
Terendah Sejak 2011, Realistiskah Target Defisit APBN 2019?
Alfado Agustio & Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
17 August 2018 05:50
Pertama, mari kita tinjau dari sisi belanja yang diekspektasikan meningkat 10,03% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada tahun depan.
Peningkatan sebesar ini sebenarnya masih tercatat lebih rendah dari pertumbuhan belanja negara di outlook APBN 2018 yang mencapai 10,46% YoY. Namun, pertumbuhan belanja tahun 2019 merupakan salah satu yang tertinggi setidaknya dalam 6 tahun terakhir.
Dari dua komponen utama pembentuk belanja negara, belanja pemerintah pusat 2019 diekspektasikan meningkat 10,6% dari outlook 2018 menjadi Rp1.607,3 triliun, sedangkan transfer ke daerah dan dana desa juga melambung 9% ke Rp832,3 triliun.
Pada pos belanja pemerintah pusat, uniknya peningkatan yang pesat terjadi pada belanja non-Kementerian/Lembaga (K/L) sebesar 19,82% YoY ke angka Rp767,1 triliun pada tahun politik. Di sisi lain, belanja K/L hanya naik tipis saja 3,29% YoY ke angka Rp840,3 triliun di periode yang sama. Meski tidak disebutkan jumlahnya secara detail dalam paparan RAPBN 2019, namun kemungkinan besar peningkatan signifikan pada belanja non-K/L dipicu oleh membengkaknya bunga utang.
Pasalnya, subsidi pada tahun politik diekspektasikan menurun sebesar 3,16% YoY ke angka Rp220,9 triliun pada tahun 2019. Naiknya bunga utang nampaknya dipicu oleh membesarnya asumsi nilai tukar rupiah di angka Rp14.400/US$ pada tahun depan, naik Rp1.000/US$ daripada asumsi makro tahun 2018. Kemudian, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, pada tahun 2019 memang banyak utang jatuh tempo. Menurut, data Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), posisi utang jatuh tempo tahun depan mencapai Rp348 triliun, salah satu yang terbesar sampai 2040.
Nilai tukar rupiah lantas akan jadi penentu di tahun depan. Apabila, realisasi rupiah ternyata lebih lemah dari asumsi Rp14.400/US$, sudah pasti pos bunga utang pun justru makin membengkak. Oleh karena itu, stabilitas nilai tukar menjadi penting untuk mencegah bengkaknya defisit anggaran.
Di sisi lain, pos subsidi yang turun dari outlook 2018, sebenarnya menjadi peluang bagus untuk mempertahankan target defisit yang rendah. Subsidi energi di tahun 2019 diperkirakan turun sebesar 4,28% YoY menjadi Rp156,5 triliun, sedangkan subsidi non-energi juga turun 0,62% YoY ke Rp64,3 triliun di periode yang sama.
Pemerintah nampaknya cukup optimis dapat menjaga subsidi lebih berkelanjutan melalui beberapa program, khususnya untuk subsidi energi, di antaranya perbaikan penyaluran subsidi BBM dan LPG yang tepat sasaran, subsidi listrik tepat sasaran untuk pelanggan 450 VA dan 900 VA, dan peningkatan rasio elektrifikasi serta penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT). Meski demikian, pos subsidi energi akan mendapat tantangan besar dari potensi meningkatnya harga minyak.
Asumsi makro yang digunakan pada RAPBN 2019 adalah harga minyak sebesar US$70/barel, namun harga minyak global masih berpotensi naik di atas angka tersebut. Sanksi minyak Amerika Serikat (AS) terhadap Iran bahkan diprediksi mampu membuat harga minyak global melompat ke angka US$90/barel di akhir tahun ini. Harga minyak global memang tidak bisa dikontrol oleh pemerintah. Pemerintah hanya bisa mengendalikan dari sisi kebijakan.
Sejauh ini, stance Presiden Jokowi adalah menahan harga premium dan solar hingga 2019, kebijakan BBM satu harga, dan penyaluran kembali premium di Jawa, Madura, dan Bali. Kebijakan seperti itu tentunya dapat menjadi bumerang bagi anggaran pemerintah, di kala harga minyak terus menanjak dengan pesat. Wacana menambah subsidi solar menjadi Rp2.500/liter (saat ini Rp2.000/liter) bisa saja jadi kenyataan. Pada akhirnya, cita-cita defisit anggaran di bawah 2% akan sulit dicapai. (RHG/dru)
Peningkatan sebesar ini sebenarnya masih tercatat lebih rendah dari pertumbuhan belanja negara di outlook APBN 2018 yang mencapai 10,46% YoY. Namun, pertumbuhan belanja tahun 2019 merupakan salah satu yang tertinggi setidaknya dalam 6 tahun terakhir.
Pada pos belanja pemerintah pusat, uniknya peningkatan yang pesat terjadi pada belanja non-Kementerian/Lembaga (K/L) sebesar 19,82% YoY ke angka Rp767,1 triliun pada tahun politik. Di sisi lain, belanja K/L hanya naik tipis saja 3,29% YoY ke angka Rp840,3 triliun di periode yang sama. Meski tidak disebutkan jumlahnya secara detail dalam paparan RAPBN 2019, namun kemungkinan besar peningkatan signifikan pada belanja non-K/L dipicu oleh membengkaknya bunga utang.
Pasalnya, subsidi pada tahun politik diekspektasikan menurun sebesar 3,16% YoY ke angka Rp220,9 triliun pada tahun 2019. Naiknya bunga utang nampaknya dipicu oleh membesarnya asumsi nilai tukar rupiah di angka Rp14.400/US$ pada tahun depan, naik Rp1.000/US$ daripada asumsi makro tahun 2018. Kemudian, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, pada tahun 2019 memang banyak utang jatuh tempo. Menurut, data Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), posisi utang jatuh tempo tahun depan mencapai Rp348 triliun, salah satu yang terbesar sampai 2040.
Nilai tukar rupiah lantas akan jadi penentu di tahun depan. Apabila, realisasi rupiah ternyata lebih lemah dari asumsi Rp14.400/US$, sudah pasti pos bunga utang pun justru makin membengkak. Oleh karena itu, stabilitas nilai tukar menjadi penting untuk mencegah bengkaknya defisit anggaran.
Di sisi lain, pos subsidi yang turun dari outlook 2018, sebenarnya menjadi peluang bagus untuk mempertahankan target defisit yang rendah. Subsidi energi di tahun 2019 diperkirakan turun sebesar 4,28% YoY menjadi Rp156,5 triliun, sedangkan subsidi non-energi juga turun 0,62% YoY ke Rp64,3 triliun di periode yang sama.
Pemerintah nampaknya cukup optimis dapat menjaga subsidi lebih berkelanjutan melalui beberapa program, khususnya untuk subsidi energi, di antaranya perbaikan penyaluran subsidi BBM dan LPG yang tepat sasaran, subsidi listrik tepat sasaran untuk pelanggan 450 VA dan 900 VA, dan peningkatan rasio elektrifikasi serta penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT). Meski demikian, pos subsidi energi akan mendapat tantangan besar dari potensi meningkatnya harga minyak.
Asumsi makro yang digunakan pada RAPBN 2019 adalah harga minyak sebesar US$70/barel, namun harga minyak global masih berpotensi naik di atas angka tersebut. Sanksi minyak Amerika Serikat (AS) terhadap Iran bahkan diprediksi mampu membuat harga minyak global melompat ke angka US$90/barel di akhir tahun ini. Harga minyak global memang tidak bisa dikontrol oleh pemerintah. Pemerintah hanya bisa mengendalikan dari sisi kebijakan.
Sejauh ini, stance Presiden Jokowi adalah menahan harga premium dan solar hingga 2019, kebijakan BBM satu harga, dan penyaluran kembali premium di Jawa, Madura, dan Bali. Kebijakan seperti itu tentunya dapat menjadi bumerang bagi anggaran pemerintah, di kala harga minyak terus menanjak dengan pesat. Wacana menambah subsidi solar menjadi Rp2.500/liter (saat ini Rp2.000/liter) bisa saja jadi kenyataan. Pada akhirnya, cita-cita defisit anggaran di bawah 2% akan sulit dicapai. (RHG/dru)
Next Page
K/L Tahan Belanja Turunkan Defisit
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular