
Prospek Ekonomi Global Suram, Harga Logam Berguguran
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
16 August 2018 12:37

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga logam dasar di London Metal Exchange (LME) berjatuhan pada penutupan perdagangan hari Selasa (15/08/2018). Penyebabnya adalah perkasanya dolar Amerika Serikat (AS), serta prospek pertumbuhan ekonomi yang suram dikhawatirkan akan menekan permintaan logam.
Harga logam yang mengalami penurunan terdalam adalah harga timbal/lead yang jatuh sebesar 7,35% ke US$1.922/Metrik Ton (MT), yang merupakan titik terendahnya sejak September 2016. Sepanjang tahun berjalan (year-to-date/YTD) harga lead sudah jatuh di kisaran 25%.
Kemudian, harga seng (zinc) juga turun 6,41% ke US$2.301,5/MT, berada di urutan kedua komoditas logam yang menurun paling dalam kemarin. Harga zinc lantas menyentuh titik terendahnya sejak Oktober 2016, dan sudah turun lebih dari 30% sejak awal tahun ini.
Di bawah zinc, ada komoditas tembaga yang terkoreksi hingga 4,55% ke US$2,56/pound dan nikel yang amblas 4,30% ke US$12.790,5/MT. Harga tembaga menyentuh titik terendahnya sejak Juni 2017, sementara harga nikel mencatat rekor terburuk sejak Februari 2018.
Terakhir, harga timah/tin tercatat terkoreksi 3,29% ke US$18.430/MT, dan harga aluminium melemah hingga 2,35% ke US$2.015,5/MT. Harga tin mengalami penurunan terdalam sejak Agustus 2015, dan kini menyentuh titik terendah sejak Agustus 2016.
Faktor yang mendorong jatuhnya seluruh harga logam adalah keperkasaan dolar AS akibat gonjang-ganjing di Turki. Dollar Index, yang mencerminkan posisi greenback terhadap 6 mata uang utama dunia, menguat empat hari berturut-turut hingga tanggal 14 Agustus 2018, di mana terakhir ditutup menguat 0,35% ke 96,731.
Sepanjang bulan ini saja, indeks ini sudah menguat Indeks ini sudah menguat di kisaran 2,3%. Sedangkan secara YTD, bahkan sudah naik hingga 5%. Saat mata uang negeri Paman Sam belum berhenti menginjak pedal gas, investor mengkhawatirkan berdampak pada pertumbuhan ekonomi negara berkembang, khususnya akibat meningkatnya kewajiban pembayaran utang luar negeri berdenominasi dolar AS.
Selain itu, apresiasi dolar AS tentu saja akan membuat harga logam dunia yang diperdagangkan dengan mata uang negeri adidaya, akan relatif lebih mahal bagi pemegang mata uang asing. Hal ini tentunya akan menekan permintaan komoditas logam.
Kemudian, sinyal-sinyal lainnya dari prospek ekonomi global yang suram juga mulai bermunculan. Indikator gabungan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), yang mencakup ekonomi maju di negara barat, plus China, India, Rusia, Brasil, Indonesia, dan Afrika Selatan, terus menunjukkan pola penurunan sejak bulan Januari 2018.
Tidak hanya itu, Biro Analisis Kebijakan Ekonomi Belanda juga menyatakan bahwa volume perdagangan global memuncak di bulan Januari 2018, mencapai pertumbuhan sebesar 5,7% secara tahunan (year-on-year/YoY). Namun, kemudian peningkatan itu terpangkas nyari setengah, menjadi hanya 3% YoY pada bulan Mei 2018.
Mulai melambatnya pertumbuhan ekonomi global bahkan sudah tercermin dari buruknya rilis data-data ekonomi teranyar di China. Pertumbuhan penjualan ritel China yang hanya naik sebesar 8,8% YoY pada bulan Juli 2018, turun dari 9% dari bulan sebelumnya serta naik lebih lambat dari ekspektasi pasar sebesar 9,1% YoY.
Pertumbuhan produksi industri Negeri Panda bulan lalu juga hanya naik 6% YoY, lebih rendah dari ekspektasi pasar sebesar 6,3% YoY. Sementara itu, investasi aset tetap di China juga hanya naik 5,5% YoY pada periode Januari-Juli 2018, meleset dari ekspektasi pasar yang meramalkan pertumbuhan sebesar 6% YoY. Sebagai catatan, pertumbuhan investasi aset tetap tersebut masih berada di level terendah sejak 1996, mengutip data Reuters.
Seperti diketahui, pertumbuhan ekonomi global yang melambat tentunya akan memberikan indikasi bahwa permintaan logam dunia juga akan melambat. Hal ini lantas menekan harga seluruh logam dunia pada perdagangan kemarin.
(RHG/hps) Next Article Harga Aluminium Terus Berjaya, Bisa Tahan Berapa Lama?
Harga logam yang mengalami penurunan terdalam adalah harga timbal/lead yang jatuh sebesar 7,35% ke US$1.922/Metrik Ton (MT), yang merupakan titik terendahnya sejak September 2016. Sepanjang tahun berjalan (year-to-date/YTD) harga lead sudah jatuh di kisaran 25%.
Kemudian, harga seng (zinc) juga turun 6,41% ke US$2.301,5/MT, berada di urutan kedua komoditas logam yang menurun paling dalam kemarin. Harga zinc lantas menyentuh titik terendahnya sejak Oktober 2016, dan sudah turun lebih dari 30% sejak awal tahun ini.
Faktor yang mendorong jatuhnya seluruh harga logam adalah keperkasaan dolar AS akibat gonjang-ganjing di Turki. Dollar Index, yang mencerminkan posisi greenback terhadap 6 mata uang utama dunia, menguat empat hari berturut-turut hingga tanggal 14 Agustus 2018, di mana terakhir ditutup menguat 0,35% ke 96,731.
Sepanjang bulan ini saja, indeks ini sudah menguat Indeks ini sudah menguat di kisaran 2,3%. Sedangkan secara YTD, bahkan sudah naik hingga 5%. Saat mata uang negeri Paman Sam belum berhenti menginjak pedal gas, investor mengkhawatirkan berdampak pada pertumbuhan ekonomi negara berkembang, khususnya akibat meningkatnya kewajiban pembayaran utang luar negeri berdenominasi dolar AS.
Selain itu, apresiasi dolar AS tentu saja akan membuat harga logam dunia yang diperdagangkan dengan mata uang negeri adidaya, akan relatif lebih mahal bagi pemegang mata uang asing. Hal ini tentunya akan menekan permintaan komoditas logam.
Kemudian, sinyal-sinyal lainnya dari prospek ekonomi global yang suram juga mulai bermunculan. Indikator gabungan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), yang mencakup ekonomi maju di negara barat, plus China, India, Rusia, Brasil, Indonesia, dan Afrika Selatan, terus menunjukkan pola penurunan sejak bulan Januari 2018.
Tidak hanya itu, Biro Analisis Kebijakan Ekonomi Belanda juga menyatakan bahwa volume perdagangan global memuncak di bulan Januari 2018, mencapai pertumbuhan sebesar 5,7% secara tahunan (year-on-year/YoY). Namun, kemudian peningkatan itu terpangkas nyari setengah, menjadi hanya 3% YoY pada bulan Mei 2018.
Mulai melambatnya pertumbuhan ekonomi global bahkan sudah tercermin dari buruknya rilis data-data ekonomi teranyar di China. Pertumbuhan penjualan ritel China yang hanya naik sebesar 8,8% YoY pada bulan Juli 2018, turun dari 9% dari bulan sebelumnya serta naik lebih lambat dari ekspektasi pasar sebesar 9,1% YoY.
Pertumbuhan produksi industri Negeri Panda bulan lalu juga hanya naik 6% YoY, lebih rendah dari ekspektasi pasar sebesar 6,3% YoY. Sementara itu, investasi aset tetap di China juga hanya naik 5,5% YoY pada periode Januari-Juli 2018, meleset dari ekspektasi pasar yang meramalkan pertumbuhan sebesar 6% YoY. Sebagai catatan, pertumbuhan investasi aset tetap tersebut masih berada di level terendah sejak 1996, mengutip data Reuters.
Seperti diketahui, pertumbuhan ekonomi global yang melambat tentunya akan memberikan indikasi bahwa permintaan logam dunia juga akan melambat. Hal ini lantas menekan harga seluruh logam dunia pada perdagangan kemarin.
(RHG/hps) Next Article Harga Aluminium Terus Berjaya, Bisa Tahan Berapa Lama?
Most Popular