
Internasional
10 Tahun Pasca-Krisis, Risiko Masih Intip Perekonomian Dunia
Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
04 September 2018 15:08

Washington, CNBC Indonesia - Sistem keuangan Amerika Serikat (AS) 10 tahun lalu diruntuhkan oleh investasi busuk dengan akronim yang misterius. Saat ini risiko stabilitas ekonomi memiliki nama-nama yang lebih akrab di telinga, seperti China, penularan di pasar negara berkembang, Brexit, dan Donald Trump, tulis AFP.
Sepuluh tahun sejak krisis 2008, ekonomi global telah kembali pulih. Di 2008, puluhan juta orang kehilangan rumah, ratusan juta orang kehilangan pekerjaan dan juga kehilangan triliunan dolar kekayaan mereka.
Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan ekonomi global akan tumbuh 3,9% tahun ini dan tahun depan, sebuah pemulihan yang solid di seluruh dunia.
Tetapi karena Amerika Serikat tengah berada dalam perang dagang ganda, prospek itu kini menghadapi tantangan.
Kepala Ekonom IMF Maurice Obstfeld memperingatkan bahwa "risiko ketegangan perdagangan saat ini semakin meningkat ... yang merupakan ancaman jangka pendek terbesar bagi pertumbuhan global."
Dan bank sentral yang paling kuat di dunia, Federal Reserve AS, telah berulang-ulang mengingatkan hal itu. "Sebuah eskalasi dalam perselisihan perdagangan internasional merupakan potensi risiko penurunan konsekuensial untuk aktivitas nyata," kata The Fed, melansir AFP.
America First
Sejak menjadi pemimpin Gedung Putih, Presiden AS Donald Trump, yang mencoba menepati janjinya untuk "Make America Great Again/ Membuat Amerika Hebat Lagi", telah mengacaukan hubungan dagang global. Trump meluncurkan serangannya tanpa membedakan antara sekutu dan saingan.
Salah satu target utamanya adalah Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA), pakta yang sudah dijalankan selama 25 tahun dengan tetangga negaranya, Kanada dan Meksiko. Trump telah menghina perjanjian itu dan menyebutnya sebagai sebuah 'kerugian' dan 'bencana' bagi Amerika Serikat.
Trump berkeras untuk menegosiasikan NAFTA, namun saat kesepakatan praktis sudah dicapai, komentarnya pekan lalu yang merendahkan Kanada membuat perundingan kedua negara itu menjadi tidak berguna. Padahal, Kanada merupakan mitra dagang utama AS.
Trump juga telah menyerang mitranya, Uni Eropa. Padahal pada saat itu Brussels tengah menghadapi ketidakpastian Brexit. Sementara terhadap China, Trump telah berulang kali menjatuhkan tarif impor sebagai hukuman agar Beijing mau membuat konsesi perdagangan dan mempersempit surplus neraca perdagangan mereka terhadap AS.
Serangan agresifnya terhadap Beijing akan kembali dilakukan minggu ini, di mana Negeri Paman Sam akan menerapkan tarif impor senilai US$200 miliar terhadap barang-barang China.
Efek dari serangan AS mulai dirasakan di negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu. jika tarif impor benar-benar kembali diterapkan, hal itu akan menyebabkan runtuhnya investasi, rantai pasokan, dan keyakinan.
Krisis berikutnya?
Ketika Lehman Brothers dibiarkan kolaps pada 15 September 2008, skala bencana menjadi jelas.
Sejumlah besar dana telah diinvestasikan dalam instrumen keuangan ultra-canggih, namun tak jelas bernama subprime mortgage. Instrumen itu membuat banyak orang, dalam era suku bunga rendah yang sangat panjang, dapat membeli rumah tak peduli bagaimanapun kondisi keuangan mereka.
Tetapi ketika The Fed mulai menaikkan suku bunga pada 2004, sistem itu mulai runtuh.
Kini, setelah bertahun-tahun menahan suku bunganya di sekitar nol, The Fed mulai mengerek naik bunga acuannya. Muncul pertanyaan dari mana krisis kini akan bermula?
Perekonomian AS bergerak sangat cepat. Bahkan, tingkat pengangguran berada di level terendah dalam sejarah, yaitu sekitar 4% dan tidak ada tanda-tanda inflasi dan bursa saham terus mencetak rekor.
Undang-Undang Dodd-Frank tahun 2010 membatasi pengambilan risiko dan memaksa bank untuk menahan cadangan kas yang cukup besar.
Akibatnya, "sektor perbankan adalah sektor yang paling diatur saat ini, setelah sektor utilitas," kata Steve Eisman, salah satu pemodal yang mengalami gelembung subprime dan mendapat untung darinya.
Saat ini ekonomi telah pulih selama 10 tahun, namun yang pasti adalah bahwa akan ada krisis lainnya.
"Jadi saya tidak tahu mana yang akan menyebabkan krisis berikutnya, tapi saya cukup yakin itu bukan tulip Belanda ... dan bukan subprime mortgage," kata Aaron Klein, seorang ahli peraturan di Brookings Institution.
Pakar risiko politik Ian Bremmer dari Eurasia Group mempertanyakan apakah kekuatan global saat ini akan merespons sama efektifnya seperti yang mereka lakukan pada tahun 2008 atau setelah serangan teroris 9/11.
"Ada lebih dari cukup stabilitas politik di dunia saat ini untuk menangani berbagai kabar hari ini," kata Bremmer. "Tetapi untuk krisis berikutnya, saya tidak begitu yakin."
(prm) Next Article Goldman Sachs: Ekonomi AS Makin Tahan Resesi
Sepuluh tahun sejak krisis 2008, ekonomi global telah kembali pulih. Di 2008, puluhan juta orang kehilangan rumah, ratusan juta orang kehilangan pekerjaan dan juga kehilangan triliunan dolar kekayaan mereka.
![]() Dana Moneter Internasional (IMF) |
Kepala Ekonom IMF Maurice Obstfeld memperingatkan bahwa "risiko ketegangan perdagangan saat ini semakin meningkat ... yang merupakan ancaman jangka pendek terbesar bagi pertumbuhan global."
Dan bank sentral yang paling kuat di dunia, Federal Reserve AS, telah berulang-ulang mengingatkan hal itu. "Sebuah eskalasi dalam perselisihan perdagangan internasional merupakan potensi risiko penurunan konsekuensial untuk aktivitas nyata," kata The Fed, melansir AFP.
America First
Sejak menjadi pemimpin Gedung Putih, Presiden AS Donald Trump, yang mencoba menepati janjinya untuk "Make America Great Again/ Membuat Amerika Hebat Lagi", telah mengacaukan hubungan dagang global. Trump meluncurkan serangannya tanpa membedakan antara sekutu dan saingan.
Salah satu target utamanya adalah Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA), pakta yang sudah dijalankan selama 25 tahun dengan tetangga negaranya, Kanada dan Meksiko. Trump telah menghina perjanjian itu dan menyebutnya sebagai sebuah 'kerugian' dan 'bencana' bagi Amerika Serikat.
![]() Presiden AS Donald Trump |
Trump juga telah menyerang mitranya, Uni Eropa. Padahal pada saat itu Brussels tengah menghadapi ketidakpastian Brexit. Sementara terhadap China, Trump telah berulang kali menjatuhkan tarif impor sebagai hukuman agar Beijing mau membuat konsesi perdagangan dan mempersempit surplus neraca perdagangan mereka terhadap AS.
Serangan agresifnya terhadap Beijing akan kembali dilakukan minggu ini, di mana Negeri Paman Sam akan menerapkan tarif impor senilai US$200 miliar terhadap barang-barang China.
Efek dari serangan AS mulai dirasakan di negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu. jika tarif impor benar-benar kembali diterapkan, hal itu akan menyebabkan runtuhnya investasi, rantai pasokan, dan keyakinan.
Krisis berikutnya?
Ketika Lehman Brothers dibiarkan kolaps pada 15 September 2008, skala bencana menjadi jelas.
Sejumlah besar dana telah diinvestasikan dalam instrumen keuangan ultra-canggih, namun tak jelas bernama subprime mortgage. Instrumen itu membuat banyak orang, dalam era suku bunga rendah yang sangat panjang, dapat membeli rumah tak peduli bagaimanapun kondisi keuangan mereka.
Tetapi ketika The Fed mulai menaikkan suku bunga pada 2004, sistem itu mulai runtuh.
![]() Federal Reserve |
Perekonomian AS bergerak sangat cepat. Bahkan, tingkat pengangguran berada di level terendah dalam sejarah, yaitu sekitar 4% dan tidak ada tanda-tanda inflasi dan bursa saham terus mencetak rekor.
Undang-Undang Dodd-Frank tahun 2010 membatasi pengambilan risiko dan memaksa bank untuk menahan cadangan kas yang cukup besar.
Akibatnya, "sektor perbankan adalah sektor yang paling diatur saat ini, setelah sektor utilitas," kata Steve Eisman, salah satu pemodal yang mengalami gelembung subprime dan mendapat untung darinya.
Saat ini ekonomi telah pulih selama 10 tahun, namun yang pasti adalah bahwa akan ada krisis lainnya.
"Jadi saya tidak tahu mana yang akan menyebabkan krisis berikutnya, tapi saya cukup yakin itu bukan tulip Belanda ... dan bukan subprime mortgage," kata Aaron Klein, seorang ahli peraturan di Brookings Institution.
Pakar risiko politik Ian Bremmer dari Eurasia Group mempertanyakan apakah kekuatan global saat ini akan merespons sama efektifnya seperti yang mereka lakukan pada tahun 2008 atau setelah serangan teroris 9/11.
"Ada lebih dari cukup stabilitas politik di dunia saat ini untuk menangani berbagai kabar hari ini," kata Bremmer. "Tetapi untuk krisis berikutnya, saya tidak begitu yakin."
(prm) Next Article Goldman Sachs: Ekonomi AS Makin Tahan Resesi
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular