
Ekonomi AS Pulih, Harga Emas di Rekor Terendah Sejak 2017
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
20 July 2018 14:18

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas COMEX kontrak pengiriman Agustus 2018 bergerak melemah sebesar 0,10% ke US$1.222,8/troy ounce, pada perdagangan hari ini Jumat (20/07/2018) hingga pukul 13.10 WIB hari ini. Harga sang logam mulia melanjutkan pelemahan sebesar 0,32% pada perdagangan kemarin.
Alhasil, harga emas kembali terperosok ke titik terendahnya di tahun ini. Bahkan, apabila ditarik ke belakang, harga emas mencetak rekor terendah sejak Januari 2017. Sementara, hingga pergerakan saat ini, harga emas menuju pelemahan mingguan sebesar 1,5%.
Tekanan bagi harga emas masih datang dari perkasanya dolar Amerika Serikat (AS) pasca pemaparan Gubernur The Federal Reserve/The Fed Jerome Powell yang mengindikasikan naiknya suku bunga acuan AS secara lebih agresif.
Meski demikian, pelemahan harga emas hari ini nampaknya terbatas oleh kritikan Presiden AS Donald Trump terhadap The Fed, serta tensi perang dagang AS-China yang kembali berkecamuk.
Dalam testimoninya di hadapan Kongres AS, Jerome Powell mengulangi apa yang disampaikannya di hadapan Senat bahwa bank sentral masih akan menaikkan suku bunga acuan secara bertahap. Hal ini dilakukan atas respons perekonomian AS yang kian membaik.
Setelah testimoni Powell, probabilitas The Fed menaikkan suku bunga acuan sebanyak empat kali pada tahun ini naik menjadi 58,2% dari posisi sebelumnya 56,2%. Di sisi lain, probabilitas The Fed hanya akan menaikkan suku bunga tiga kali pada tahun ini turun menjadi 31,8%, dari yang sebelumnya 34,9%.
Data-data ekonomi AS yang positif juga masih berdatangan. Teranyar, jumlah warga yang mengajukan tunjangan pengangguran berkurang secara mengejutkan ke level terendahnya dalam lebih dari 48,5 tahun terakhir. Pekan lalu, klaim awal tunjangan pengangguran di AS turun 8.000 orang menjadi 207.000.
Ini merupakan angka terendah sejak Desember 1969. Pencapaian tersebut juga jauh lebih rendah daripada konsensus yang dihimpun Reuters, yang memperkirakan adanya kenaikan menjadi 220.000 orang.
Data ini mengindikasikan pasar tenaga kerja Negeri Paman Sam yang solid. Sebelumnya, ekonomi AS menciptakan 213.00 lapangan kerja pada Juni 2018, dengan tingkat pengangguran 4%. Akibatnya, keyakinan terhadap kebijakan moneter The Federal Reserve/The Fed yang kian ketat pun menebal.
Dollar Index, yang mencerminkan posisi 6 mata uang utama dunia, bahkan sempat menyentuh titik tertingginya dalam setahun, pada perdagangan kemarin malam waktu Indonesia Barat (WIB), merespons rilis data klaim pengangguran tersebut.
Seperti diketahui, aset berdenominasi dolar AS seperti emas akan sensitif terhadap pergerakan mata uang tersebut. Terdepresiasinya dolar AS akan membuat emas relatif lebih murah untuk pemegang mata uang asing selain dolar AS. Sebaliknya, apresiasi mata uang Negeri Paman Sam akan membuat harga emas relatif lebih mahal.
Meski demikian, Dollar Index, mulai menipiskan penguatannya, bahkan mulai bergerak di zona merah. Hingga pukul 13.22 WIB hari ini, indeks ini melemah tipis sebesar 0,1%. Pemberat bagi dolar AS siang ini nampaknya didorong oleh komentar Presiden AS Donald Trump.
Dalam wawancara dengan CNBC Internasional, mantan taipan properti itu mengatakan dolar AS sudah terlalu kuat kuat sehingga ekspor negara itu menjadi kurang kompetitif.
Komentar Trump lantas menjadi pelatuk yang membuat dolar AS memulai tren depresiasinya. Mata uang ini memang sudah menguat agak keterlaluan, terlalu lama seolah tanpa jeda. Akibat pernyataan Trump, dolar AS mengalami tekanan jual.
Melemahnya indeks dolar AS akhirnya mampu menipiskan pelemahan harga emas. Terlebih, tensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS)-China kembali muncul ke permukaan. Seperti diketahui, bulan ini, Negeri Paman Sam dan Negeri Tirai Bambu saling mengenakan tarif terhadap produk impor satu sama lain senilai masing-masing US$ 34 miliar (Rp 492,4 triliun).
Tidak cukup sampai situ, kini AS tengah mengkaji kemungkinan penambahan bea masuk sebesar 10% terhadap produk-produk impor asal China sebesar US$200 miliar. Sebenarnya, proses negosiasi kedua negara masih terus berjalan, namun nampaknya ikhtiar ini menemui jalan buntu.
Dari perkembangan teranyar, Larry Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, menyatakan bahwa Presiden China Xi Jinping telah menghambat kemajuan negosiasi perdagangan antara AS-China. Padahal, bawahan Xi, termasuk penasihat ekonomi senior Liu He, sudah sepakat dengan AS. Xi diklaim telah menolak untuk melakukan perubahan terhadap kebijakan transfer teknologi China, dan kebijakan perdagangan lainnya.
"Sejauh yang kita ketahui, Presiden Xi saat ini tidak ingin melakukan kesepakatan," kata Kudlow saat menghadiri konferensi Delivering Alpha, seperti dikutip dari Reuters. "Menurut saya Liu He dan yang lainnya mungkin ingin bergerak tapi belum bisa. Kami menunggunya (Xi). Bola ada di lapangannya," tambah Kudlow.
Pihak China pun tidak tinggal diam. Beijing langsung mengklaim bahwa tuduhan AS adalah "mengejutkan" dan "bohong".
Ketika ditanya mengenai komentar Kudlow tersebut, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying berkata, "Pejabat AS terkait secara tidak terduga mendistorsi fakta dan membuat tuduhan bohong yang mengejutkan dan tidak terbayangkan. Inkonsistensi dan pelanggaran janji AS sudah diketahui secara global," tegasnya, dilansir dari Reuters.
Saling tuduh antara dua raksasa ekonomi terbesar di dunia itu lantas mengindikasikan bahwa perang dagang masih jauh dari kata usai. Eskalasi tensi perang dagang ini lantas memicu investor untuk berperilaku defensif, dan melepas aset-aset berisiko. Sebaliknya, aset safe haven seperti emas akan lebih banyak diburu.
(RHG) Next Article Aura Perdamaian Korea dan Stabilnya Dolar AS Tekan Harga Emas
Alhasil, harga emas kembali terperosok ke titik terendahnya di tahun ini. Bahkan, apabila ditarik ke belakang, harga emas mencetak rekor terendah sejak Januari 2017. Sementara, hingga pergerakan saat ini, harga emas menuju pelemahan mingguan sebesar 1,5%.
Tekanan bagi harga emas masih datang dari perkasanya dolar Amerika Serikat (AS) pasca pemaparan Gubernur The Federal Reserve/The Fed Jerome Powell yang mengindikasikan naiknya suku bunga acuan AS secara lebih agresif.
![]() |
Dalam testimoninya di hadapan Kongres AS, Jerome Powell mengulangi apa yang disampaikannya di hadapan Senat bahwa bank sentral masih akan menaikkan suku bunga acuan secara bertahap. Hal ini dilakukan atas respons perekonomian AS yang kian membaik.
Setelah testimoni Powell, probabilitas The Fed menaikkan suku bunga acuan sebanyak empat kali pada tahun ini naik menjadi 58,2% dari posisi sebelumnya 56,2%. Di sisi lain, probabilitas The Fed hanya akan menaikkan suku bunga tiga kali pada tahun ini turun menjadi 31,8%, dari yang sebelumnya 34,9%.
Ini merupakan angka terendah sejak Desember 1969. Pencapaian tersebut juga jauh lebih rendah daripada konsensus yang dihimpun Reuters, yang memperkirakan adanya kenaikan menjadi 220.000 orang.
Data ini mengindikasikan pasar tenaga kerja Negeri Paman Sam yang solid. Sebelumnya, ekonomi AS menciptakan 213.00 lapangan kerja pada Juni 2018, dengan tingkat pengangguran 4%. Akibatnya, keyakinan terhadap kebijakan moneter The Federal Reserve/The Fed yang kian ketat pun menebal.
Dollar Index, yang mencerminkan posisi 6 mata uang utama dunia, bahkan sempat menyentuh titik tertingginya dalam setahun, pada perdagangan kemarin malam waktu Indonesia Barat (WIB), merespons rilis data klaim pengangguran tersebut.
Seperti diketahui, aset berdenominasi dolar AS seperti emas akan sensitif terhadap pergerakan mata uang tersebut. Terdepresiasinya dolar AS akan membuat emas relatif lebih murah untuk pemegang mata uang asing selain dolar AS. Sebaliknya, apresiasi mata uang Negeri Paman Sam akan membuat harga emas relatif lebih mahal.
Meski demikian, Dollar Index, mulai menipiskan penguatannya, bahkan mulai bergerak di zona merah. Hingga pukul 13.22 WIB hari ini, indeks ini melemah tipis sebesar 0,1%. Pemberat bagi dolar AS siang ini nampaknya didorong oleh komentar Presiden AS Donald Trump.
Dalam wawancara dengan CNBC Internasional, mantan taipan properti itu mengatakan dolar AS sudah terlalu kuat kuat sehingga ekspor negara itu menjadi kurang kompetitif.
Komentar Trump lantas menjadi pelatuk yang membuat dolar AS memulai tren depresiasinya. Mata uang ini memang sudah menguat agak keterlaluan, terlalu lama seolah tanpa jeda. Akibat pernyataan Trump, dolar AS mengalami tekanan jual.
Melemahnya indeks dolar AS akhirnya mampu menipiskan pelemahan harga emas. Terlebih, tensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS)-China kembali muncul ke permukaan. Seperti diketahui, bulan ini, Negeri Paman Sam dan Negeri Tirai Bambu saling mengenakan tarif terhadap produk impor satu sama lain senilai masing-masing US$ 34 miliar (Rp 492,4 triliun).
Tidak cukup sampai situ, kini AS tengah mengkaji kemungkinan penambahan bea masuk sebesar 10% terhadap produk-produk impor asal China sebesar US$200 miliar. Sebenarnya, proses negosiasi kedua negara masih terus berjalan, namun nampaknya ikhtiar ini menemui jalan buntu.
Dari perkembangan teranyar, Larry Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, menyatakan bahwa Presiden China Xi Jinping telah menghambat kemajuan negosiasi perdagangan antara AS-China. Padahal, bawahan Xi, termasuk penasihat ekonomi senior Liu He, sudah sepakat dengan AS. Xi diklaim telah menolak untuk melakukan perubahan terhadap kebijakan transfer teknologi China, dan kebijakan perdagangan lainnya.
"Sejauh yang kita ketahui, Presiden Xi saat ini tidak ingin melakukan kesepakatan," kata Kudlow saat menghadiri konferensi Delivering Alpha, seperti dikutip dari Reuters. "Menurut saya Liu He dan yang lainnya mungkin ingin bergerak tapi belum bisa. Kami menunggunya (Xi). Bola ada di lapangannya," tambah Kudlow.
Pihak China pun tidak tinggal diam. Beijing langsung mengklaim bahwa tuduhan AS adalah "mengejutkan" dan "bohong".
Ketika ditanya mengenai komentar Kudlow tersebut, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying berkata, "Pejabat AS terkait secara tidak terduga mendistorsi fakta dan membuat tuduhan bohong yang mengejutkan dan tidak terbayangkan. Inkonsistensi dan pelanggaran janji AS sudah diketahui secara global," tegasnya, dilansir dari Reuters.
Saling tuduh antara dua raksasa ekonomi terbesar di dunia itu lantas mengindikasikan bahwa perang dagang masih jauh dari kata usai. Eskalasi tensi perang dagang ini lantas memicu investor untuk berperilaku defensif, dan melepas aset-aset berisiko. Sebaliknya, aset safe haven seperti emas akan lebih banyak diburu.
(RHG) Next Article Aura Perdamaian Korea dan Stabilnya Dolar AS Tekan Harga Emas
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular