Refleksi Krisis 2008

Mengapa Krisis Subprime Mortgage Tak Memukul Indonesia?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
16 September 2018 20:51
Mengapa Krisis Subprime Mortgage Tak Memukul Indonesia?
Foto: Reuters
Jakarta, CNBC Indonesia - Sepuluh tahun yang lalu, Lehman Brothers yang merupakan bank investasi terbesar keempat di Amerika Serikat (AS) yang berusia lebih dari 158 tahun dinyatakan bubar dan memicu krisis keuangan global. Bagaimana Indonesia bisa bertahan? Berikut ini ulasannya.

Lehman Brothers Holding Incorporation adalah bank investasi yang menaungi lebih dari 25.000 karyawan di seluruh dunia. Perusahaan ini sejak 2003 menjadi salah satu yang dikritik oleh Warren Buffet karena produk derivatifnya.


"Dalam pandangan kami, produk derivatif adalah senjata pemusnah massal sektor keuangan, menyimpan bahaya yang belum terlihat tapi berpotensi membunuh," ujarnya dalam tulisannya ke para pemegang saham perusahaan investasinya Berkshire Hathaway.

Peringatan sang "Peramal dari Omaha" ini terbukti benar setelah pada 2006 harga properti AS terpukul oleh kenaikan suku bunga acuan AS, yakni Fed Funds Rate. Dalam setahun itu, Gubernur Fed AS Alan Greenspan menaikkan Fed Rate hingga empat kali menjadi 5,25%.

Pada tahun yang sama, harga rumah sebagaimana dilaporkan National Association of Realtors turun 1,7% atau yang terparah dalam 11 tahun. Sebanyak 3,9 juta rumah di AS tak terjual dan pengajuan pembangunan rumah baru anjlok 28%.

Mengapa Krisis Subprime Mortgage Tak Memukul Indonesia?Foto: REUTERS/Mike Segar
Perumahan di AS setelah krisis subprime mortgage
Saat itu, pasar mengira bahwa kondisi itu akan terkoreksi sendiri setelah The Fed menurunkan kembali suku bunga acuannya. Mereka belum melihat bahwa ada badai besar yang tersimpan di bursa derivatif yakni subprime mortgage loan (KPR kelas dua).

Lehman Brothers, yang dibangun tiga bersaudara Henry, Mayer, dan Emanuel Lehman adalah salah satu yang menjual KPR "beracun" tersebut, yang telah dikemas ulang menjadi efek baru, yakni instrumen derivatif.

Awalnya, efek ini dibuat untuk menjadi alat lindung nilai (hedging) pasar properti, semacam exchange traded fund (ETF) yang mengumpulkan efek dari berbagai aset agar risiko satu atau beberapa aset yang berkinerja buruk di dalamnya tertutupi oleh aset lain yang berkinerja baik.

Namun, ketika semua aset itu memburuk, Lehman pun kesulitan. Ketika angkat tangan dan dinyatakan pailit pada 15 September 2008, saham perseroan anjlok 93% menjadi 26 sen dolar AS per unit.

Investor pun cemas karena efek subprime itu telah berpindah tangan melalui ribuan pihak yang saling tercengang karena aset dasarnya (harga rumah) anjlok, jauh lebih kecil dibandingkan harga efek dervatif tersebut di bursa. Spekulasi telah menggelembung melampaui nilai dasarnya.

Secara keseluruhan, Dow Jones ditutup anjlok 4,4% pada hari itu, atau kehilangan 504 poin. Di Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga tertekan sebesar 4,7%, hingga terlempar dari level psikologis 1.800 menjadi 1.719,25.

Mengapa Krisis Keuangan 2008 Tak Membanting Indonesia?Sumber: Reuters
Sejak krisis Lehman Brothers mewarnai pemberitaan media pada awal September 2008, IHSG secara akumulatif telah anjlok 33,49%, meninggalkan level psikologis 2.000 (8/9/2008) ke 1.355,41 pada 31 Desember 2018.

Namun, dampaknya tidak sampai melempar Indonesia ke jurang krisis ekonomi karena pemerintah berhasil mencegah krisis keuangan itu agar tidak menjalar menjadi krisis ekonomi dan krisis sosial seperti yang terjadi pada tahun 1998.

NEXT

Sewindu setelah krisis 2008, yakni pada 2016, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di depan para pengusaha nasonal di Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, mengungkap strateginya yang diambil sebagai presiden pada masa-masa penuh badai itu dalam menjaga ekonomi Indonesia.

"Saya dengan teman-teman dulu memilih strategi yang disebut dengan keep buying strategy (strategi menjaga pembelian). Ini kita debatkan habis dengan teman-teman saya di ASEAN, G-20, dan forum APEC," ujar SBY pada Kamis (3/3/2016) sebagaimana dikutip Detik.com.




Di tengah perekonomian yang lesu, pemerintah mati-matian memastikan rakyat masih bisa membeli barang dan jasa keperluan sehari-hari. Sama seperti tahun ini, pada 2008 itu SBY juga menghadapi pemilihan presiden setahun kemudian, sehingga dia pun menabung popularitas.

Namun, ongkosnya sangat besar. Pemerintah SBY pada periode tersebut mendongkrak subsidi energi menjadi Rp 223 triliun, meroket nyaris dua kali lipat alokasi pada 2007 yang hanya Rp 120,6 triliun.

Kenaikan itu dilakukan untuk mengimbangi lonjakan harga minyak dunia di tengah pelemahan rupiah. Ini merupakan pukulan ganda bagi Indonesia selaku importir minyak, karena nilai rupiah untuk membeli harga minyak yang kian mahal itu justru berkurang sehingga makin membebani anggaran negara.

"Entah beras, apapun yang dibutuhkan. Kalau rakyat masih membeli berarti demand. Ketika mengambil pilihan keep buying strategy, terus terang saya mendapat masukan dari dunia bisnis," ujar SBY.

Pada saat krisis subprime merebak, harga minyak dunia melonjak ke US$91 dari US$64,2 per barel pada 2007. Kurs rupiah pun terlempar
ke Rp 12.600/dolar AS, setelah bertahun-tahun relatif stabil di bawah Rp 10.000/dolar AS.

Selanjutnya pada 2009, ketika harga minyak dunia terpangkas nyaris separuhnya menjadi US$53 per barel, SBY memutuskan menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) menjadi Rp 4.500 per liter (dari Rp 6.000 setahun sebelumnya).

Berkat strategi tersebut, ekonomi Indonesia terbukti terselamatkan dengan masih tumbuh 4,6% ketika negara-negara berkembang lainnya membukukan perlambatan ekonomi dan bahkan kontraksi.

Mengapa Krisis Subprime Tak Membanting Indonesia?
Strategi ini sepertinya tengah diikuti oleh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), yang berusaha mengerem efek kebijakan ambisiusnya dalam menggenjot sektor infrastruktur dengan mempertahankan subsidi energi agar masyarakat tidak terbebani.

Pada 2019, pemerintah mengalokasikan subsidi energi Rp 156 triliun, terdiri dari subsidi BBM dan gas elpiji senilai Rp 100,1 triliun dan subsidi listrik Rp 56 triliun.




Saat ini, bekal pengalaman Sri Mulyani Indrawati yang juga menjadi Menteri Keuangan pada saat krisis 2008 semestinya menjadi modal yang cukup bagi pemerintahan Jokowi untuk menjaga kendali perekonomian nasional. 

Namun harap dicatat, berbeda dari 2008 di mana krisis hanya menjalar di pasar keuangan dunia -- tetapi tidak memukul sektor moneter dan makro negara emerging market -- tahun ini beberapa negara tertekan secara moneter sehingga ekonomi mereka terbatuk-batuk seperti Turki, Venezuela, Afrika Selatan.

Jika ada pukulan di sektor keuangan dalam skala global, maka terbuka peluang krisis ekonomi dunia bakal kembali terjadi. Semoga saja, tidak..


TIM RISET CNBC INDONESIA



(ags/prm) Next Article Ngerinya Evergrande! Bisa Picu Krisis Seperti Lehman Brothers

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular