Jakarta, CNBC Indonesia - Grup Medco yang besar dari bisnis minyak fosil bertransformasi menggarap energi bersih dengan mengembangkan blok panas bumi. Utang besar dari pasar obligasi pun tak ragu diajukan.
Untuk pertama kalinya, perusahaan yang didirikan Grup Medco dan Grup Saratoga, yaitu PT Medco Power Indonesia mencatatkan surat utang konvensional dan sukuk perdananya pada hari ini, Rabu (4/7/2018).
Mengacu data PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), nilai surat utang itu masing-masing Rp 600 miliar. Total, dana yang dibidik mencapai Rp 1,2 triliun. Perusahaan yang dikendalikan keluarga Panigoro ini berencana mengembangkan pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU) Riau berkapasitas 275 megawatt (MW) dan pembangkit tenaga panas bumi (PLTP) Ijen berkapasitas 110 MW.
 Sumber: Reuters |
Medco Power merupakan sayap bisnis listrik grup Medco yang saat ini mengelola PLTP Sarulla (Sarulla Geothermal). Pembangkit listrik independen itu digadang-gadang menjadi pembangkit listrik berbasis geothermal terbesar dunia dengan kapasitas 330 MW.
Awalnya, PT Geo Dipa Energi memenangi tender pembangunan dan pengelolaan Sarulla, tetapi anak usaha PT Pertamina itu tidak bersedia memperpanjang proposal dan mengundurkan diri serta melepas haknya setelah setahun.
Hal itu membuat Grup Medco sebagai penawar kedua menggenggam hak pengelolaan Sarulla, menambah portofolio mereka di energi bersih di proyek pembangkit listrik swasta (independent prower producer/ IPP) berkapasitas total 715 MW.
Bersamaan dengan penawaran obligasi dan sukuk wakalah-nya senilai total Rp 1,2 triliun pada Mei 2018, PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) mengumumkan Sarulla III mulai beroperasi, yang berarti misi energi hijau itu mulai menghasilkan keuntungan.
Tidak banyak yang tahu bahwa ada jejak grup Saratoga di sana. Medco Power sebagai pengelola Sarulla berdiri pada Desember 2011. Keterlibatan Grup Saratoga dikabarkan terjadi pada 2012 setelah lembaga investasi itu membeli saham Medco Power senilai US$112 juta. Namun, laporan keuangan Medco menyebutkan PT Saratoga Power (Grup Saratoga) telah terlibat di Medco Power sejak 2011 dengan dengan porsi kepemilikan masing-masing 51% dan 49%.
Setelah itu, pada 2016 berhembus kabar bahwa PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG) selaku induk grup Saratoga berniat menjual kepemilikannya di Medco Power guna menata kembali portofolio investasinya. Investor asal Thailand disebut-sebut menjadi calon pembeli.
Kepada media, Direktur Utama Saratoga Investama Michael W.P. Soeryadjaya (putra pendiri Saratoga, Edwin Soeryadjaja), yang sekaligus cucu sang perintis Grup Astra William Soeryadjaja, sempat membantah kabar penjualan Medco Power.
Meski tidak membantah negara asal peminat Medco Power, tetapi saat itu Grup Saratoga tidak mengonfirmasi kabar pasar yang menyebutkan dua nama peminat, yaitu Amata B Grimm Power Group bersama Global Power Synergy Pcl.
Ujungnya, pada 3 Oktober 2017, grup Medco mencaplok saham Saratoga untuk menambah kepemilikannya di Medco Power menjadi total 88,6%. Transaksi itu dilakukan dengan mengakusisi saham Saratoga Power yang tak lain adalah pemilik 51% saham Medco Power.
Sejak tanggal efektif akuisisi tersebut sampai dengan sekarang, Medco Power berstatus sebagai anak usaha grup Medco sehingga laporan keuangannya dikonsolidasikan ke grup. Aset Medco Power per Maret 2018 pun masuk dalam neraca Medco Energi, yakni sebesar Rp 224,11 miliar.
Ketika menjual balik kepemilikannya di Medco Power ke grup Medco, Saratoga mengantongi US$129,21 juta atau untung US$17,21 juta (setara Rp 244,21 miliar) dalam kurang lebih lima tahun. Keuntungan itu setara 13,31% dalam lima tahun, atau 2,66% (US$3,44 juta) per tahun.
Jika kita melihat angka persentasinya, tentulah kecil. Namun, jangan lupa bahwa transaksi itu dilakukan dalam denominasi dolar AS. Bandingkan dengan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor satu tahun dan lima tahun yang menawarkan yield 2% dan 2,7% per tahun.
Hasilnya, ya cukup menguntungkan bagi Saratoga. Dibilang cukup, karena memang nilainya tidak ada apa-apanya dibandingkan rapor SRTG yang membukukan laba bersih Rp 3,23 triliun pada 2017 saja.
Jika transaksi Medco Power itu cukup menguntungkan bagi Saratoga Capital, beda kasusnya dengan Grup Medco yang justru ditinggal menyingsingkan lengan baju sendirian untuk mengembangkan blok panas bumi di tiga blok pembangkit listrik bersih. Setelah ditinggal Saratoga, publik mendapat informasi rencana rapat umum pemegang obligasi (RUPO) Medco, yang di antaranya memasukkan agenda perubahan/ penghapusan batas rasio keuangan dalam perjanjian perwaliamanatan (PWA). PWA merupakan perjanjian antara penerbit surat utang dengan investornya, yang biasanya mencakup batas-batas rasio keuangan yang tidak boleh dilewati oleh emiten. Batas itu biasanya berupa ketentuan batas minimum kas atau batas maksimum rasio utang. Mengapa PWA diajukan? Ada dua kemungkinan. Pertama, MEDC kemungkinan sudah melewati batas yang diperjanjikan (kovenan) utang dan rasio utangnya. Karena itu, manajemen butuh merevisi batasan rasio utang dari PWA-nya. Data Reuters menunjukkan rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity ratio/DER) MEDC mencapai 2,06 kali pada 2017. Angka itu relatif tinggi dibanding perusahaan lain, seperti PT Indika Energy Tbk (INDY) 1,53 kali atau PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) 0,75 kali.
Kedua, posisi utang grup Medco belum melampaui batas, tetapi perusahaan berniat menarik utang lebih besar karena butuh dana ekspansi anorganik. Dari sisi kas, posisi Medco masih surplus dan arus kas operasionalnya kuartalannya tidak pernah negatif, kecuali pada kuartal IV/2016. Artinya, tidak ada kebutuhan mendesak untuk menutup arus kasnya dengan dana eksternal. Kondisi kas yang berlebih itu juga terlihat dari rencana aksi pembelian kembali (buyback) saham perseroan di pasar dengan maksimal anggaran Rp 68 miliar. Rencana itu diumumkan di tengah koreksi harga saham perusahaan yang per Selasa (03/07/2018) anjlok 42,22% ke Rp 965 dari posisi tertinggi tahun ini Rp 1.575 (pada 28 Februari). Secara tahun berjalan (year to date/ YTD), harga saham MEDC masih naik2,52% dari Rp 890 (akhir 2017). Laporan keuangan MEDC menunjukkan perusahaan memiliki kas US$439,7 juta (setara Rp 6,3 triliun). Hal itu mencerminkan anggaran buyback Rp 68 miliar tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan posisi kas perusahaan yang masih berlimpah.
 Sumber: Reuters |
Seberapa kebutuhan grup Medco harus menarik utang eksternal demi proyek listrik hijau melalui Medco Power? Dalam beberapa kesempatan, Medco sempat menyebutkan bahwa nilai dana yang dibutuhkan untuk membangun IPP hingga tanggal operasional komersil (commercial operational date/ COD) mencapai US$5 per watt. Hitungan tersebut mengacu pada proyek Sarulla yang membutuhkan US$1,7 miliar untuk memproduksi listrik berkapasitas 330 MW. Sebagai catatan, Sarulla telah beroperasi sejak awal tahun ini.
Jika dua proyek lain, yakni Ijen dan Riau (total 385 MW) dimasukkan, maka Medco setidaknya perlu dana pengembangan US$1,92 juta (setara Rp 27,64 triliun). Karena Medco telah memiliki dana hasil
penerbitan obligasi (senilai Rp 1,2 triliun) dan dana kas yang tersedia (senilai US$439,7 juta atau Rp 6,3 triliun per Maret), maka kebutuhan dana Medco Power tersisa senilai Rp 20,14 triliun. Modal paling mudah tentu berasal dari suntikan induk usaha, baik berupa ekuitas maupun obligasi. Atau, bisa juga dipenuhi dengan berjuang kembali di bursa untuk menjual saham Medco Power ke publik (initial public offering/ IPO). Namun apapun opsinya, semoga kisah Medco di proyek energi baik ini tidak berakhir seperti green bond milik PT Sarana Menara Infrastruktur (SMI) yang justru antiklimaks karena hanya dirilis sepertiga dari rencana semula. May the cuan be with you!
TIM RISET CNBC INDONESIA