Green Bond: Merintis 'Investasi Lestari' Demi Bumi Pertiwi

Irvin Avriano, CNBC Indonesia
08 July 2018 18:49
Green Bond: Merintis 'Investasi Lestari' Demi Bumi Pertiwi
Foto: Reuters
Jakarta, CNBC Indonesia - Orang mengenalnya sebagai Jason Bourne. Diam-diam dia ke Jagakarsa, Jakarta Selatan, Indonesia, awal pekan ini. Bukan untuk membunuh musuh-musuhnya, melainkan untuk menyalurkan pendanaan. 

Yup, itu kisah nyata, bukan adegan film. Matt Damon, aktor yang sukses membawakan peran Jason Bourne dalam rentetan saga Bourne, memiliki kegiatan sosial melalui organisasi Water.org, sebuah organisasi nirlaba yang bertujuan membantu masyarakat dengan akses sanitasi dan air bersih. 

Beberapa program organisasi yang didirikan Matt Damon dan Gary White tersebut adalah menjaga akses air bersih dan lingkungan serta mengedukasi perilaku hidup sehat. 

Di Indonesia, kegiatan filantrofi berorientasi pada nilai sosial dan kelestarian lingkungan layaknya yang dilakukan Water.org juga tidak sedikit. Salah satunya adalah yang dilakukan Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati). Saat ini, penetrasi Kehati bahkan sudah merambah bursa saham.

Yayasan yang didirikan Emil Salim dan rekan-rekannya itu sejak 6 Juni 2009 mencatatkan indeks berisi 25 saham berwawasan lingkungan, bernama Sustainable and Responsible Investment (SRI) Kehati. 

Emiten yang menjadi penghuni (konstituen) indeks ini diklaim berkinerja keuangan positif sekaligus memiliki kesadaran lingkungan-baik lingkungan hidup maupun sosial-yang baik, serta bertata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance (GCG). 

Tak sendiri, Kehati dibantu oleh organisasi regional OWW-Consulting dalam wawasan lingkungan emiten konstituen, selain dari batas-batas minimal keuangan dan profitabilitas.

Dari segi kinerja nominal, indeks tersebut sudah tumbuh 183,15% (rata-rata 12,15% per tahun) sejak 2009 ke level 332,63 pada Kamis (05/07/2018). Tak kecil memang, karena relatif sejalan dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang tumbuh 178% pada periode yang sama.



Sebaliknya, indeks sektor tambang dan indeks sektor perkebunan, yang dianggap lebih 'paling tidak ramah lingkungan', berkinerja minus masing-masing -4% dan -16%. 

Meskipun menimbulkan pertanyaan karena keberadaan beberapa perusahaan sawit dalam konstituennya, SRI-Kehati sudah dijadikan acuan investasi investor baik langsung maupun yang masuk ke pasar melalui produk investasi.
Beberapa reksa dana yang sudah sukses bekerja sama dan menjadikan indeks tersebut sebagai acuan investasinya adalah Reksa Dana Kehati Lestari, Premier ETF SRI-Kehati, RHB SRI-Kehati Index Fund, dan Insight SRI-Kehati Likuid.  

Namun sayangnya, beberapa emiten saham yang bergerak di bidang usaha energi terbarukan tidak masuk dalam indeks tersebut. Padahal, banyak saham-saham yang bergerak di sektor energi terbarukan atau energi ramah lingkungan yang bisa dijadikan sebagai sarana investasi lestari.  

Sebut saja PT Sky Energy Tbk yang memproduksi modul surya (solar module) dengan pabrik berkapasitas 100 MW dan 50 MW sel surya (solar cell) di Gunung Putri, Bogor.

Lalu ada PT Samindo Resources Tbk (MYOH). Selain beroperasi di bidang tambang batu bara, mereka ingin mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Salah satu pertimbangan utama adalah investasi pembangkit tenaga surya dianggap lebih murah dibandingkan dengan tenaga uap.  

Kemudian ada PT Integra Tbk (TGRA) yang berniat membangun empat proyek pembangkit listrik tenaga mini hidro (PLTMH) dengan dana yang dikantongi saat penawaran umum perdana (initial public offering/ IPO).  

Emiten lain adalah PT Nusantara Infrastructure Tbk (META) melalui PT Energi Infranusantara yang ingin mengembangkan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) dan sudah sedang menyelesaikan PLTMH Lau Gunung (Sumatra Utara).  

Lalu ada PT Barito Pacific Tbk (BRPT) melalui PT Star Energy yang mengembangkan pembangkit geothermal (PLPT) Wayang Windu. Nama lain adalah PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) lewat anak usahanya PT Medco Power Indonesia yang mengembangkan PLTP Sarulla, PLTP Riau, dan PLTP Ijen.  

Paling baru adalah PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) yang baru menerbitkan green bond senilai total Rp 355 miliarGreen bond, atau yang di pasar global juga disebut climate bond, memiliki keunikan sebagai instrumen pendanaan untuk solusi perubahan iklim sekaligus menyikapi kerusakan lingkungan.  

Namun sayangnya, nilai emisi green bond pertama di Indonesia itu jauh di bawah target Rp 1 triliun karena bertepatan dengan koreksi signifikan di pasar modal.  

Tensi panas akibat gontok-gontokan pemerintah Amerika Serikat (AS) versus mitra dagangnya tersebut memunculkan kekhawatiran investor global dan membebani harga obligasi negara sehingga turun. Koreksi harga obligasi membuat tingkat imbal hasilnya (yield) terdongkrak.  

Yield obligasi pemerintah, yang umum dijadikan acuan penentuan kupon bunga obligasi korporasi, naik dan biasanya menyebabkan permintaan kupon investor terhadap instrumen sejenis juga meningkat.

Alhasil, emiten dipaksa memberikan kupon tinggi, karena jika kuponnya tidak kompetitif, maka obligasi perdana itu berpotensi tidak laku. Kondisi serupa yang terlihat sedang menghadang emisi green bond perdana Indonesia, sehingga nilai emisinya dipangkas dari target awal. Ketika Indonesia baru mengawali emisi obligasi lestari, lembaga pemeringkat Moody’s mengestimasi jumlah climate bond di seluruh dunia beredar diprediksi melampaui US$200 miliar (setara Rp 2.876 triliun) per 2017. Kebanyakan emisi tersebut berasal dari China, AS, dan bahkan Bank Dunia.  

Beda halnya di tingkat global, di mana jumlah investor dan penerbit green bond sama-sama membesar, di Indonesia justru sebaliknya. Penerbitan perdana green bond memang tak sesuai dengan ekspektasi dan target awal yang dipatok.  

Namun, perlu digarisbawahi bahwa itu bukanlah sebuah kegagalan, karena jika dilihat secara utuh kondisi pasar yang belum matanglah menjadi pemicunya. Predikat gagal baru bisa disematkan jika obligasi itu dirilis di pasar yang tingkat penyerapannya sedang normal.  

Di Indonesia, permintaan produk investasi lestari masih sangat kecil. Dalam sebuah perbincangan dengan seorang bankir investasi, kebanyakan klien yang ditanganinya memandang terminologi ‘hijau’ secara praktis dari sisi keuntungan semata, yakni gain.  

Mereka belum mencapai tingkatan investasi yang lebih tinggi yakni meraih gain sembari mendukung kelestarian lingkungan. “Mungkin juga perlu campur tangan pemerintah untuk mendorongnya, misalnya memasukkan CSR (corporate social responsibility) lingkungan sebagai faktor pemotong pajak,” tuturnya.


Tentunya kita berharap bukan hanya untuk meramaikan varian produk investasi di pasar modal dan berpikir pendanaan, tetapi juga mewujudkan mimpi agar negeri Indonesia dapat lebih lestari.   

Swedia, sebuah negara skandinavia dengan area 450.295 Km2, hanya seperlima dari luas Indonesia, saat ini unggul dalam pemanfaatan kembali (recycling) sampah rumah tangga sebagai bahan baku ketenagalistrikannya. Mereka bahkan harus mengimpor 2,7 juta ton sampah pada 2014 silam.  

Potensi Indonesia untuk kelistrikan dari EBT bertenaga air saja sangatlah raksasa, mencapai 60 gigawatt (GW), seimbang dengan total produksi listrik PLN saat ini. Energi baru dan terbarukan (EBT) dengan potensi besar seperti biofuel, biomassa, panas bumi, air, angin, surya, dan gelombang laut.   

Semuanya bisa dipanen selama ada kekuatan kapital untuk mengembangkan sarana infrastruktur pendukungnya. Di sinilah masyarakat bisa berperan lebih jauh, dengan membeli instrumen investasi lestari di pasar modal.  

“Bukan buat kita doang, tapi demi kehidupan anak cucu kita nanti yang lebih baik lagi,” ujar si bankir menutup diskusi.  


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular