
Terendah Sejak 2011, Realistiskah Target Defisit APBN 2019?
Alfado Agustio & Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
17 August 2018 05:50
Pendapatan negara ditargetkan meningkat 12,58% YoY pada tahun 2019. Peningkatan sebesar ini sebenarnya masih tercatat lebih rendah dari pertumbuhan pendapatan negara di outlook APBN 2018 yang mencapai 14,20% YoY. Namun, pemerintah bisa dibilang cukup optimis mengingat pertumbuhan pendapatan tahun 2019 merupakan salah satu yang tertinggi dalam beberapa tahun terakhir.
Optimisme pemerintah didasari pada penerimaan pajak yang diperkirakan tumbuh 15% YoY pada tahun 2019, didukung oleh program penguatan basis data perpajakan, pelayanan perpajakan, dan pengawasan kepatuhan perpajakan. Selain itu, peluang lainnya bagi penerimaan perpajakan juga datang dari kesepakatan Automatic Exchange of Information (AEoI).
Seiring dengan kesepakatan AEoI tersebut, pemerintah dan DPR mengesahkan UU Keterbukaan untuk Kepentingan Perpajakan. Sehingga, wajib pajak kini tidak dapat lagi menyembunyikan informasi kekayaannya di luar negeri. Hingga 2017, Dirjen Pajak (DJP) telah memiliki kewenangan pertukaran data keuangan dengan 50 negara lain. Di 2018, jumlah tersebut bertambah sampai 50 negara lainnya, sehingga terdapat total 100 negara mitra yang memiliki perjanjian pertukaran data. Sebagai tambahan, naiknya harga komoditas juga menjadi berkah tersendiri bagi naiknya penerimaan kepabeanan dan cukai serta, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sumber Daya Alam.
Kenaikan cukai rokok di tahun depan, apabila terealisasi, juga diperkirakan akan mengerek penerimaan negara lebih jauh. Penerimaan pajak yang lebih pesat juga didukung oleh UU PNBP yang baru. Hasil amendemen UU No. 20/1997 tentang PNBP memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk mengubah tarif. Padahal, dalam UU yang masih berlaku saat ini, perubahan tarif merupakan usulan dari instansi atau kementerian teknis terkait.
Selain itu, perubahan tarif PNBP juga bakal lebih fleksibel karena tak lagi harus diatur dalam UU atau peraturan pemerintah. Penentuan tarif cukup diatur melalui peraturan menteri. Menkeu juga nantinya berwenang untuk menentukan target PNBP, menetapkan penggunaan dana PNBP, hingga meminta instansi pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan terhadap instansi PNBP, wajib bayar atau mitra instansi pengelola PNBP. Lalu, apa tantangan yang menghadang penerimaan negara?
Pertama, harga komoditas yang bergejolak di tahun depan. Misalnya saja, harga batu bara saat ini memang sedang tinggi, dipicu oleh cuaca panas ekstrim yang melanda Belahan Bumi Utara (BBU). Akibatnya, permintaan komoditas batu bara untuk pembangkit listrik pun melambung, demi memenuhi kebutuhan listrik untuk pendingin ruangan. Namun, musim panas berlalu, harga batu bara bisa menjadi kembali tertekan. Terlebih, prospek perekonomian global diproyeksikan akan lesu ke depannya, akibat berkecamuknya perang dagang AS dan sejumlah negara. Saat pertumbuhan ekonomi dunia melambat, dipastikan permintaan komoditas energi seperti batu bara pun lesu. Hal ini berpeluang mengurangi penerimaan negara dari sektor pertambangan. Dari sektor agrikultur, harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) juga masih tertekan di tahun ini. Sepenjang tahun berjalan ini (year-to-date/YTD), harga CPO sudah anjlok 11,23% hingga perdagangan hari ini. Apabila performa harga CPO masih belum membaik di tahun depan, tentunya hal ini juga akan membebani pendapatan negara.
Kedua, pemangkasan tarif pajak penghasilan (PPh) final UMKM dari 1% menjadi 0,5%, melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2018. Di satu sisi, kebijakan ini mampu mendorong UMKM untuk melakukan ekspansi usahanya, namun di sisi lain akan mengurangi penerimaan negara dari sektor perpajakan. Meskipun mungkin skala pengurangannya relatif tidak terlalu besar, namun tetap saja regulasi baru ini akan menekan penerimaan negara.
Ketiga, potensi pengurangan pajak saat investasi yang menerima fasilitas tax holiday dan tax allowance berjalan. Memang, di sisi lain ada efek berganda dari penanaman modal yang lebih masif, namun potensi hilangnya penerimaan pajak juga cukup besar. Seperti diketahui, melalui PMK No. 35 tahun 2018 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan yang diterbitkan pada 4 April 2018, pemerintah memperluas cakupan industri pionir penerima fasilitas tax holiday, dari semula 8 industri menjadi 17 industri.
Besaran tax holiday pun berubah menjadi 100% untuk semua nilai investasi (hanya dibedakan jadi beberapa layer lama pemberian fasilitas), dari peraturan lama diberikan dalam rentang 10-100% tergantung seberapa besar nilai investasi. Bahkan, teranyar, Presiden Jokowi meminta Kementerian Keuangan mengkaji fasilitas tax holiday hingga setengah abad. Semakin besar fasilitas pajak yang diberikan, tentu saja hal ini akan menghambat penerimaan negara, sehingga target defisit anggaran tahun depan bisa saja tidak tercapai. (RHG/dru)
Optimisme pemerintah didasari pada penerimaan pajak yang diperkirakan tumbuh 15% YoY pada tahun 2019, didukung oleh program penguatan basis data perpajakan, pelayanan perpajakan, dan pengawasan kepatuhan perpajakan. Selain itu, peluang lainnya bagi penerimaan perpajakan juga datang dari kesepakatan Automatic Exchange of Information (AEoI).
Kenaikan cukai rokok di tahun depan, apabila terealisasi, juga diperkirakan akan mengerek penerimaan negara lebih jauh. Penerimaan pajak yang lebih pesat juga didukung oleh UU PNBP yang baru. Hasil amendemen UU No. 20/1997 tentang PNBP memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk mengubah tarif. Padahal, dalam UU yang masih berlaku saat ini, perubahan tarif merupakan usulan dari instansi atau kementerian teknis terkait.
Selain itu, perubahan tarif PNBP juga bakal lebih fleksibel karena tak lagi harus diatur dalam UU atau peraturan pemerintah. Penentuan tarif cukup diatur melalui peraturan menteri. Menkeu juga nantinya berwenang untuk menentukan target PNBP, menetapkan penggunaan dana PNBP, hingga meminta instansi pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan terhadap instansi PNBP, wajib bayar atau mitra instansi pengelola PNBP. Lalu, apa tantangan yang menghadang penerimaan negara?
Pertama, harga komoditas yang bergejolak di tahun depan. Misalnya saja, harga batu bara saat ini memang sedang tinggi, dipicu oleh cuaca panas ekstrim yang melanda Belahan Bumi Utara (BBU). Akibatnya, permintaan komoditas batu bara untuk pembangkit listrik pun melambung, demi memenuhi kebutuhan listrik untuk pendingin ruangan. Namun, musim panas berlalu, harga batu bara bisa menjadi kembali tertekan. Terlebih, prospek perekonomian global diproyeksikan akan lesu ke depannya, akibat berkecamuknya perang dagang AS dan sejumlah negara. Saat pertumbuhan ekonomi dunia melambat, dipastikan permintaan komoditas energi seperti batu bara pun lesu. Hal ini berpeluang mengurangi penerimaan negara dari sektor pertambangan. Dari sektor agrikultur, harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) juga masih tertekan di tahun ini. Sepenjang tahun berjalan ini (year-to-date/YTD), harga CPO sudah anjlok 11,23% hingga perdagangan hari ini. Apabila performa harga CPO masih belum membaik di tahun depan, tentunya hal ini juga akan membebani pendapatan negara.
Kedua, pemangkasan tarif pajak penghasilan (PPh) final UMKM dari 1% menjadi 0,5%, melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2018. Di satu sisi, kebijakan ini mampu mendorong UMKM untuk melakukan ekspansi usahanya, namun di sisi lain akan mengurangi penerimaan negara dari sektor perpajakan. Meskipun mungkin skala pengurangannya relatif tidak terlalu besar, namun tetap saja regulasi baru ini akan menekan penerimaan negara.
Ketiga, potensi pengurangan pajak saat investasi yang menerima fasilitas tax holiday dan tax allowance berjalan. Memang, di sisi lain ada efek berganda dari penanaman modal yang lebih masif, namun potensi hilangnya penerimaan pajak juga cukup besar. Seperti diketahui, melalui PMK No. 35 tahun 2018 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan yang diterbitkan pada 4 April 2018, pemerintah memperluas cakupan industri pionir penerima fasilitas tax holiday, dari semula 8 industri menjadi 17 industri.
Besaran tax holiday pun berubah menjadi 100% untuk semua nilai investasi (hanya dibedakan jadi beberapa layer lama pemberian fasilitas), dari peraturan lama diberikan dalam rentang 10-100% tergantung seberapa besar nilai investasi. Bahkan, teranyar, Presiden Jokowi meminta Kementerian Keuangan mengkaji fasilitas tax holiday hingga setengah abad. Semakin besar fasilitas pajak yang diberikan, tentu saja hal ini akan menghambat penerimaan negara, sehingga target defisit anggaran tahun depan bisa saja tidak tercapai. (RHG/dru)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular