Harga Aluminium Bergerak Bak Roller Coaster

Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
26 April 2018 16:20
Harga aluminium kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange (LME) ditutup menguat 0,9% kemarin ke level US$2.244,5/ton hari Rabu (25/4/2018).
Foto: Reuters
Jakarta, CNBC IndonesiaHarga aluminium kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange (LME) ditutup menguat 0,9% kemarin ke level US$2.244,5/ton hari Rabu (25/4/2018). Penguatan tersebut lantas memutus tren negatif harga logam ringan ini setelah sebelumnya terkoreksi empat hari berturut-turut.

Sebagai catatan, hingga kemarin harga aluminium sudah terkoreksi hingga 9,7% dalam sepekan. Padahal pada pekan lalu, harga aluminium mampu menguat hingga 8,5%. Biang kerok dari volatilitas harga aluminium ini datang dari dinamika sanksi Amerika Serikat (AS) terhadap perusahaan aluminium asal Rusia UC Rusal.
Roller Coaster ala Harga Aluminium Foto: Tim Riset CNBC Indonesia/ Raditya Hanung
Sejak diberlakukannya sanksi terhadap UC Rusal pada tanggal 6 April, harga aluminium menguat 28% hingga mencapai titik tertingginya di level US$2.548/ton pada tanggal 18 April 2018. Sebuah catatan mengagumkan, mengingat harga aluminium sepanjang kuartal I-2018 menyandang status logam industri dengan performa terburuk dengan melemah lebih dari 11%.

Sebagai catatan, menyusul sanksi dari Negeri Paman Sam tersebut, seluruh aset UC Rusal yang berada di bawah yurisdiksi AS dibekukan. Warga negara atau entitas bisnis AS juga dilarang untuk bertransaksi dengan perusahaan tersebut

Mencuatnya sanksi AS pada sejumlah individu dan entitas dari Rusia ini dipicu oleh insiden serangan terhadap mantan agen intelijen militer Rusia di Inggris, serta dugaan campur tangan Rusia di dalam pemilu presiden AS.

UC Rusal merupakan produsen aluminium terbesar kedua di dunia pada 2016, dan berkontribusi sekitar 7% dari produksi aluminium global, atau menyumbang sekitar 11,5 juta ton alumina per tahun. Tak pelak, adanya sanksi dari AS tersebut memberikan sentimen akan terancamnya pasokan dunia, kemudian mendongkrak harga aluminium global.

Selain karena sanksi AS, secara fundamental, berkurangnya stok aluminium di China juga menjadi penyokong harga aluminium. Stok aluminium di Negeri Tirai Bambu tercatat menurun 0,18% ke 2,23 juta ton per 4 April lalu. Sementara itu, permintaan aluminium juga diestimasikan masih kuat pada tahun ini, seiring gencarnya proyek infrastruktur di dunia.

Namun, reli harga aluminium hanya bertahan kurang dari dua pekan. Kejayaan aluminium mulai runtuh sejak harganya anjlok 1,9% per 19 April 2018. Sentimen tidak jauh-jauh dari UC Rusal dan AS. Pemerintah negeri Paman Sam memutuskan untuk mengulur pemberlakuan sanksi dari semula pada 5 Juni menjadi 23 Oktober, sehingga memberi waktu bagi mitra Rusal untuk melakukan transaksi.


Hal itu lantas menjadi solusi untuk mereduksi penumpukan persediaan perusahaan yang selama ini disimpan pada gudang UC Rusal. Melansir Reuters, AS bahkan mempertimbangkan akan mencabut sanksi atas UC Rusal, apabila taipan Rusia yang juga dikenai sanksi oleh AS, Oleg Deripaska, bersedia melepas kepemilikannya atas UC Rusal.

Sentimen lainnya bagi pelemahan harga aluminium beberapa akhir datang dari penguatan dolar AS. Hingga kemarin, indeks dolar AS, yang mengukur posisi greenback terhadap enam mata uang dunia, menguat hingga 0,95% dalam sepekan.

Pola yang sama juga ditunjukkan oleh harga nikel. Hingga penutupan perdagangan hari Rabu (25/4), harga nikel sudah terkoreksi 4,7% dalam sepekan. Padahal seminggu lalu, harga logam ini mampu menguat signifikan hingga 6,4%.

Pada awalnya, sanksi AS kepada UC Rusal dikhawatirkan investor akan meluas ke perusahaan produsen nikel asal Rusia, Norilsk Nickel.
Namun, seiring melonggarnya sanksi dari negeri Paman Sam, kekhawatiran tersebut mereda dan menekan harga nikel pekan ini.

Pada penutupan perdagangan kemarin, harga nikel mampu rebound dan menguat 1,16% ke US$14.099,5/ton, setelah melemah selama empat hari berturut-turut. Penguatan harga nikel dipicu oleh Filipina, salah satu produsen nikel terbesar di dunia yang berencana untuk membatasi luasan lahan yang dapat dieksploitasi untuk meningkatkan rehabilitasi lingkungan. Kebijakan itu diperkirakan akan memangkas produksi nikel secara cukup signifikan dari negara tersebut.


TIM RISET CNBC INDONESIA


(prm) Next Article Harga Aluminium Terus Berjaya, Bisa Tahan Berapa Lama?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular