Tamparan Keras untuk Pemerintah Lewat Defisit Neraca Dagang
Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
16 May 2018 08:03

Jakarta, CNBC Indonesia - Neraca perdagangan Indonesia yang kembali mengalami defisit untuk ketiga kalinya tahun ini menjadi tamparan keras bagi pemerintah. Persoalan tersebut, dijamin akan segera diselesaikan dengan kebijakan yang tepat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai, defisit tersebut secara tidak langsung memaksa pemerintah bekerja ekstra untuk memperbaiki sendi-sendi ekonomi domestik. Pemerintah akan berkomitmen untuk melakukan hal tersebut.
"Data ini memberikan pekerjaan rumah pada pemerintah untuk kerja lebih keras," tegas Sri Mulyani, Selasa (15/5/2018).
Dalam data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia periode April 2018 mengalami defisit US$ 1,63 miliar, atau terburuk sejak 2014 lalu. Ini sekaligus menjadi kali ketiga neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit tahun ini.
Defisit periode April, tak lepas dari lonjakan impor yang tidak mampu diimbangi oleh kinerja ekspor. Pada periode tersebut, seluruh jenis komponen impor yang terdiri dari bahan baku, barang modal dan barang konsumsi melambung tajam hingga US$ 16,09 miliar.
"Banyak importir sudah mengantisipasi Lebaran dan puasa. Mereka juga khawatir rupiah makin melemah. Wajar saja [impor naik] karena antisipasi, karena mereka khawatir [rupiah] lebih lemah lagi," kata Ekonom BCA David Sumual.
"Kekurangan kita selama ini kurang agresif membuka pasar baru. Jadi hanya mengandalkan pasar tradisional seperti AS dan China," jelas Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastadi.
KInerja ekspor yang tidak terakselerasi, tentu akan memberikan pengaruh ke transaksi berjalan yang saat ini masih mengalami defisit. Ketika defisit transaksi berjalan semakin melebar praktis neraca pembayaran Indonesia tidak akan tertolong,
Padahal, neraca pembayaran Indonesia merupakan salah satu fundamental yang bisa menjadi pijakan penguatan nilai tukar rupiah. Potensi rupiah untuk kembali terapresiasi pun semakin mengecil melihat kondisi tersebut.
"Tantangan ke depan, kemungkinan surplus neraca perdagangan mengecil atau bahkan defisit. Ini akhirnya akan berdampak ke CAD [current account deficit] dan ujungnya ke tekanan rupiah," kata Ekonom Mandiri Andry Asmoro.
Kondisi tersebut, akhirnya menambah daftar isu negatif yang selama ini menerpa nilai tukar tukar. Padahal sebelumnya, mata uang Garuda sudah digempur oleh tekanan eksternal yang utamanya bersumber dari ekspektasi kenaikan Fed Fund Rate.
Merespons hal ini, Sri Mulyani menegaskan, pemerintah akan terus bekerja keras untuk memperbaiki persoalan-persoalan tersebut. Kebijakan yang akan ditempuh, diharapkan dapat kembali menggeliatkan kinerja perdagagan nasional.
"Memperbaiki eksternal balance negara, industri, komoditi, dan daerah tujuan kita. Pemerintah siap untuk melakukan itu," tegas Sri Mulyani
(dru) Next Article Defisit Neraca Perdagangan Terjadi 4 Kali dalam 5 Bulan
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai, defisit tersebut secara tidak langsung memaksa pemerintah bekerja ekstra untuk memperbaiki sendi-sendi ekonomi domestik. Pemerintah akan berkomitmen untuk melakukan hal tersebut.
"Data ini memberikan pekerjaan rumah pada pemerintah untuk kerja lebih keras," tegas Sri Mulyani, Selasa (15/5/2018).
Defisit periode April, tak lepas dari lonjakan impor yang tidak mampu diimbangi oleh kinerja ekspor. Pada periode tersebut, seluruh jenis komponen impor yang terdiri dari bahan baku, barang modal dan barang konsumsi melambung tajam hingga US$ 16,09 miliar.
"Banyak importir sudah mengantisipasi Lebaran dan puasa. Mereka juga khawatir rupiah makin melemah. Wajar saja [impor naik] karena antisipasi, karena mereka khawatir [rupiah] lebih lemah lagi," kata Ekonom BCA David Sumual.
Bagaimana dengan ekspor? Total ekspor Indonesia tercatat hanya mencapai US$ 14,47 miliar. Minimnya pangsa pasar ekspor non migas Indonesia, menjadi salah satu penyebab utama kinerja ekspor masih belum mampu menggeliat.
"Kekurangan kita selama ini kurang agresif membuka pasar baru. Jadi hanya mengandalkan pasar tradisional seperti AS dan China," jelas Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastadi.
KInerja ekspor yang tidak terakselerasi, tentu akan memberikan pengaruh ke transaksi berjalan yang saat ini masih mengalami defisit. Ketika defisit transaksi berjalan semakin melebar praktis neraca pembayaran Indonesia tidak akan tertolong,
Padahal, neraca pembayaran Indonesia merupakan salah satu fundamental yang bisa menjadi pijakan penguatan nilai tukar rupiah. Potensi rupiah untuk kembali terapresiasi pun semakin mengecil melihat kondisi tersebut.
"Tantangan ke depan, kemungkinan surplus neraca perdagangan mengecil atau bahkan defisit. Ini akhirnya akan berdampak ke CAD [current account deficit] dan ujungnya ke tekanan rupiah," kata Ekonom Mandiri Andry Asmoro.
Kondisi tersebut, akhirnya menambah daftar isu negatif yang selama ini menerpa nilai tukar tukar. Padahal sebelumnya, mata uang Garuda sudah digempur oleh tekanan eksternal yang utamanya bersumber dari ekspektasi kenaikan Fed Fund Rate.
Merespons hal ini, Sri Mulyani menegaskan, pemerintah akan terus bekerja keras untuk memperbaiki persoalan-persoalan tersebut. Kebijakan yang akan ditempuh, diharapkan dapat kembali menggeliatkan kinerja perdagagan nasional.
"Memperbaiki eksternal balance negara, industri, komoditi, dan daerah tujuan kita. Pemerintah siap untuk melakukan itu," tegas Sri Mulyani
(dru) Next Article Defisit Neraca Perdagangan Terjadi 4 Kali dalam 5 Bulan
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular