Ekonomi China Melambat, Harga Logam Berguguran

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
04 September 2018 16:48
Harga logam dasar di London Metal Exchange (LME) berjatuhan pada penutupan perdagangan hari Senin
Foto: Reuters
Jakarta, CNBC IndonesiaHarga logam dasar di London Metal Exchange (LME) berjatuhan pada penutupan perdagangan hari Senin (03/09/2018). Ada dua faktor yang ditenggarai menjadi penyebabnya, yaitu nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) yang menguat dibanding dengan mata uang lainnya dan perlambatan aktivitas ekonomi di China.

Harga logam secara harian yang mengalami penurunan terdalam adalah harga aluminium yang jatuh sebesar 1,58% ke US$2.076,25/Metrik Ton (MT). Sepanjang tahun berjalan (year-to-date/YTD) harga aluminium sudah jatuh di kisaran 8,06%.

Kemudian, harga tembaga juga turun 1,54% ke US$2,649/pound, berada di urutan kedua komoditas logam yang menurun paling dalam kemarin. Harga tembaga sudah turun lebih dari 25% sejak awal tahun ini.
Di bawah tembaga, ada komoditas timah yang terkoreksi hingga 0,79% ke US$18.915/MT dan nikel yang turun tipis 0,09% ke US$12.708,5/MT. Harga nikel bahkan menyentuh rekor terendahnya dalam 7,5 bulan, atau sejak 19 Januari 2018. Pasalnya, dengan pelemahan kemarin, harga nikel sudah melemah 4 hari berturut-turut.

Tercatat, hanya ada dua komoditas logam yang masih mampu bergerak di zona hijau pada perdagangan kemarin adalah seng/zinc (+0,31%) dan timbal/lead (+2,16%). Meski demikian, di sepanjang tahun ini, harga seng dan timbal sudah melemah masing-masing sebesar 25,88% dan 15,05%.



Faktor yang mendorong jatuhnya mayoritas harga logam adalah keperkasaan dolar AS. Data ekonomi AS yang positif, krisis Turki dan Argentina, hingga panasnya perang dagang global, ramai-ramai membuat dolar AS perkasa.

Dollar Index, yang menceminkan posisi greenback terhadap 6 mata uang utama dunia, tercatat menguat hingga 0,68% di sepanjang bulan Agustus 2018. Pada akhir pekan lalu saja, indeks ini meningkat hingga 0,44%.

Apresiasi dolar AS tentu saja akan membuat harga logam dunia yang diperdagangkan dengan mata uang negeri adidaya, akan relatif lebih mahal bagi pemegang mata uang asing. Hal ini menjadi persepsi bahwa permintaan komoditas logam akan menurun.



Kemudian, sinyal prospek ekonomi negara berkembang yang suram masih membebani harga logam. Hal ini diindikasikan oleh melambatnya aktivitas ekonomi di China.

Indeks manufaktur PMI China (versi Caixin/Markit) bulan Agustus 2018 turun ke angka 50,6. Nilai itu merupakan yang terendah sejak Juni 2017. Penyebabnya adalah penjualan ekspor industri manufaktur Negeri Panda turun selama 5 bulan berturut-turut.

Data ini semakin mepertegas bahwa aktivitas ekonomi di Negeri Tirai Bambu semakin melambat. Sebelumnya, pertumbuhan penjualan ritel China hanya naik sebesar 8,8% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada bulan Juli 2018, turun dari 9% YoY pada bulan sebelumnya, serta naik lebih lambat dari ekspektasi pasar sebesar 9,1% YoY.  

Kemudian, pertumbuhan produksi industri Negeri Panda bulan lalu juga hanya naik 6% YoY, lebih rendah dari ekspektasi pasar sebesar 6,3% YoY.

Sementara itu, investasi aset tetap di China juga hanya naik 5,5% YoY pada periode Januari-Juli 2018, meleset dari ekspektasi pasar yang meramalkan pertumbuhan sebesar 6% YoY. Pertumbuhan investasi aset tetap tersebut bahkan masih berada di level terendah sejak 1996, mengutip data Reuters.

Seperti diketahui, pertumbuhan ekonomi global yang melambat tentunya akan memberikan indikasi bahwa permintaan logam dunia juga akan melambat. Hal ini lantas menekan hampir seluruh logam dunia pada perdagangan kemarin.


TIM RISET CNBC INDONESIA

(RHG/hps) Next Article Harga Aluminium Terus Berjaya, Bisa Tahan Berapa Lama?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular