Peso Rontok, Ada Apa dengan Argentina?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
30 August 2018 16:02
Peso Rontok, Ada Apa dengan Argentina?
Ilustrasi Masyarakat Argentina (REUTERS/Kai Pfaffenbach)
Jakarta, CNBC Indonesia - Malang nian nasib Argentina. Negara yang melahirkan pesepakbola jempolan mulai dari Alfredo di Stefano sampai Lionel Messi ini mengalami masalah ekonomi yang lumayan parah. Tidak bisa mengelak lagi, Negeri Tango kini bersiap menjadi pasien Dana Moneter Internasional (IMF). 

Kemarin, mata uang peso Argentina melemah 7,84%. Ini merupakan pelemahan harian terdalam sejak 2015. Sejak awal tahun, mata uang ini sudah melemah 40,9%, terdalam di antara berbagai mata uang dunia. 

 

Untuk melawan pelemahan peso, Bank Sentral Argentina (BCRA) bukannya tanpa usaha. Salah satunya adalah dengan menggunakan cadangan devisa. 

Per akhir Juli 2018, cadangan devisa Argentina tercatat US$57,93 miliar, turun 7,13% dibandingkan posisi awal tahun. 

 

Tidak hanya menguras cadangan devisa, BCRA pun menaikkan suku bunga acuan dengan sangat agresif. Saat ini, suku bunga acuan di Argentina mencapai 45%! Naik tajam dibandingkan awal tahun yang 'hanya' 27,25%. 

Sebagai perbandingan, suku bunga acuan di Turki jauh lebih rendah, yaitu 17,75%. Padahal kedua negara mengalami masalah yang hampir sama, yaitu depresiasi kurs yang sangat tajam. 

 

Meski suku bunga acuan sudah dinaikkan begitu rupa, tetapi arus modal tak kunjung mau hinggap ke Argentina. Salah satu indikatornya adalah kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah. 

Saat ini, yield obligasi pemerintah Argentina seri acuan tenor 10 tahun berada di 5,96%. Melonjak 267 basis poin (bps) dibandingkan posisi setahun sebelumnya.


Tanpa sokongan arus modal yang memadai, mata uang peso tak berdaya. Sebab, seperti halnya Indonesia, Argentina mengalami masalah defisit di transaksi berjalan (current account). 

Pada akhir kuartal I-2018, transaksi berjalan Argentina membukukan defisit 6,35% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih dalam ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 4,92% PDB. 

Bagi Argentina, pelemahan kurs bukan kabar baik karena negara ini berstatus net importir. Pada Juli 2018, neraca perdagangan Argentina mencatatkan defisit US$0,79 miliar. Lebih dalam ketimbang bulan sebelumnya yang sebesar US$0,38 miliar maupun periode yang sama pada 2017 yaitu US$0,75 miliar. 



Pelemahan kurs sejatinya adalah puncak dari gunung es dari masalah ekonomi yang melanda Argentina. Dari sisi fiskal, Argentina tengah menjalani periode berat karena masa transisi yang agak ekstrem. 

Sejak 2002, Argentina mematok harga komoditas energi. Selain itu, pemerintah juga memberikan berbagai subsidi dan jaring pengaman sosial. Berbagai fasilitas itu memakan hampir setengah dari anggaran negara di Argentina. 

Setelah Mauricio Macri terpilih jadi presiden pada 2015, dia mengubah pola tersebut. Eks Presiden Boca Juniors, klub sepakbola papan atas Argentina, itu membuat anggaran negara lebih pro pasar. 

Hasilnya mulai terlihat, defisit anggaran Argentina terus menurun, pertanda fiskal yang lebih sehat. Tahun lalu, defisit anggaran Argentina adalah 3,9% PDB. Turun dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 4,6% PDB. 

 

Namun, pengurangan subsidi berarti rakyat harus membayar lebih mahal. Kebijakan ini menyebabkan laju inflasi melesat. 

Pada Juli 2018, inflasi di Argentina mencapai 31,2% year-on-year (YoY). Terakselerasi dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 29,5% YoY. 

Inflasi yang melesat ini sedikit banyak berkontribusi terhadap depresiasi mata uang peso. Ketika inflasi tinggi, maka nilai mata uang semakin turun. Tidak heran bahwa setiap kali inflasi tinggi pasti diiringi dengan depresiasi kurs. 


Masalah lain yang dihadapi Argentina adalah penurunan kinerja ekspor. Argentina, lagi-lagi seperti Indonesia, masih mengandalkan komoditas sebagai andalan ekspor. Celakanya, harga komoditas tahun ini sedang jeblok. 

Komoditas andalan ekspor Argentina antara lain adalah kedelai. Sejak awal tahun, harga kedelai dunia turun 16,79%. 

[Gambas:Video CNBC]
Tidak hanya dihantam dari sisi harga, produksi kedelai Argentina pun anjlok karena kekeringan. Mengutip data Kementerian Pertanian AS, produksi kedelai Argentina tahun ini diperkirakan sebesar 1,4 miliar ton. Turun 31% dibandingkan 2017 dan menjadi tingkat produksi terendah dalam 10 tahun. 

Berbagai derita domestik itu diperparah dengan dolar AS yang tahun ini memang menggila. Dolar AS menjadi raja mata uang, menguat terhadap berbagai mata uang dunia. 

Tanpa sokongan domestik yang kuat, peso pun tiarap. Argentina tidak punya pilihan selain memanggil IMF. Argentina memang telah menyepakati fasilitas pinjaman IMF sebesar US$50 miliar, dan sepertinya akan dipakai dalam waktu dekat. 

Namun, masuknya IMF bukan tanpa komplikasi. Argentina, sepeti pasien-pasien IMF lainnya, harus menyepakati berbagai resep dari lembaga multilateral tersebut. Salah satu resep IMF yang paling terkenal adalah penghematan anggaran dengan memangkas subsidi.




"Kami akan membantu IMF dengan berbagai hal yang diperlukan dari sisi fiskal," kata Presiden Macri. Hal ini langsung memantik amarah rakyat.

Confederacion General del Trabajo (CGT), serikat pekerja terbesar di Argentina, berencana menggelar mogok kerja massal selama sehari penuh pada 25 September untuk menolak program pengetatan ikat pinggang dari pemerintah. Serikat pekerja lainnya juga mengancam melakukan mogok kerja selama 36 jam pada 24 September. 

Argentina memang tengah menjalani periode pelik. Namun dalam situasi seperti ini, Argentina mungkin bisa menerapkan pepatah lama. Dalam periode yang buruk, biasanya akan lahir kebijakan-kebijakan bagus. Bad times make good policies. Semoga...  


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular