
Terendah Sejak 2011, Realistiskah Target Defisit APBN 2019?
Alfado Agustio & Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
17 August 2018 05:50

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019. Salah satu hal yang menarik untuk digarisbawahi adalah postur RAPBN 2019 tersebut.
Untuk tahun depan, pemerintah memperkirakan pendapatan negara meningkat 12,58% dari outlook APBN 2018 menjadi Rp2.142,5 triliun. Sementara, belanja negara diekspektasikan tumbuh 10,03% dari outlook APBN 2018 menjadi Rp2.439,7 triliun. Dengan demikian defisit anggaran pemerintah di tahun politik mencapai Rp297,2 triliun, atau sekitar 1,84% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Apabila ditarik secara historis, perkiraan defisit anggaran pemerintah pada tahun 2019 merupakan yang terendah dalam 8 tahun terakhir, atau sejak tahun 2011 yang sebesar 1,1% PDB. Artinya, jika target defisit anggaran sebesar 1,84% PDB di tahun politik dapat tercapai, itu merupakan pencapaian terbaik pemerintahan Jokowi di bidang anggaran.
Lalu, realistiskah target defisit yang dipatok pemerintah tersebut?
(NEXT)
Pertama, mari kita tinjau dari sisi belanja yang diekspektasikan meningkat 10,03% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada tahun depan.
Peningkatan sebesar ini sebenarnya masih tercatat lebih rendah dari pertumbuhan belanja negara di outlook APBN 2018 yang mencapai 10,46% YoY. Namun, pertumbuhan belanja tahun 2019 merupakan salah satu yang tertinggi setidaknya dalam 6 tahun terakhir.
Dari dua komponen utama pembentuk belanja negara, belanja pemerintah pusat 2019 diekspektasikan meningkat 10,6% dari outlook 2018 menjadi Rp1.607,3 triliun, sedangkan transfer ke daerah dan dana desa juga melambung 9% ke Rp832,3 triliun.
Pada pos belanja pemerintah pusat, uniknya peningkatan yang pesat terjadi pada belanja non-Kementerian/Lembaga (K/L) sebesar 19,82% YoY ke angka Rp767,1 triliun pada tahun politik. Di sisi lain, belanja K/L hanya naik tipis saja 3,29% YoY ke angka Rp840,3 triliun di periode yang sama. Meski tidak disebutkan jumlahnya secara detail dalam paparan RAPBN 2019, namun kemungkinan besar peningkatan signifikan pada belanja non-K/L dipicu oleh membengkaknya bunga utang.
Pasalnya, subsidi pada tahun politik diekspektasikan menurun sebesar 3,16% YoY ke angka Rp220,9 triliun pada tahun 2019. Naiknya bunga utang nampaknya dipicu oleh membesarnya asumsi nilai tukar rupiah di angka Rp14.400/US$ pada tahun depan, naik Rp1.000/US$ daripada asumsi makro tahun 2018. Kemudian, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, pada tahun 2019 memang banyak utang jatuh tempo. Menurut, data Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), posisi utang jatuh tempo tahun depan mencapai Rp348 triliun, salah satu yang terbesar sampai 2040.
Nilai tukar rupiah lantas akan jadi penentu di tahun depan. Apabila, realisasi rupiah ternyata lebih lemah dari asumsi Rp14.400/US$, sudah pasti pos bunga utang pun justru makin membengkak. Oleh karena itu, stabilitas nilai tukar menjadi penting untuk mencegah bengkaknya defisit anggaran.
Di sisi lain, pos subsidi yang turun dari outlook 2018, sebenarnya menjadi peluang bagus untuk mempertahankan target defisit yang rendah. Subsidi energi di tahun 2019 diperkirakan turun sebesar 4,28% YoY menjadi Rp156,5 triliun, sedangkan subsidi non-energi juga turun 0,62% YoY ke Rp64,3 triliun di periode yang sama.
Pemerintah nampaknya cukup optimis dapat menjaga subsidi lebih berkelanjutan melalui beberapa program, khususnya untuk subsidi energi, di antaranya perbaikan penyaluran subsidi BBM dan LPG yang tepat sasaran, subsidi listrik tepat sasaran untuk pelanggan 450 VA dan 900 VA, dan peningkatan rasio elektrifikasi serta penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT). Meski demikian, pos subsidi energi akan mendapat tantangan besar dari potensi meningkatnya harga minyak.
Asumsi makro yang digunakan pada RAPBN 2019 adalah harga minyak sebesar US$70/barel, namun harga minyak global masih berpotensi naik di atas angka tersebut. Sanksi minyak Amerika Serikat (AS) terhadap Iran bahkan diprediksi mampu membuat harga minyak global melompat ke angka US$90/barel di akhir tahun ini. Harga minyak global memang tidak bisa dikontrol oleh pemerintah. Pemerintah hanya bisa mengendalikan dari sisi kebijakan.
Sejauh ini, stance Presiden Jokowi adalah menahan harga premium dan solar hingga 2019, kebijakan BBM satu harga, dan penyaluran kembali premium di Jawa, Madura, dan Bali. Kebijakan seperti itu tentunya dapat menjadi bumerang bagi anggaran pemerintah, di kala harga minyak terus menanjak dengan pesat. Wacana menambah subsidi solar menjadi Rp2.500/liter (saat ini Rp2.000/liter) bisa saja jadi kenyataan. Pada akhirnya, cita-cita defisit anggaran di bawah 2% akan sulit dicapai. Dalam rangka menyelamatkan rupiah yang terus anjlok, pemerintah berikhtiar untuk menahan impor barang modal. Hal ini sesuai dengan instruksi Presiden Jokowi beberapa waktu lalu agar proyek-proyek infrastruktur non-strategis ditunda. Dampak dari ikhtiar ini sebenarnya sudah terasa di realisasi APBN per akhir Juli 2018. Pos belanja modal pemerintah tercatat menurun sebesar 7,36% YoY, dan menjadi satu-satunya pos belanja pemerintah yang mengalami kontraksi.
Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, belanja modal pemerintah masih mampu tumbuh signifikan sebesar 18,7% YoY. Aksi penyelamatan rupiah ini nampaknya akan berlanjut ke tahun depan. Hal ini terindikasikan dari target pembangunan/rekonstruksi maupun pelebaran jalan yang sebesar 2.007 Km di tahun 2019. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan outlook di 2018 sebesar 2.217,3 Km.
Sementara untuk pembangunan dan rehabilitasi jembatan juga turun menjadi 26.702 m atau lebih rendah dibandingkan tahun 2018 yang sebesar 52.449,1 m. Hal yang sama juga berlaku untuk pembangunan jalan tol. Pemerintah menetapkan target pembangunan sebesar 272 Km atau lebih rendah dibandingkan 2018 yang mencapai 428 Km.
Selain itu, untuk infrastruktur berbasis rel, pemerintah juga ikut mengerem pembangunan. Di tahun 2019, pemerintah menargetkan hanya membangun rel Kereta Api (KA) sepanjang 415,2 Km. Angka ini turun jauh dibandingkan target di tahun 2018 yang sebesar 615,1 Km. Rencana ini sepertinya cukup jitu untuk mengurangi beban bagi mata uang Tanah Air.
Pasalnya, dalam pembangunan infrastruktur membutuhkan bahan baku yang mayoritas masih dipenuhi oleh impor di antaranya mesin, peralatan listrik, besi dan baja. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Juli 2018, Sepanjang Januari-Juli 2018 impor bahan-bahan baku tersebut merupakan tiga terbesar di sektor non-migas. Alhasil, dengan pengurangan pembangunan infrastruktur akan berdampak kepada nilai impor yang menurun. Kondisi ini lantas diharapkan dapat menyelamatkan rupiah, sekaligus menghemat anggaran pemerintah.
Pendapatan negara ditargetkan meningkat 12,58% YoY pada tahun 2019. Peningkatan sebesar ini sebenarnya masih tercatat lebih rendah dari pertumbuhan pendapatan negara di outlook APBN 2018 yang mencapai 14,20% YoY. Namun, pemerintah bisa dibilang cukup optimis mengingat pertumbuhan pendapatan tahun 2019 merupakan salah satu yang tertinggi dalam beberapa tahun terakhir.
Optimisme pemerintah didasari pada penerimaan pajak yang diperkirakan tumbuh 15% YoY pada tahun 2019, didukung oleh program penguatan basis data perpajakan, pelayanan perpajakan, dan pengawasan kepatuhan perpajakan. Selain itu, peluang lainnya bagi penerimaan perpajakan juga datang dari kesepakatan Automatic Exchange of Information (AEoI).
Seiring dengan kesepakatan AEoI tersebut, pemerintah dan DPR mengesahkan UU Keterbukaan untuk Kepentingan Perpajakan. Sehingga, wajib pajak kini tidak dapat lagi menyembunyikan informasi kekayaannya di luar negeri. Hingga 2017, Dirjen Pajak (DJP) telah memiliki kewenangan pertukaran data keuangan dengan 50 negara lain. Di 2018, jumlah tersebut bertambah sampai 50 negara lainnya, sehingga terdapat total 100 negara mitra yang memiliki perjanjian pertukaran data. Sebagai tambahan, naiknya harga komoditas juga menjadi berkah tersendiri bagi naiknya penerimaan kepabeanan dan cukai serta, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sumber Daya Alam.
Kenaikan cukai rokok di tahun depan, apabila terealisasi, juga diperkirakan akan mengerek penerimaan negara lebih jauh. Penerimaan pajak yang lebih pesat juga didukung oleh UU PNBP yang baru. Hasil amendemen UU No. 20/1997 tentang PNBP memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk mengubah tarif. Padahal, dalam UU yang masih berlaku saat ini, perubahan tarif merupakan usulan dari instansi atau kementerian teknis terkait.
Selain itu, perubahan tarif PNBP juga bakal lebih fleksibel karena tak lagi harus diatur dalam UU atau peraturan pemerintah. Penentuan tarif cukup diatur melalui peraturan menteri. Menkeu juga nantinya berwenang untuk menentukan target PNBP, menetapkan penggunaan dana PNBP, hingga meminta instansi pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan terhadap instansi PNBP, wajib bayar atau mitra instansi pengelola PNBP. Lalu, apa tantangan yang menghadang penerimaan negara?
Pertama, harga komoditas yang bergejolak di tahun depan. Misalnya saja, harga batu bara saat ini memang sedang tinggi, dipicu oleh cuaca panas ekstrim yang melanda Belahan Bumi Utara (BBU). Akibatnya, permintaan komoditas batu bara untuk pembangkit listrik pun melambung, demi memenuhi kebutuhan listrik untuk pendingin ruangan. Namun, musim panas berlalu, harga batu bara bisa menjadi kembali tertekan. Terlebih, prospek perekonomian global diproyeksikan akan lesu ke depannya, akibat berkecamuknya perang dagang AS dan sejumlah negara. Saat pertumbuhan ekonomi dunia melambat, dipastikan permintaan komoditas energi seperti batu bara pun lesu. Hal ini berpeluang mengurangi penerimaan negara dari sektor pertambangan. Dari sektor agrikultur, harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) juga masih tertekan di tahun ini. Sepenjang tahun berjalan ini (year-to-date/YTD), harga CPO sudah anjlok 11,23% hingga perdagangan hari ini. Apabila performa harga CPO masih belum membaik di tahun depan, tentunya hal ini juga akan membebani pendapatan negara.
Kedua, pemangkasan tarif pajak penghasilan (PPh) final UMKM dari 1% menjadi 0,5%, melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2018. Di satu sisi, kebijakan ini mampu mendorong UMKM untuk melakukan ekspansi usahanya, namun di sisi lain akan mengurangi penerimaan negara dari sektor perpajakan. Meskipun mungkin skala pengurangannya relatif tidak terlalu besar, namun tetap saja regulasi baru ini akan menekan penerimaan negara.
Ketiga, potensi pengurangan pajak saat investasi yang menerima fasilitas tax holiday dan tax allowance berjalan. Memang, di sisi lain ada efek berganda dari penanaman modal yang lebih masif, namun potensi hilangnya penerimaan pajak juga cukup besar. Seperti diketahui, melalui PMK No. 35 tahun 2018 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan yang diterbitkan pada 4 April 2018, pemerintah memperluas cakupan industri pionir penerima fasilitas tax holiday, dari semula 8 industri menjadi 17 industri.
Besaran tax holiday pun berubah menjadi 100% untuk semua nilai investasi (hanya dibedakan jadi beberapa layer lama pemberian fasilitas), dari peraturan lama diberikan dalam rentang 10-100% tergantung seberapa besar nilai investasi. Bahkan, teranyar, Presiden Jokowi meminta Kementerian Keuangan mengkaji fasilitas tax holiday hingga setengah abad. Semakin besar fasilitas pajak yang diberikan, tentu saja hal ini akan menghambat penerimaan negara, sehingga target defisit anggaran tahun depan bisa saja tidak tercapai.
(RHG/dru) Next Article 12 Hari Jelang Tutup Tahun, Belanja Negara Baru Capai 84%
Untuk tahun depan, pemerintah memperkirakan pendapatan negara meningkat 12,58% dari outlook APBN 2018 menjadi Rp2.142,5 triliun. Sementara, belanja negara diekspektasikan tumbuh 10,03% dari outlook APBN 2018 menjadi Rp2.439,7 triliun. Dengan demikian defisit anggaran pemerintah di tahun politik mencapai Rp297,2 triliun, atau sekitar 1,84% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Apabila ditarik secara historis, perkiraan defisit anggaran pemerintah pada tahun 2019 merupakan yang terendah dalam 8 tahun terakhir, atau sejak tahun 2011 yang sebesar 1,1% PDB. Artinya, jika target defisit anggaran sebesar 1,84% PDB di tahun politik dapat tercapai, itu merupakan pencapaian terbaik pemerintahan Jokowi di bidang anggaran.
Lalu, realistiskah target defisit yang dipatok pemerintah tersebut?
(NEXT)
Pertama, mari kita tinjau dari sisi belanja yang diekspektasikan meningkat 10,03% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada tahun depan.
Peningkatan sebesar ini sebenarnya masih tercatat lebih rendah dari pertumbuhan belanja negara di outlook APBN 2018 yang mencapai 10,46% YoY. Namun, pertumbuhan belanja tahun 2019 merupakan salah satu yang tertinggi setidaknya dalam 6 tahun terakhir.
Dari dua komponen utama pembentuk belanja negara, belanja pemerintah pusat 2019 diekspektasikan meningkat 10,6% dari outlook 2018 menjadi Rp1.607,3 triliun, sedangkan transfer ke daerah dan dana desa juga melambung 9% ke Rp832,3 triliun.
Pada pos belanja pemerintah pusat, uniknya peningkatan yang pesat terjadi pada belanja non-Kementerian/Lembaga (K/L) sebesar 19,82% YoY ke angka Rp767,1 triliun pada tahun politik. Di sisi lain, belanja K/L hanya naik tipis saja 3,29% YoY ke angka Rp840,3 triliun di periode yang sama. Meski tidak disebutkan jumlahnya secara detail dalam paparan RAPBN 2019, namun kemungkinan besar peningkatan signifikan pada belanja non-K/L dipicu oleh membengkaknya bunga utang.
Pasalnya, subsidi pada tahun politik diekspektasikan menurun sebesar 3,16% YoY ke angka Rp220,9 triliun pada tahun 2019. Naiknya bunga utang nampaknya dipicu oleh membesarnya asumsi nilai tukar rupiah di angka Rp14.400/US$ pada tahun depan, naik Rp1.000/US$ daripada asumsi makro tahun 2018. Kemudian, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, pada tahun 2019 memang banyak utang jatuh tempo. Menurut, data Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), posisi utang jatuh tempo tahun depan mencapai Rp348 triliun, salah satu yang terbesar sampai 2040.
Nilai tukar rupiah lantas akan jadi penentu di tahun depan. Apabila, realisasi rupiah ternyata lebih lemah dari asumsi Rp14.400/US$, sudah pasti pos bunga utang pun justru makin membengkak. Oleh karena itu, stabilitas nilai tukar menjadi penting untuk mencegah bengkaknya defisit anggaran.
Di sisi lain, pos subsidi yang turun dari outlook 2018, sebenarnya menjadi peluang bagus untuk mempertahankan target defisit yang rendah. Subsidi energi di tahun 2019 diperkirakan turun sebesar 4,28% YoY menjadi Rp156,5 triliun, sedangkan subsidi non-energi juga turun 0,62% YoY ke Rp64,3 triliun di periode yang sama.
Pemerintah nampaknya cukup optimis dapat menjaga subsidi lebih berkelanjutan melalui beberapa program, khususnya untuk subsidi energi, di antaranya perbaikan penyaluran subsidi BBM dan LPG yang tepat sasaran, subsidi listrik tepat sasaran untuk pelanggan 450 VA dan 900 VA, dan peningkatan rasio elektrifikasi serta penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT). Meski demikian, pos subsidi energi akan mendapat tantangan besar dari potensi meningkatnya harga minyak.
Asumsi makro yang digunakan pada RAPBN 2019 adalah harga minyak sebesar US$70/barel, namun harga minyak global masih berpotensi naik di atas angka tersebut. Sanksi minyak Amerika Serikat (AS) terhadap Iran bahkan diprediksi mampu membuat harga minyak global melompat ke angka US$90/barel di akhir tahun ini. Harga minyak global memang tidak bisa dikontrol oleh pemerintah. Pemerintah hanya bisa mengendalikan dari sisi kebijakan.
Sejauh ini, stance Presiden Jokowi adalah menahan harga premium dan solar hingga 2019, kebijakan BBM satu harga, dan penyaluran kembali premium di Jawa, Madura, dan Bali. Kebijakan seperti itu tentunya dapat menjadi bumerang bagi anggaran pemerintah, di kala harga minyak terus menanjak dengan pesat. Wacana menambah subsidi solar menjadi Rp2.500/liter (saat ini Rp2.000/liter) bisa saja jadi kenyataan. Pada akhirnya, cita-cita defisit anggaran di bawah 2% akan sulit dicapai. Dalam rangka menyelamatkan rupiah yang terus anjlok, pemerintah berikhtiar untuk menahan impor barang modal. Hal ini sesuai dengan instruksi Presiden Jokowi beberapa waktu lalu agar proyek-proyek infrastruktur non-strategis ditunda. Dampak dari ikhtiar ini sebenarnya sudah terasa di realisasi APBN per akhir Juli 2018. Pos belanja modal pemerintah tercatat menurun sebesar 7,36% YoY, dan menjadi satu-satunya pos belanja pemerintah yang mengalami kontraksi.
Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, belanja modal pemerintah masih mampu tumbuh signifikan sebesar 18,7% YoY. Aksi penyelamatan rupiah ini nampaknya akan berlanjut ke tahun depan. Hal ini terindikasikan dari target pembangunan/rekonstruksi maupun pelebaran jalan yang sebesar 2.007 Km di tahun 2019. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan outlook di 2018 sebesar 2.217,3 Km.
Sementara untuk pembangunan dan rehabilitasi jembatan juga turun menjadi 26.702 m atau lebih rendah dibandingkan tahun 2018 yang sebesar 52.449,1 m. Hal yang sama juga berlaku untuk pembangunan jalan tol. Pemerintah menetapkan target pembangunan sebesar 272 Km atau lebih rendah dibandingkan 2018 yang mencapai 428 Km.
Selain itu, untuk infrastruktur berbasis rel, pemerintah juga ikut mengerem pembangunan. Di tahun 2019, pemerintah menargetkan hanya membangun rel Kereta Api (KA) sepanjang 415,2 Km. Angka ini turun jauh dibandingkan target di tahun 2018 yang sebesar 615,1 Km. Rencana ini sepertinya cukup jitu untuk mengurangi beban bagi mata uang Tanah Air.
Pasalnya, dalam pembangunan infrastruktur membutuhkan bahan baku yang mayoritas masih dipenuhi oleh impor di antaranya mesin, peralatan listrik, besi dan baja. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Juli 2018, Sepanjang Januari-Juli 2018 impor bahan-bahan baku tersebut merupakan tiga terbesar di sektor non-migas. Alhasil, dengan pengurangan pembangunan infrastruktur akan berdampak kepada nilai impor yang menurun. Kondisi ini lantas diharapkan dapat menyelamatkan rupiah, sekaligus menghemat anggaran pemerintah.
Pendapatan negara ditargetkan meningkat 12,58% YoY pada tahun 2019. Peningkatan sebesar ini sebenarnya masih tercatat lebih rendah dari pertumbuhan pendapatan negara di outlook APBN 2018 yang mencapai 14,20% YoY. Namun, pemerintah bisa dibilang cukup optimis mengingat pertumbuhan pendapatan tahun 2019 merupakan salah satu yang tertinggi dalam beberapa tahun terakhir.
Optimisme pemerintah didasari pada penerimaan pajak yang diperkirakan tumbuh 15% YoY pada tahun 2019, didukung oleh program penguatan basis data perpajakan, pelayanan perpajakan, dan pengawasan kepatuhan perpajakan. Selain itu, peluang lainnya bagi penerimaan perpajakan juga datang dari kesepakatan Automatic Exchange of Information (AEoI).
Seiring dengan kesepakatan AEoI tersebut, pemerintah dan DPR mengesahkan UU Keterbukaan untuk Kepentingan Perpajakan. Sehingga, wajib pajak kini tidak dapat lagi menyembunyikan informasi kekayaannya di luar negeri. Hingga 2017, Dirjen Pajak (DJP) telah memiliki kewenangan pertukaran data keuangan dengan 50 negara lain. Di 2018, jumlah tersebut bertambah sampai 50 negara lainnya, sehingga terdapat total 100 negara mitra yang memiliki perjanjian pertukaran data. Sebagai tambahan, naiknya harga komoditas juga menjadi berkah tersendiri bagi naiknya penerimaan kepabeanan dan cukai serta, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sumber Daya Alam.
Kenaikan cukai rokok di tahun depan, apabila terealisasi, juga diperkirakan akan mengerek penerimaan negara lebih jauh. Penerimaan pajak yang lebih pesat juga didukung oleh UU PNBP yang baru. Hasil amendemen UU No. 20/1997 tentang PNBP memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk mengubah tarif. Padahal, dalam UU yang masih berlaku saat ini, perubahan tarif merupakan usulan dari instansi atau kementerian teknis terkait.
Selain itu, perubahan tarif PNBP juga bakal lebih fleksibel karena tak lagi harus diatur dalam UU atau peraturan pemerintah. Penentuan tarif cukup diatur melalui peraturan menteri. Menkeu juga nantinya berwenang untuk menentukan target PNBP, menetapkan penggunaan dana PNBP, hingga meminta instansi pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan terhadap instansi PNBP, wajib bayar atau mitra instansi pengelola PNBP. Lalu, apa tantangan yang menghadang penerimaan negara?
Pertama, harga komoditas yang bergejolak di tahun depan. Misalnya saja, harga batu bara saat ini memang sedang tinggi, dipicu oleh cuaca panas ekstrim yang melanda Belahan Bumi Utara (BBU). Akibatnya, permintaan komoditas batu bara untuk pembangkit listrik pun melambung, demi memenuhi kebutuhan listrik untuk pendingin ruangan. Namun, musim panas berlalu, harga batu bara bisa menjadi kembali tertekan. Terlebih, prospek perekonomian global diproyeksikan akan lesu ke depannya, akibat berkecamuknya perang dagang AS dan sejumlah negara. Saat pertumbuhan ekonomi dunia melambat, dipastikan permintaan komoditas energi seperti batu bara pun lesu. Hal ini berpeluang mengurangi penerimaan negara dari sektor pertambangan. Dari sektor agrikultur, harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) juga masih tertekan di tahun ini. Sepenjang tahun berjalan ini (year-to-date/YTD), harga CPO sudah anjlok 11,23% hingga perdagangan hari ini. Apabila performa harga CPO masih belum membaik di tahun depan, tentunya hal ini juga akan membebani pendapatan negara.
Kedua, pemangkasan tarif pajak penghasilan (PPh) final UMKM dari 1% menjadi 0,5%, melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2018. Di satu sisi, kebijakan ini mampu mendorong UMKM untuk melakukan ekspansi usahanya, namun di sisi lain akan mengurangi penerimaan negara dari sektor perpajakan. Meskipun mungkin skala pengurangannya relatif tidak terlalu besar, namun tetap saja regulasi baru ini akan menekan penerimaan negara.
Ketiga, potensi pengurangan pajak saat investasi yang menerima fasilitas tax holiday dan tax allowance berjalan. Memang, di sisi lain ada efek berganda dari penanaman modal yang lebih masif, namun potensi hilangnya penerimaan pajak juga cukup besar. Seperti diketahui, melalui PMK No. 35 tahun 2018 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan yang diterbitkan pada 4 April 2018, pemerintah memperluas cakupan industri pionir penerima fasilitas tax holiday, dari semula 8 industri menjadi 17 industri.
Besaran tax holiday pun berubah menjadi 100% untuk semua nilai investasi (hanya dibedakan jadi beberapa layer lama pemberian fasilitas), dari peraturan lama diberikan dalam rentang 10-100% tergantung seberapa besar nilai investasi. Bahkan, teranyar, Presiden Jokowi meminta Kementerian Keuangan mengkaji fasilitas tax holiday hingga setengah abad. Semakin besar fasilitas pajak yang diberikan, tentu saja hal ini akan menghambat penerimaan negara, sehingga target defisit anggaran tahun depan bisa saja tidak tercapai.
(RHG/dru) Next Article 12 Hari Jelang Tutup Tahun, Belanja Negara Baru Capai 84%
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular