
Pak Pos yang Berjuang Melawan Senja Kala
Muhammad Choirul Anwar, CNBC Indonesia
08 February 2019 11:42

Lantas, pelaksanaan kewajiban yang dijalankan Pos Indonesia sejauh apa?
Pos Indonesia juga menjalankan layanan pos universal (LPU), yang dituangkan dalam peraturan dan dibuat UU-nya. Dalam menjalankan LPU ini, Pemerintah RI menggunakan kebijakan yang diterapkan melalui Kementerian Kominfo, yaitu pertama menugaskan PT Pos Indonesia untuk membuka kantor di sekitar 2.400 kantor yang berstatus kantor layanan universal. Jadi kantor itu ada di daerah Mentawai, Natuna, Merauke, pedalaman Kalimantan, pedalaman Sulawesi, dan di mana-mana. Yang setiap tahun angkanya bergerak antara 2.450 sampai 2.475 unit dalam empat tahun terakhir.
Nah di kantor-kantor itu, ada atau tidak aktivitas produksi, kantornya harus buka karena ada kewajiban wajib hadir menyediakan layanan. Ini saja sudah berbeda dengan perusahaan kurir swasta yang tidak memiliki kewajiban menyediakan layanan atau mendirikan kantor di pelosok sana. Jadi kalau ada perusahaan swasta yang mau kirim produk ke customer di ujung Tarakan sana ya mereka lewat PT Pos juga. Mereka nggak punya meteorit.
Jadi bisa dibayangkan menyediakan kantor sebesar itu, ada nggak ada produksi mereka tetap dibayar. Jadi kalau rata-rata jumlah dua orang saja otomatis itu sudah 2.000 karyawan, belum lagi gaji ke-13 ditambah THR karyawan, segala macam, BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial), pesangon semua disiapkan perusahaan. Tapi pemerintah tidak mengompensasi seluruhnya. Yang dikompensasi hanya sebagian berupa gaji dan biaya operasi. Sehingga dalam menyelenggarakan kantor buka semua yang full service ada yang harus ditombok korporasi akibat semua kantor dibuka, itu satu. Kompensasinya tidak bisa menutup seluruh beban tadi.
Kemudian kedua, ada produk-produk yang juga diatur dalam LPU, tarifnya di-regulated. Kalau tarif komersial mah bebas atas kemauan penyelenggara dan tergantung situasinya, tapi kalau LPU diatur oleh pemerintah sedemikian rupa, memperhatikan keterjangkauan, ketersediaan dan asas ekuitas atau persamaan. Produk itu tidak hanya disediakan di 2.450 kantor tadi tapi di seluruh layanan juga, misal di Pasar Baru, Tanah Abang, rest area, orang boleh pakai layanan itu.
Tarifnya sangat kompetitif sekali. Ada tarif, tentu ada harga pokok produksi atau biaya. Nah menghitungnya tidak bisa di print gitu saja. Ada harga HPP dan lain-lain, kita ada ongkos yang sangat majemuk. Kalau ditanya produk manufaktur kita punya ongkos yang sangat majemuk dan komposit sekali. Kalau ditanya bagaimana bisa kirim surat dari Jakarta ke Papua pakai perangko Rp 6.000 dan dari Jakarta ke Ciputat juga Rp 6.000.
Jadi perangko adalah solusi untuk menciptakan satu harga yang mudah bagi pelanggan. Kalau setiap titik ditimbang, diukur berat luar biasa kan. Makanya ada zona tarif yang sudah diatur pemerintah tapi tetap saja kalau volumenya nggak seimbang bisa kebayang ya. Kirim satu surat ke Wamena sana pakai tarif biasa, sampai ke Papua entah bagaimana di jalan, 1-2 minggu tapi ke Wamena harus pakai pesawat udara. Padahal perhitungan tarifnya itu hanya mencatatkan biaya kapal laut. Nah naik pesawat udaranya ya harus kita tombok, kalau enggak ya tidak sampai ke tempat tujuan. Selisih tersebut tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Alhamdulilah Pos walau mendapat tekanan seperti itu masih bisa survive, tapi tetap membawa dampak. Survive memikul beban pemerintah tapi dampaknya ke diri sendiri, nggak ada lagi tersedia cadangan funding untuk investasi, tak tersedia lagi cadangan cukup untuk secara rutin menaikkan kesejahteraan karyawan.
Jadi ada tugas yang harus ditunaikan, kami dapat bantuan kompensasi bantuan operasi layanan pos universal namanya BOLPU yang jumlahnya secara umum lebih kecil dari biaya yang kita keluarkan. Itu untuk sebagian operasional kantor saja, produksi nggak dihitung, atau selisih itu tadi juga nggak dihitung. Komposit dari beban yang timbul masih lebih besar dari aktual kompensasinya, itu catatan kita kenapa situasi makin lama makin krusial, tapi biaya ini naik terus dan terus.
Kondisi demikian apa hanya berlangsung baru-baru ini?
Perhitungan ini di era satu dekade sebelumnya belum pernah didefinisikan karena waktu itu pemahaman konsep tidak digali secara dalam. Karena waktu itu kita masih mendapat banyak pendapatan lewat proyek pemerintah. Sejak 2016 proyek itu nggak ada, Pos Indonesia tidak menerima lagi.
Sebelum 2016, Pos Indonesia menjalankan proyek bantuan sosial dari Kementerian Sosial, menyalurkan dana lewat pos. Uang triliunan lewat pos kan nggak buru-buru habis, sehingga ada saja uang di Pos. Kemudian ada kartu PKH, satu kartu dikirim menggunakan biaya Rp 9.000, kalau ada 1 juta kartu bisa dapat sekian, ini adalah proyek pemerintah. Pendapatan itu bisa mengkover seluruh biaya kita di 2.400 kantor cabang.
Sekarang proyek ini nggak ada, sejak UU No 8 tahun 2009 begitu terbuka tidak ada privilege dan situasi berubah dan pos kehilangan UU yang mengatur diri sendiri. Sekarang bansos dialihkan ke perbankan. Biasanya dana lewat pos sekarang ditarik semua ke bank dan berubah jadi bantuan non-tunai. Bisa dibayangkan likuiditas yang tadinya selalu ada kemudian ditarik begitu saja. Alasannya dulu pemerintah untuk memudahkan pengendalian uang tunai, transparansi dan sebagainya. Saya tidak ingin berdebat itu kita terima saja, ini baru jadi isu di 2016.
Ada regulasi yang menghilangkan eksistensi kita selama 12 tahun itu maka euforia kita juga luar biasa. Akibatnya ada yang terkorbankan, yaitu hak karyawan, hak investasi dan hak organisasi. Memang kita masih punya hak mengangkut barang negara semua otomatis diangkut pos gitu kan, tapi ada situasi beban yang timbul dan proyek pemerintah sudah tidak ada sama kita. Kita tidak menyalahkan pemerintah, sah-sah saja terlebih juga kebijakan pemerintah untuk hal yang lebih baik.
(miq/miq)
Pos Indonesia juga menjalankan layanan pos universal (LPU), yang dituangkan dalam peraturan dan dibuat UU-nya. Dalam menjalankan LPU ini, Pemerintah RI menggunakan kebijakan yang diterapkan melalui Kementerian Kominfo, yaitu pertama menugaskan PT Pos Indonesia untuk membuka kantor di sekitar 2.400 kantor yang berstatus kantor layanan universal. Jadi kantor itu ada di daerah Mentawai, Natuna, Merauke, pedalaman Kalimantan, pedalaman Sulawesi, dan di mana-mana. Yang setiap tahun angkanya bergerak antara 2.450 sampai 2.475 unit dalam empat tahun terakhir.
Nah di kantor-kantor itu, ada atau tidak aktivitas produksi, kantornya harus buka karena ada kewajiban wajib hadir menyediakan layanan. Ini saja sudah berbeda dengan perusahaan kurir swasta yang tidak memiliki kewajiban menyediakan layanan atau mendirikan kantor di pelosok sana. Jadi kalau ada perusahaan swasta yang mau kirim produk ke customer di ujung Tarakan sana ya mereka lewat PT Pos juga. Mereka nggak punya meteorit.
Jadi bisa dibayangkan menyediakan kantor sebesar itu, ada nggak ada produksi mereka tetap dibayar. Jadi kalau rata-rata jumlah dua orang saja otomatis itu sudah 2.000 karyawan, belum lagi gaji ke-13 ditambah THR karyawan, segala macam, BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial), pesangon semua disiapkan perusahaan. Tapi pemerintah tidak mengompensasi seluruhnya. Yang dikompensasi hanya sebagian berupa gaji dan biaya operasi. Sehingga dalam menyelenggarakan kantor buka semua yang full service ada yang harus ditombok korporasi akibat semua kantor dibuka, itu satu. Kompensasinya tidak bisa menutup seluruh beban tadi.
Kemudian kedua, ada produk-produk yang juga diatur dalam LPU, tarifnya di-regulated. Kalau tarif komersial mah bebas atas kemauan penyelenggara dan tergantung situasinya, tapi kalau LPU diatur oleh pemerintah sedemikian rupa, memperhatikan keterjangkauan, ketersediaan dan asas ekuitas atau persamaan. Produk itu tidak hanya disediakan di 2.450 kantor tadi tapi di seluruh layanan juga, misal di Pasar Baru, Tanah Abang, rest area, orang boleh pakai layanan itu.
Tarifnya sangat kompetitif sekali. Ada tarif, tentu ada harga pokok produksi atau biaya. Nah menghitungnya tidak bisa di print gitu saja. Ada harga HPP dan lain-lain, kita ada ongkos yang sangat majemuk. Kalau ditanya produk manufaktur kita punya ongkos yang sangat majemuk dan komposit sekali. Kalau ditanya bagaimana bisa kirim surat dari Jakarta ke Papua pakai perangko Rp 6.000 dan dari Jakarta ke Ciputat juga Rp 6.000.
Jadi perangko adalah solusi untuk menciptakan satu harga yang mudah bagi pelanggan. Kalau setiap titik ditimbang, diukur berat luar biasa kan. Makanya ada zona tarif yang sudah diatur pemerintah tapi tetap saja kalau volumenya nggak seimbang bisa kebayang ya. Kirim satu surat ke Wamena sana pakai tarif biasa, sampai ke Papua entah bagaimana di jalan, 1-2 minggu tapi ke Wamena harus pakai pesawat udara. Padahal perhitungan tarifnya itu hanya mencatatkan biaya kapal laut. Nah naik pesawat udaranya ya harus kita tombok, kalau enggak ya tidak sampai ke tempat tujuan. Selisih tersebut tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Alhamdulilah Pos walau mendapat tekanan seperti itu masih bisa survive, tapi tetap membawa dampak. Survive memikul beban pemerintah tapi dampaknya ke diri sendiri, nggak ada lagi tersedia cadangan funding untuk investasi, tak tersedia lagi cadangan cukup untuk secara rutin menaikkan kesejahteraan karyawan.
Jadi ada tugas yang harus ditunaikan, kami dapat bantuan kompensasi bantuan operasi layanan pos universal namanya BOLPU yang jumlahnya secara umum lebih kecil dari biaya yang kita keluarkan. Itu untuk sebagian operasional kantor saja, produksi nggak dihitung, atau selisih itu tadi juga nggak dihitung. Komposit dari beban yang timbul masih lebih besar dari aktual kompensasinya, itu catatan kita kenapa situasi makin lama makin krusial, tapi biaya ini naik terus dan terus.
![]() |
Kondisi demikian apa hanya berlangsung baru-baru ini?
Perhitungan ini di era satu dekade sebelumnya belum pernah didefinisikan karena waktu itu pemahaman konsep tidak digali secara dalam. Karena waktu itu kita masih mendapat banyak pendapatan lewat proyek pemerintah. Sejak 2016 proyek itu nggak ada, Pos Indonesia tidak menerima lagi.
Sebelum 2016, Pos Indonesia menjalankan proyek bantuan sosial dari Kementerian Sosial, menyalurkan dana lewat pos. Uang triliunan lewat pos kan nggak buru-buru habis, sehingga ada saja uang di Pos. Kemudian ada kartu PKH, satu kartu dikirim menggunakan biaya Rp 9.000, kalau ada 1 juta kartu bisa dapat sekian, ini adalah proyek pemerintah. Pendapatan itu bisa mengkover seluruh biaya kita di 2.400 kantor cabang.
Sekarang proyek ini nggak ada, sejak UU No 8 tahun 2009 begitu terbuka tidak ada privilege dan situasi berubah dan pos kehilangan UU yang mengatur diri sendiri. Sekarang bansos dialihkan ke perbankan. Biasanya dana lewat pos sekarang ditarik semua ke bank dan berubah jadi bantuan non-tunai. Bisa dibayangkan likuiditas yang tadinya selalu ada kemudian ditarik begitu saja. Alasannya dulu pemerintah untuk memudahkan pengendalian uang tunai, transparansi dan sebagainya. Saya tidak ingin berdebat itu kita terima saja, ini baru jadi isu di 2016.
Ada regulasi yang menghilangkan eksistensi kita selama 12 tahun itu maka euforia kita juga luar biasa. Akibatnya ada yang terkorbankan, yaitu hak karyawan, hak investasi dan hak organisasi. Memang kita masih punya hak mengangkut barang negara semua otomatis diangkut pos gitu kan, tapi ada situasi beban yang timbul dan proyek pemerintah sudah tidak ada sama kita. Kita tidak menyalahkan pemerintah, sah-sah saja terlebih juga kebijakan pemerintah untuk hal yang lebih baik.
Next Page
Transformasi bisnis
Pages
Most Popular