisa kalah bersaing dengan bank besar.

Belum lagi bank menengah dan kecil harus bersaing dengan obligasi. Kenaikan bunga acuan BI membuat harga obligasi naik dan menurunkan yield. Namun ketika pasar penuh ketidakpastian yield obligasi meningkat. Saat ini terjadi tren perpindahan dana ke obligasi hal ini menjadi tantangan bagi bank menengah dan kecil.

[Gambas:Video CNBC]



Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular