Green Bond: Merintis 'Investasi Lestari' Demi Bumi Pertiwi

Irvin Avriano, CNBC Indonesia
08 July 2018 18:49
Bicara ‘Hijau’ Tak Selalu Tentang Gain
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Ketika Indonesia baru mengawali emisi obligasi lestari, lembaga pemeringkat Moody’s mengestimasi jumlah climate bond di seluruh dunia beredar diprediksi melampaui US$200 miliar (setara Rp 2.876 triliun) per 2017. Kebanyakan emisi tersebut berasal dari China, AS, dan bahkan Bank Dunia.  

Beda halnya di tingkat global, di mana jumlah investor dan penerbit green bond sama-sama membesar, di Indonesia justru sebaliknya. Penerbitan perdana green bond memang tak sesuai dengan ekspektasi dan target awal yang dipatok.  

Namun, perlu digarisbawahi bahwa itu bukanlah sebuah kegagalan, karena jika dilihat secara utuh kondisi pasar yang belum matanglah menjadi pemicunya. Predikat gagal baru bisa disematkan jika obligasi itu dirilis di pasar yang tingkat penyerapannya sedang normal.  

Di Indonesia, permintaan produk investasi lestari masih sangat kecil. Dalam sebuah perbincangan dengan seorang bankir investasi, kebanyakan klien yang ditanganinya memandang terminologi ‘hijau’ secara praktis dari sisi keuntungan semata, yakni gain.  

Mereka belum mencapai tingkatan investasi yang lebih tinggi yakni meraih gain sembari mendukung kelestarian lingkungan. “Mungkin juga perlu campur tangan pemerintah untuk mendorongnya, misalnya memasukkan CSR (corporate social responsibility) lingkungan sebagai faktor pemotong pajak,” tuturnya.


Tentunya kita berharap bukan hanya untuk meramaikan varian produk investasi di pasar modal dan berpikir pendanaan, tetapi juga mewujudkan mimpi agar negeri Indonesia dapat lebih lestari.   

Swedia, sebuah negara skandinavia dengan area 450.295 Km2, hanya seperlima dari luas Indonesia, saat ini unggul dalam pemanfaatan kembali (recycling) sampah rumah tangga sebagai bahan baku ketenagalistrikannya. Mereka bahkan harus mengimpor 2,7 juta ton sampah pada 2014 silam.  

Potensi Indonesia untuk kelistrikan dari EBT bertenaga air saja sangatlah raksasa, mencapai 60 gigawatt (GW), seimbang dengan total produksi listrik PLN saat ini. Energi baru dan terbarukan (EBT) dengan potensi besar seperti biofuel, biomassa, panas bumi, air, angin, surya, dan gelombang laut.   

Semuanya bisa dipanen selama ada kekuatan kapital untuk mengembangkan sarana infrastruktur pendukungnya. Di sinilah masyarakat bisa berperan lebih jauh, dengan membeli instrumen investasi lestari di pasar modal.  

“Bukan buat kita doang, tapi demi kehidupan anak cucu kita nanti yang lebih baik lagi,” ujar si bankir menutup diskusi.  

TIM RISET CNBC INDONESIA

(ags/ags)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular