
Green Bond: Merintis 'Investasi Lestari' Demi Bumi Pertiwi
Irvin Avriano, CNBC Indonesia
08 July 2018 18:49

Beberapa reksa dana yang sudah sukses bekerja sama dan menjadikan indeks tersebut sebagai acuan investasinya adalah Reksa Dana Kehati Lestari, Premier ETF SRI-Kehati, RHB SRI-Kehati Index Fund, dan Insight SRI-Kehati Likuid.
Namun sayangnya, beberapa emiten saham yang bergerak di bidang usaha energi terbarukan tidak masuk dalam indeks tersebut. Padahal, banyak saham-saham yang bergerak di sektor energi terbarukan atau energi ramah lingkungan yang bisa dijadikan sebagai sarana investasi lestari.
Sebut saja PT Sky Energy Tbk yang memproduksi modul surya (solar module) dengan pabrik berkapasitas 100 MW dan 50 MW sel surya (solar cell) di Gunung Putri, Bogor.
Lalu ada PT Samindo Resources Tbk (MYOH). Selain beroperasi di bidang tambang batu bara, mereka ingin mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Salah satu pertimbangan utama adalah investasi pembangkit tenaga surya dianggap lebih murah dibandingkan dengan tenaga uap.
Kemudian ada PT Integra Tbk (TGRA) yang berniat membangun empat proyek pembangkit listrik tenaga mini hidro (PLTMH) dengan dana yang dikantongi saat penawaran umum perdana (initial public offering/ IPO).
Emiten lain adalah PT Nusantara Infrastructure Tbk (META) melalui PT Energi Infranusantara yang ingin mengembangkan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) dan sudah sedang menyelesaikan PLTMH Lau Gunung (Sumatra Utara).
Lalu ada PT Barito Pacific Tbk (BRPT) melalui PT Star Energy yang mengembangkan pembangkit geothermal (PLPT) Wayang Windu. Nama lain adalah PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) lewat anak usahanya PT Medco Power Indonesia yang mengembangkan PLTP Sarulla, PLTP Riau, dan PLTP Ijen.
Paling baru adalah PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) yang baru menerbitkan green bond senilai total Rp 355 miliar. Green bond, atau yang di pasar global juga disebut climate bond, memiliki keunikan sebagai instrumen pendanaan untuk solusi perubahan iklim sekaligus menyikapi kerusakan lingkungan.
Namun sayangnya, nilai emisi green bond pertama di Indonesia itu jauh di bawah target Rp 1 triliun karena bertepatan dengan koreksi signifikan di pasar modal.
Tensi panas akibat gontok-gontokan pemerintah Amerika Serikat (AS) versus mitra dagangnya tersebut memunculkan kekhawatiran investor global dan membebani harga obligasi negara sehingga turun. Koreksi harga obligasi membuat tingkat imbal hasilnya (yield) terdongkrak.
Yield obligasi pemerintah, yang umum dijadikan acuan penentuan kupon bunga obligasi korporasi, naik dan biasanya menyebabkan permintaan kupon investor terhadap instrumen sejenis juga meningkat.
Alhasil, emiten dipaksa memberikan kupon tinggi, karena jika kuponnya tidak kompetitif, maka obligasi perdana itu berpotensi tidak laku. Kondisi serupa yang terlihat sedang menghadang emisi green bond perdana Indonesia, sehingga nilai emisinya dipangkas dari target awal. (ags/ags)
Namun sayangnya, beberapa emiten saham yang bergerak di bidang usaha energi terbarukan tidak masuk dalam indeks tersebut. Padahal, banyak saham-saham yang bergerak di sektor energi terbarukan atau energi ramah lingkungan yang bisa dijadikan sebagai sarana investasi lestari.
Sebut saja PT Sky Energy Tbk yang memproduksi modul surya (solar module) dengan pabrik berkapasitas 100 MW dan 50 MW sel surya (solar cell) di Gunung Putri, Bogor.
Kemudian ada PT Integra Tbk (TGRA) yang berniat membangun empat proyek pembangkit listrik tenaga mini hidro (PLTMH) dengan dana yang dikantongi saat penawaran umum perdana (initial public offering/ IPO).
Emiten lain adalah PT Nusantara Infrastructure Tbk (META) melalui PT Energi Infranusantara yang ingin mengembangkan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) dan sudah sedang menyelesaikan PLTMH Lau Gunung (Sumatra Utara).
Lalu ada PT Barito Pacific Tbk (BRPT) melalui PT Star Energy yang mengembangkan pembangkit geothermal (PLPT) Wayang Windu. Nama lain adalah PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) lewat anak usahanya PT Medco Power Indonesia yang mengembangkan PLTP Sarulla, PLTP Riau, dan PLTP Ijen.
Paling baru adalah PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) yang baru menerbitkan green bond senilai total Rp 355 miliar. Green bond, atau yang di pasar global juga disebut climate bond, memiliki keunikan sebagai instrumen pendanaan untuk solusi perubahan iklim sekaligus menyikapi kerusakan lingkungan.
Namun sayangnya, nilai emisi green bond pertama di Indonesia itu jauh di bawah target Rp 1 triliun karena bertepatan dengan koreksi signifikan di pasar modal.
Tensi panas akibat gontok-gontokan pemerintah Amerika Serikat (AS) versus mitra dagangnya tersebut memunculkan kekhawatiran investor global dan membebani harga obligasi negara sehingga turun. Koreksi harga obligasi membuat tingkat imbal hasilnya (yield) terdongkrak.
Yield obligasi pemerintah, yang umum dijadikan acuan penentuan kupon bunga obligasi korporasi, naik dan biasanya menyebabkan permintaan kupon investor terhadap instrumen sejenis juga meningkat.
Alhasil, emiten dipaksa memberikan kupon tinggi, karena jika kuponnya tidak kompetitif, maka obligasi perdana itu berpotensi tidak laku. Kondisi serupa yang terlihat sedang menghadang emisi green bond perdana Indonesia, sehingga nilai emisinya dipangkas dari target awal. (ags/ags)
Next Page
Bicara ‘Hijau’ Tak Selalu Tentang Gain
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular