
Harga Aluminium Anti Klimaks di Akhir Pekan Lalu
Houtmand P Saragih & Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
23 April 2018 15:18

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga aluminium jatuh dua hari berturut-turut akhir pekan lalu, seiring dengan kekhawatiran investor akan sanksi Amerika Serikat (AS) bagi perusahaan produsen aluminium asal Rusia, UC Rusal, sedikit mereda.
Pada akhir pekan lalu, harga aluminium kontrak pengiriman tiga bulanan di London Metal Exchange (LME) tercatat melemah 0,6% ke US$2.469/ton. Meski demikian, dalam sepekan lalu harga logam ringan ini masih mampu menguat 8,05%.
Sebagai catatan, sejak diberlakukannya sanksi terhadap UC Rusal pada tanggal 6 April, harga aluminium sudah menguat hingga 23%. Sebuah catatan mengagumkan, mengingat harga aluminium sepanjang kuartal I-2018 menyandang status logam industri dengan performa terburuk dengan melemah lebih dari 11%.
UC Rusal merupakan produsen aluminium terbesar kedua di dunia pada 2016, dan berkontribusi sekitar 7% dari produksi aluminium global, atau menyumbang sekitar 11,5 juta ton alumina per tahun. Tak pelak, adanya sanksi dari AS tersebut memberikan sentimen akan terancamnya pasokan dunia, kemudian mendongkrak harga aluminium global.
Konsumen aluminium lantas bergerak cepat untuk mengamankan pasokan. Tercatat ada sekitar 420.000 ton stok aluminium di LME yang akan segera ditarik. Hal ini lantas menjadi indikasi tren kenaikan aluminium yang masih cenderung bullish
Namun, pada akhir pekan lalu, harga aluminium justru lesu. Ada beberapa sentimen yang menahan laju penguatan sang logam ringan. Pertama, penguatan dolar AS selama sepekan lalu. Sebagai catatan, indeks dolar AS yang mencerminkan posisi dolar AS terhadap 6 mata uang utama dunia, menguat 0,57% dalam seminggu kemarin.
Kedua, seiring dengan harga aluminium LME yang meningkat dengan laju yang lebih cepat dibandingkan dengan harga di China, kemungkinan Negeri Tirai Bambu untuk mengguyur produk aluminiumnya ke pasar dan mengisi gap yang ditinggalkan oleh UC Rusal pun terbuka lebar
Sebagai catatan, harga aluminium kontrak pengiriman Juni 2018 di Shanghai Future Exchange hanya naik sekitar 6% sejak sanksi UC Rusal diluncurkan.
Ketiga, investor nampaknya lebih optimis bahwa UC Rusal mampu menghindari kejatuhannya, pasca pemerintah Rusia menyatakan akan menasionalisasikan perusahaan tersebut sementara. Selain itu, ada rumor yang beredar pula bahwa akan ada perusahaan China yang akan membeli UC Rusal.
Investor memang perlu waspada bahwa meroketnya harga aluminium saat ini sebenarnya bersifat jangka pendek, karena lebih dipicu oleh tensi geopolitik yang bisa mereda kapan saja. Saat isu UC Rusal mereda, atau tensi antara AS dan Rusia berkurang, harga aluminium bisa saja jatuh kembali, dengan kecepatan yang sama dengan kenaikannya.
Kenaikan harga aluminium secara jangka panjang hanya dapat dipicu oleh faktor fundamental. Kabar baiknya, BMI Research, afiliasi dari Fitch Group, memprediksikan permintaan aluminium global tahun ini yang kuat tahun ini, disokong oleh stabilnya pertumbuhan konsumsi di Asia, beserta kuatnya pertumbuhan industri yang menggunakan aluminium sebagai bahan baku, seperti industri pesawat terbang dan otomotif.
Next Article Harga Aluminium Terus Berjaya, Bisa Tahan Berapa Lama?
Pada akhir pekan lalu, harga aluminium kontrak pengiriman tiga bulanan di London Metal Exchange (LME) tercatat melemah 0,6% ke US$2.469/ton. Meski demikian, dalam sepekan lalu harga logam ringan ini masih mampu menguat 8,05%.
Sebagai catatan, sejak diberlakukannya sanksi terhadap UC Rusal pada tanggal 6 April, harga aluminium sudah menguat hingga 23%. Sebuah catatan mengagumkan, mengingat harga aluminium sepanjang kuartal I-2018 menyandang status logam industri dengan performa terburuk dengan melemah lebih dari 11%.
Konsumen aluminium lantas bergerak cepat untuk mengamankan pasokan. Tercatat ada sekitar 420.000 ton stok aluminium di LME yang akan segera ditarik. Hal ini lantas menjadi indikasi tren kenaikan aluminium yang masih cenderung bullish
Namun, pada akhir pekan lalu, harga aluminium justru lesu. Ada beberapa sentimen yang menahan laju penguatan sang logam ringan. Pertama, penguatan dolar AS selama sepekan lalu. Sebagai catatan, indeks dolar AS yang mencerminkan posisi dolar AS terhadap 6 mata uang utama dunia, menguat 0,57% dalam seminggu kemarin.
Kedua, seiring dengan harga aluminium LME yang meningkat dengan laju yang lebih cepat dibandingkan dengan harga di China, kemungkinan Negeri Tirai Bambu untuk mengguyur produk aluminiumnya ke pasar dan mengisi gap yang ditinggalkan oleh UC Rusal pun terbuka lebar
Sebagai catatan, harga aluminium kontrak pengiriman Juni 2018 di Shanghai Future Exchange hanya naik sekitar 6% sejak sanksi UC Rusal diluncurkan.
Ketiga, investor nampaknya lebih optimis bahwa UC Rusal mampu menghindari kejatuhannya, pasca pemerintah Rusia menyatakan akan menasionalisasikan perusahaan tersebut sementara. Selain itu, ada rumor yang beredar pula bahwa akan ada perusahaan China yang akan membeli UC Rusal.
Investor memang perlu waspada bahwa meroketnya harga aluminium saat ini sebenarnya bersifat jangka pendek, karena lebih dipicu oleh tensi geopolitik yang bisa mereda kapan saja. Saat isu UC Rusal mereda, atau tensi antara AS dan Rusia berkurang, harga aluminium bisa saja jatuh kembali, dengan kecepatan yang sama dengan kenaikannya.
Kenaikan harga aluminium secara jangka panjang hanya dapat dipicu oleh faktor fundamental. Kabar baiknya, BMI Research, afiliasi dari Fitch Group, memprediksikan permintaan aluminium global tahun ini yang kuat tahun ini, disokong oleh stabilnya pertumbuhan konsumsi di Asia, beserta kuatnya pertumbuhan industri yang menggunakan aluminium sebagai bahan baku, seperti industri pesawat terbang dan otomotif.
Next Article Harga Aluminium Terus Berjaya, Bisa Tahan Berapa Lama?
Most Popular