Defisit Migas Bikin CAD Jebol dan Wacana Kenaikan Harga BBM

Roy Franedya, CNBC Indonesia
10 November 2018 11:02
Defisit Migas Bikin CAD Jebol dan Wacana Kenaikan Harga BBM
Foto: Ilustrasi Pengisian BBM di SPBU Pertamina (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia akhirnya mengumumkan neraca pembayaran Indonesia (NPI) kuartal III-2018. Hasilnya bisa ditebak pemburukan masih terus berlanjut.

BI mencatat NPI kuartal III-2018 mengalami defisit US$ 4,39 miliar. Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yang juga minus US$ 4,31 miliar. Ini merupakan titik terendah sejak kuartal III-2015.

Salah satu yang menjadi perhatian pasar adalah defisit transaksi berjalan. Kuartal III-2018, defisitnya melebar menjadi  US$ 8,85 miliar atau 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini merupakan terendah sejak 4 tahun terakhir.

Biang keroknya pun sudah bisa ditebak, defisit dagang migas. Pada kuartal III-2018, defisit migas melebar menjadi US$ 3,53 miliar di kuartal II-2018, naik dari kuartal sebelumnya sebesar US$ 2,76 miliar. 

Defisit perdagangan migas sebesar itu menjadi yang salah satu yang terburuk di sepanjang sejarah Indonesia. Sebagai catatan, Tim Riset CNBC Indonesia menelusuri data yang tersedia di situs resmi BI, di mana data yang tersedia paling lama adalah tahun 2005.



Membengkaknya defisit migas kembali menghidupkan wacana menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dianggap bisa mengendalikan permintaan dan menekan permintaan. Neraca migas yang lebih sehat akan berdampak pada perbaikan transaksi berjalan dan rupiah.

Sejatinya, pemerintah pernah mengumumkan kenaikan BBM Premium pada awal Oktober lalu. Pemerintah berencana menaikkan harga premium di Jawa dan Bali (Jamali) menjadi Rp 7.000 per liter dan di luar Jamali menjadi Rp 6.900 per liter.

Namun sejam kemudian kebijakan tersebut dibatalkan. Kebijakan ini menjadi masalah karena kurangnya kordinasi antar kementerian dan Pertamina tiba-tiba menyatakan belum siap menjalankan penugasan tersebut.

Bahkan Presiden Joko Widodo mengatakan tidak akan ada kenaikan harga BBM hingga akhir tahun ini.

"Dan terakhir saya hitung balik, dapat data banyak, meskipun sebelumnya dalam rapat sudah dipaparkan. Saya hitung balik, karena ini menyangkut kepentingan rakyat, menyangkut kebutuhan rakyat, yang nanti bisa menjadikan konsumsi itu menjadi lebih rendah," ujar Presiden.

"Oleh sebab itu kemarin saya dapat laporan dari Pertamina, berapa sih kalau kita naikan segini, dihitung lagi keuntungan tambahan di Pertamina? Tidak signifikan! Sudah saya putusin Pertamina batal (naikkan Premium)," ujarnya.

[Gambas:Video CNBC]


Paling tidak ada tiga manfaat kenaikan harga BBM. Pertama, mengurangi CAD. Efek samping dari jebolnya defisit perdagangan migas adalah melebarnya defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD).

Hal ini membuat rupiah kekurangan modal untuk menguat. Sebab devisa dari portofolio di pasar keuangan juga minim karena hot money terkonsentrasi ke Amerika Serikat (AS) akibat kenaikan suku bunga acuan. Hasilnya adalah rupiah melemah di kisaran 10% di hadapan dolar AS sejak awal tahun.

Dengan kenaikan harga premium, maka diharapkan konsumsi premium bisa turun karena masyarakat berhemat. Saat konsumsi turun, maka impor bisa ditekan sehingga transaksi berjalan pun tidak terlalu berdarah-darah. Rupiah pun bisa lebih stabil.

Kedua, selamatkan keuangan Pertamina. Lembaga pemeringkat Fitch Ratings menilai kebijakan pemerintah yang menunda kenaikan harga BBM Premium hanya semakin menekan kondisi keuangan PT Pertamina (Persero).

[Gambas:Video CNBC]

"Penundaan pemerintah menaikkan harga bahan bakar (Premium) akan menekan laba Pertamina hingga 12 bulan ke depan, akibat makin meruginya perusahaan di sektor penjualan BBM," ujar Direktur Fitch Ratings Shahim Zubair, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (16/10/2018).

Ketiga, dorong implementasi Euro IV dan EBT. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) telah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) LHK Nomor 20 Tahun 2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M,N, dan O, yang mengatur pemberlakukan standar emisi Euro 4 di Indonesia.

Peraturan itu ditetapkan berlaku untuk kendaraan berbahan bakar bensin pada September 2018, dan khusus untuk kendaraan berbahan bakar diesel diberlakukan pada awal 2021. Ketentuan tersebut berlaku baik bagi kendaraan angkutan ringan/kendaraan penumpang kecil (light duty vehicle) dan kendaraan angkutan berat/kendaraan besar (heavy duty vehicle).

Seperti diketahui, selama ini Indonesia masih mengadopsi standar Euro 2 sejak tahun 2005 lalu, yang berarti sudah sekitar 13 tahun Indonesia "setia" menggunakan standar yang rendah untuk emisi. Sebagai perbandingan, negara-negara maju di dunia saat ini sudah mengadopsi standar yang jauh lebih tinggi, bahkan dibandingkan dengan Euro 4 sekalipun.

Selain itu, selama BBM murah masih tersedia secara luas, tidak ada urgensi dari sektor rumah tangga maupun industri untuk beralih mengembangkan EBT. Bahkan, subsidi BBM yang sudah jor-joran di tahun ini sebenarnya dapat dialokasikan ke subsidi atau insentif bagi pembangunan sektor EBT.

[Gambas:Video CNBC]



(roy/roy) Next Article CAD RI Berkurang, Tapi Bukan Berarti Bisa Tenang!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular