Jakarta, CNBC Indonesia - Lebih dari 70 tahun berdiri, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) telah melewati berbagai macam zaman termasuk badai krisis yang beberapa kali menghantam perekonomian global termasuk Indonesia.
Dimulai dari krisis moneter yang menghantam pada tahun 1997-1998, hingga yang saat ini masih terjadi yaitu akibat Corona Virus Disease 20019 (COVID-19). Berikut perjalanan BNI dalam menapaki bermacam krisis yang pernah melandanya.
Pertama adalah krisis yang terjadi pada tahun 1997-1998 di kawasan Asia, salah satunya Indonesia. Akibat krisis ini, rupiah tertekan dan mengalami penurunan terparah dalam jangka waktu lama. Bahkan rupiah sempat berada di level Rp 16.800/US$. Padahal kala itu tepatnya pada akhir 1997 posisi rupiah masih di kisaran Rp 4.000 /US$.
Anjloknya nilai tukar rupiah ini memukul perekonomian, dimana saat itu perusahaan swasta kesulitan membayar kewajiban jangka pendek. Imbasnya adalah arus PHK yang tak bisa dibendung dan berujung pada problem sosial.
Selanjutnya, rasio kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) mau tak mau juga terpengaruh, di mana posisi pada tahun 1998, NPL perbankan mencapai 48,6%. Artinya, hampir dari setengah kredit yang disalurkan perbankan bermasalah.
Masyarakat dihantui ketakutan, lantaran bank tempat mereka menyimpan uang kesulitan likuiditas. Kondisi ini menimbulkan bank rush alias masyarakat berbondong-bondong menarik dananya.
Sama halnya dengan perbankan lain, BNI juga tak bisa menghindar dari hantaman badai krisis ini. Hal ini tercermin dari menurunya indikator kinerja finansial, bahkan keadaan ini menjadi periode paling kelam dalam sejarah BNI.
Meski begitu, BNI menjadi salah satu bank BUMN pertama yang melantai di pasar modal, resmi mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya pada 1996.
Beruntung, kondisi tersebut tak berlarut-larut karena setelah krisis mencapai bottom, kinerja BNI pun berangsur membaik. Pada 1999 BNI memperkuat struktur keuangan dan daya saingnya di tengah industri perbankan nasional. BNI pun melakukan sejumlah aksi korporasi, antara lain proses rekapitalisasi oleh Pemerintah.
Pada 2001 Bank BNI pun berhasil mengurangi jumlah NPL menjadi 19,54% dari total pinjaman atau senilai Rp 6,91 triliun. Kondisi ini jauh lebih rendah dibandingkan posisi tahun 2000 yang mencapai Rp 7,96 triliun atau 24,90% dari total pinjaman.
Kemudian, lagi-lagi krisis melanda pada tahun 2005. Kali ini penyebabnya cukup kompleks yaitu harga minyak dunia dan meningkatnya nilai tukar dolar karena naiknya suku bunga acuan The Federal Reserve (The Fed).
Berbekal krisis sebelumnya yaitu pada tahun 1997-1998, BNI kali ini lebih waspada. BNI mencatat laba bersih Rp 1,42 triliun dengan pendapatan bunga bersih Rp 6,9 triliun.
Bahkan, likuiditas BNI juga tergolong sangat longgar dimana kala itu Loan Deposit Ratio (LDR) tercatat sebesar 52,4%. ROA juga tercatat stabil di level 1,61% dan ROE berada di level 12,64%. Adapun NIM dan CAR masing-masing berada di posisi 5,35% dan 16%.
Krisis berikutnya yang terjadi 12 tahun yang lalu tepatnya pada tahun 2008. Pasca 2005 sebenarnya ada masalah tersembunyi bagi finansial global, yakni kenaikan The Fed Funds Rate. Kenaikan bunga acuan ini menyebabkan pasar properti di Amerika Serikat runtuh.
Saat itu, sebanyak 3,9 juta rumah di Amerika Serikat (AS) tak laku dan pengajuan pembangunan rumah baru turun hingga 28%. %. Harga rumah sebagaimana dilaporkan National Association of Realtors turun 1,7% atau yang terparah dalam 11 tahun.
Kondisi ini berimbas ke bursa derivatif yakni subprime mortgage loan (KPR kelas dua). Lehman Brothers, yang dibangun tiga bersaudara Henry, Mayer, dan Emanuel Lehman adalah salah satu yang menjual KPR tersebut, yang telah dikemas ulang menjadi efek baru, yakni instrumen derivatif.
Awalnya, efek ini dibuat untuk menjadi alat lindung nilai (hedging) pasar properti, atau sama halnya dengan exchange traded fund (ETF) yang mengumpulkan efek dari berbagai aset agar risiko satu atau beberapa aset yang berkinerja buruk di dalamnya tertutupi oleh aset lain yang berkinerja baik.
Namun sayangnya, saat semua aset tersebut ambruk, Lehman pun kesulitan. Akhirnya, Lehman angkat tangan dan dinyatakan pailit pada 15 September 2008.
Mau tak mau, krisis ini sempat "mampir" ke Indonesia. Kurs rupiah pun terlempar ke Rp 12.600/dolar AS, setelah bertahun-tahun relatif stabil di bawah Rp 10.000/dolar AS.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat ambles hingga 60%, ke posisi 1.146. Meski begitu, secara historis dampak krisis subprime mortgage ke BNI ternyata cukup rendah.
Hal ini terbukti dari laba bersih pada 2008 meningkat menjadi Rp 1,22 triliun, naik 36% dibandingkan tahun sebelumnya. Bahkan laba pada 2009 meningkat 2 kali lipat menjadi Rp 2,48 triliun.
Dari sisi kredit, NPL neto malah membaik dari 4% pada 2007 menjadi 1,7% pada 2008 dan 0,8% pada 2009. BNI bahkan melakukan ekspansi dimana total aset tercatat meningkat dari Rp 183,34 triliun pada 2007 menjadi Rp 201,74 triliun pada 2008 dan Rp 227,5 triliun pada 2009.
Jumlah kantor cabang BNI juga menjadi 1.076 pada tahun 2009. Naik dibanding tahun sebelumnya yaitu tepatnya pada tahun 2207 yang hanya sebanyak 983 unit.
Kini, Indonesia dan seluruh negara di dunia mengalami krisis yang lain. Kali ini penyebabnya adalah virus corona yang hanya seukuran 500 mikrometer namun meluluhkan perekonomian dunia.
Sempat porak poranda akibat Covid-19, 2021 pelan-pelan kondisi perekonomian mulai bangkit. Penasihat kebijakan People's Bank of China (PBOC), Liu Shijin, mengatakan pada Jumat (26/2) produk domestik bruto (PDB) China dapat meningkat 8-9% pada tahun 2021 karena terus pulih dari pandemi Covid-19.
Namun, kata Liu, Kecepatan pemulihan ini tidak berarti China telah kembali ke periode "pertumbuhan tinggi", karena akan berasal dari basis yang rendah pada tahun 2020, ketika ekonomi China hanya tumbuh 2,3%.
Liu juga mengatakan jika pertumbuhan PDB rata-rata tahun 2020 dan 2021 adalah sekitar 5%, ini akan menjadi hasil yang "tidak buruk" bagi China.
Sementara analis dari HSBC minggu ini memperkirakan bahwa PDB China akan tumbuh 8,5% tahun ini, memimpin pemulihan ekonomi global dari pandemi.
Pandemi juga membuat Bank Indonesia (BI) sempat menurunkan pertumbuhan ekonomi domestik untuk tahun 2020 dari 5,0%-5,4% menjadi 4,2%-4,6%.
Baru-baru ini, BI merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional 2021 menjadi 4,3-5,3% dari yang sebelumnya 4,8-5,8%. Penurunan proyeksi tersebut dikarenakan rendahnya realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV-2020.
"Pada 2021 BI perkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kisaran 4,3-5,3%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2021 akan berada di kisaran 4,5-5,3%. Vaksinasi anti-virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) akan menjadi penentu pertumbuhan ekonomi.
"Beberapa alasan yang mendukung pemulihan ekonomi adalah program vaksinasi. Ini akan terus terakselerasi tinggi pada kuartal II, kuartal III, hingga akhir tahun. APBN akan support untuk pemulihan ekonomi," ujarnya.
Kembali ke BNI, kondisi saat ini nyatanya tak menggoyangkan laporan keuangan Bank BUMN ini. Pada Januari 2021, BNI mencatatkan kenaikan DPK 5,9% menjadi Rp 591 triliun dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 558 triliun.
Kemudian, penyaluran kredit BNI juga naik 4,6% pada Januari 2021 menjadi Rp 545 triliun dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar Rp 521,3 triliun.
Aset BNI juga tercatat naik menjadi Rp 788 triliun. Angka tersebut naik 2,7% dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 766 triliun.
Direktur Corporate Banking BNI Silvano Winston Rumantir sebelumnya mengatakan, segmen yang mendorong pertumbuhan kredit BNI di tahun ini masih dari segmen korporasi seiring pulihnya perekonomian. Selain itu, segmen konsumer juga meningkat melihat potensi terutama kredit payroll. Dia berharap payroll loan di BNI bisa tumbuh double digit.
"Segmen menengah kecil, pertumbuhan kredit harus didukung pendanaan yang sehat, strategi kami menargetkan pertumbuhan DPK, terutama CASA," ungkap Silvano.
Tahun ini, Bank BNI memproyeksikan kredit akan tumbuh pada rentang 6% sampai dengan 9%. Ekspektasi membaiknya perekonomian dan pulihnya daya beli di tahun ini menjadi katalis positif bagi pertumbuhan penyaluran kredit.
Analis NH Korindo, Anggaraksa Arismunandar mengatakan pertumbuhan kredit yang cenderung konservatif pada kisaran 6% -9% pada tahun 2021, sejalan dengan kondisi pemulihan ekonomi yang masih menantang.
Tak hanya soal laporan keuangan, dirinya juga menyinggung kinerja saham BNI. Dia menargetkan harga saham BNI dalam satu tahun ke depan, valuasi harga saham BNI akan berada di kisaran Rp 7.950 per saham.
"Kami menaikkan peringkat BBNI dari menjadi BUY dengan target harga Rp 7.950. Harga target kami mencerminkan price book value 1,24 kali (rata-rata 3 tahun terakhir). Saat ini, BBNI diperdagangkan pada level 1,05 kali," ujar dia dalam laporannya.